Jama’ah haji Aceh sejak tahun 2007/2008 telah mendapat penggantian biaya pemondokan haji selama di Mekkah, yang totalnya menurut Pemda NAD sebesar Rp. 25 Milyar. Dana ini berasal dari Waqaf Baitul Asyi atau Wakaf Habib Bugak, yaitu waqaf yang telah diberikan oleh Habib Bugak Mekkah pada tahun 1224 H atau sekitar tahun 1800 M dan dikembangkan Nadzir (Pengelola waqaf) dengan profesional
Dari sebidang tanah telah menjadi berbagai asset, diantaranya adalah Hotel Jiad dan Menara Jiad setinggi 28 tingkat yang mampu menampung 7000 orang. Diperkirakan nilai wakaf Habib Bugak di Mekkah saat ini telah mencapai sekitar 200 juta Riyal atau sekitar 5,5 Trilyun Rupiah. Menurut ikrar waqaf Habib Bugak, beliau telah mewariskan hartanya untuk kepentingan masyarakat Aceh, terutama jama’ah haji dan yang bermukim di Mekkah. Adapun bunyi ikrar wakaf tersebut yang diringkas dan diterjemahkan dari Sertifikat Wakaf Haji Habib Bugak, yang dikeluarkan oleh Maulana Hakim Makkah Almukarramah adalah sebagai berikut :
“Yang kita muliakan Haji Habib Bugak Aceh, dengan leluasa dan ikhlas telah mempersembahkan untuk dirinya akan bermanfaat bagi hartanya, dan semata-mata mengharap keridhaan Allah, serta menantikan fahala yang besar dari hari pembalasan Allah bagi orang-orang yang berbuat kebaikan, kita bersandar pada pengamalan sabda dari Rasulullah SAW (Apabila anak cucu Adam meninggal dunia, putuslah segala amal kebaikannya kecuali tiga perkara, sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh)”.
Telah datang menghadap yang kita muliakan Haji Habib Bugak Aceh ke hadapan Maulana Hakim Syara’ di majlis beliau dan dia telah mewakafkan dan menahan hartanya menjadi sedekah jariah, serta membelanjakan hartanya di jalan Allah, dan itu adalah sebentang tanah dan padanya terdapat rumah di kawasan Qasyasyiah di Makkah Almukarramah”.
Demikianlah bunyi ikrar wakaf Habib Bugak yang di ikrarkan pada tahun 1224 Hijriah. Namun menurut Dr. Hilmi Bakar dari Crescent Consulting, yang dibenarkan oleh Sayed Maimun Bin Said Abdurrahman Al Habsyi yang merupakan keturunan ke tujuh dari Habib Bugak kepada saya Senin 14 Januari 2008 di Bugak, menurutnya masih banyak dikalangan masyarakat Aceh yang belum mengenal siapa Habib Bugak Aceh itu.
Habib artinya seorang keturunan Rasulullah, yaitu dari keturunan beliau anak cucu Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein. Menurut kebiasaan masyarakat Aceh memberikan gelar Habib kepada Sayed yang Alim dan memiliki kharisma serta kelebihan tertentu di masyarakatnya. Di antara Habib yang terkenal di Aceh adalah Habib Abu Bakar Balfaqih (Habib Dianjung) yang wafat di Pelanggahan Banda Aceh tahun 1100 H (1680an M) terkenal sebagai ulama yang berpengaruh pada masa Sultan Iskandar Muda dan sesudahnya. Demikian pula ada Habib Abdurrahman Al-Zachir, yang menjadi Menteri Luar Negeri dan Mangkubumi Kerajaan Aceh pada akhir 1880an dan diasingkan Pemerintah Kolonial Belanda ke Mekkah pada awal tahun 1900an hingga wafat di sana.
Habib Bugak Asyi bukanlah nama sebenarnya dari Habib yang telah mewaqafkan hartanya pada tahun 1800an di Mekkah, tetapi adalah julukan beliau, sebagaimana menjadi kebiasaan umum para tokoh Aceh yang akan diberikan julukan tertentu, terutama tempat tinggal atau tempat wafatnya. Seperti Habib Dianjung, Maulana Syiah Kuala (Syekh Abdul Rauf al-Singkili), Tengku Eumpe Awe Montasik, Abu Kota Krueng, Abu Teupin Raya dan lainnya, yang masih digunakan sampai sekarang. Jadi Habib Bugak Asyi artinya seorang Habib yang berasal dari gampong Bugak di negeri Aceh.
Sampai saat ini belum ditemukan catatan resmi atau sejarah tentang Habib Bugak Asyi, padahal beliau adalah salah seorang tokoh Aceh yang berpengaruh sampai ke Mekkah pada masa itu. Untuk mengenal pasti siapa Habib Bugak ini, Hilal Ahmar (Red Crescent) telah membentuk Tim Peneliti Habib Bugak yang dipimpin Dr. Hilmy Bakar (Crescent Consulting). Setelah mengadakan penelitian selama 6 bulan, maka dengan bertawaqqal sepenuhnya kepada Allah SWT, tim peneliti telah menyimpulkan bahwa nama asli Habib Bugak Asyi atau Pewaqaf Baitul Asyi di Mekkah adalah Habib Abdurrahman bin Alwy Al-Habsyi (1720anM–1870anM).
Habib Abdurrahman bin Syekh Al-Habsyi lahir di Mekkah dan diperkirakan tiba di Kerajaan Aceh Darussalam pada sekitar tahun 1760an M atau bersamaan dengan masa pemerintahan Sultan Ala’addin Mahmud Syah (1767-1786 M), dan beliau tinggal di Aceh sampai wafat sekitar tahun 1870an M. Menurut surat Sultan Aceh tahun 1206H/1785M beliau ditugaskan Sultan untuk menjadi T.Chik (Sultan Lokal) di daerah utara yang kekuasaannya dari Kuala Peusangan, Pante Sidom, Bugak, Monklayu, Labu, Mane’ sampai ke Cunda dan Nisam. Surat Sultan Aceh dengan Cap Sikurueng bertahun 1224H/1800M dan 1270H/1825M, mengukuhkan kedudukan beliau sebagai T.Chik, Laksamana-Bentara dan Qadhi-Khatib, Wakil Sultan di sebelah Utara Kerajaan Aceh yang berpusat di Monklayu dengan kota syahbandar di Kuala Ceurapee. Itulah sebabnya tidak mengherankan apabila Habib Abdurrahman menjadi seorang hartawan yang memiliki tanah pertanian luas di sepanjang pantai utara Aceh, dari Kuala Peusangan sampai ke Cunda saat ini. Sampai sekarang keturunan Habib Abdurrahman Al-Habsyi banyak dijumpai di Peusangan, Bugak, Monklayu, Bungkah, Lhoksemawe sampai ke Panton Labu dan Idi di Aceh Timur.
Pada tahun 1220an H atau 1800an M, Habib Abdurrahman kembali ke Mekkah menemui keluarga besarnya. Tercatat pada bulan Rabi’ul Akhir 1224 H, beliau mewakafkan sebidang tanah beserta rumah bersebelahan dengan Masjidil Haram untuk masyarakat Aceh, baik yang muqim atau jama’ah haji dengan menggunakan nama Habib Bugak Asyi (seorang Habib dari Bugak Aceh). Dari sini dapatlah kita ketahui, beliau adalah seorang zuhud yang tidak haus dengan pujian dan sanjungan. Beliau lebih mengedepankan nama asalnya, kota Bugak di Aceh, karena beliau terpanggil untuk membawa negeri Aceh ke dunia Internasional Islam yang berpusat di Mekkah al-Mukarramah.
Setelah mewaqafkan hartanya, beliau kembali meninggalkan tanah leluhurnya di Mekkah untuk mengembangkan dakwah Islamiyah sepanjang hayatnya di bumi Aceh, terutama di Peusangan, Monklayu dan Bugak. Maka pada bulan Rajab 1224 H atau 3 bulan setelah beliau mewaqafkan hartanya di Mekkah, Sultan Aceh kembali mengeluarkan surat resmi yang mengukuhkan Habib Abdurrahman Al-Habsyi sebagai penguasa lokal wakil Sultan di Utara Aceh yang berpusat di Bugak. Itulah sebabnya dahulu Bugak sangat terkenal sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan, sekaligus sebagai pusat dakwah dan pendidikan Islam di Aceh bagian utara yang telah melahirkan banyak sekali Tengku Alim Ulama sampai awal-awal kemerdekaan. Selanjutnya Bugak digantikan perannya oleh Matang Geulumpang Dua dengan berdirinya Dayah/Jami’ah (Universitas) Al-Muslim sekarang.
Sampai akhir hayatnya Habib Abdurrahman Al-Habsyi berdakwah dan memimpin masyarakatnya, dan beliau sendiri bermukim di Bugak dan Monklayu. Di akhir hayatnya, beliau mewasiatkan agar dikebumikan di Pante Sidom, sebuah daerah perkebunan dipinggiran Bugak, yang sampai sekarang masih menjadi kemukiman Bugak Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen. Menurut hasil penelitian tim, secara geografis, sampai saat ini tidak ada nama Bugak dengan kegemilangan sejarahnya pada abad 17 – 19 M di Aceh, selain dari Bugak di Bireuen.
Menurut penelitian Sayed Dahlan bin Habib Abdurrahman Al-Habsyi (60 thn), kakek buyut beliau Habib Abdurrahman bin Alwi bin Syekh Al-Habsyi adalah Habib dan Ulama terkemuka yang sebelumnya tinggal di lingkungan Ka’bah Mekkah Almukarramah sebagai salah seorang anggota penasihat kepada Syarif Mekkah pada pertengahan abad 18 M (1740-1760an M). Pada masa itu Syarief Mekkah yang dipegang para Habib, Sayyid dan Syarief keturunan Rasulullah memiliki tempat khusus di kalangan Sultan dan Penguasa Muslim di Nusantara, terutama Kesultanan Aceh Darussalam yang merupakan tradisi sejak Kerajaan Islam Pasai pada abad ke 13 M. Jika ada masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan, maka mereka akan meminta fatwa dari Habib dan Ulama di Mekkah. Sementara Aceh memiliki kedudukan yang sangat khusus sebagai Serambi Mekkah, yang menurut satu pendapat dikatakan sebagai tempat mengambil keputusan atau fatwa agama dan sumber rujukan bagi Nusantara karena para Ulama Aceh memiliki drajat pengetahuan yang sama dengan Ulama di Yaman, Hijaz maupun Mesir. Karena sebagai serambi Mekkah inilah, maka Aceh selalu mendapat perhatian khusus Syarief Mekkah yang memiliki otoritas dalam bidang keagamaan. Hal senada disampaikan pula oleh Sayed Muhammad bin Sayed Husein bin Habib Shafi Al-Habsyi (80 thn) yang tinggal di Sampoinit Baktia Barat Aceh Timur.
Menurut kedua nara sumber ini (Sayed Dahlan dan Sayed Muhammad) yang diceritakan melalui lisan dari generasi ke generasi sebagai tradisi para Sayed, Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi datang ke Bandar Aceh Darussalam, ibu kota dan pusat pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam masa itu, sekitar awal atau pertengahan abad ke 18 (kira-kira thn 1760-an) bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Ala’addin Mahmudsyah (1767-1787) atas perintah dari Syarief Mekkah untuk menyelesaikan perbedaan faham antara Keturunan Sayid/Habib dengan keturunan para Sultan sejak zaman pemerintahan Sultan Ahmadsyah Johan (1735). Perbedaan ini terjadi ketika Sultan Badrul Alam Sayyid Ibrahim Syarif Hasyim Syah Jamalullayl sebagai keturunan Sayyid menggantikan Sultanah Kamalat Ziatuddinsyah, yang juga istrinya, dari keturunan Sultan Aceh atas dasar fatwa Syarief Mekkah dan dukungan uleebalang atau raja-raja kecil. Pertikaian ini selanjutnya berterusan sampai zaman Tuanku Sayid Hussein al-Aidit dengan keturunan Sultan Alaudin Ahmad Syah Johan.
Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi datang ke Bandar Aceh, menurut Sayed Dahlan, bersama dengan beberapa orang Habib, Syekh dan Ulama sebagai utusan Syarief Mekkah yang akan meneruskan tugas-tugas yang telah dijalankan sebelumnya oleh Habib Abu Bakar bin Husein Balfaqih (w.1100 H) yang terkenal dengan Habib Dianjung, terutama dalam mendamaikan masyarakat Aceh yang sedang berada pada konflik internal yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan dan juga oleh faham teologi keagamaan yang tidak toleran yang diajarkan Syekh Nuruddin al-Raniry sebelumnya yang menimbulkan perpecahan dan perang saudara di Aceh. Karena para Habib dan Ulama ini berhasil mendamaikan dan mengawal perdamaian para pemimpin Aceh yang menghasilkan sebuah rekonsiliasi masyarakat, maka mereka diberi kehormatan dan diminta menetap di Aceh. Para utusan Syarief Mekkah ini, semuanya memilih tinggal di Aceh memberikan pelajaran agama, administrasi, kemiliteran dan pelajaran lainnya kepada masyarakat Aceh.
Bersama-sama dengan para Habib dan Ulama lainnya, Habib Abdurrahman Al-Habsyi membimbing dan mengajar masyarakat Aceh, sekaligus menjadi penasihat kepada Sultan Aceh, baik yang berhubungan dengan masalah keagamaan, sosial, politik sampai kepada pertahanan. Kerena kelebihannya dalam ilmu agama dan ilmu pemerintahan, Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi diminta Sultan Aceh untuk pindah ke wilayah utara Aceh dan diberi kehormatan dengan diangkat sebagai Teuku Chik, jabatan yang dibentuk Sultan untuk menggantikan peranan Uleebalang sebelumnya, yang memiliki kekuasaan meliputi daerah Peusangan, Bugak, Pante Sidom, Monklayu, Teluk Iboh, Maney, Lapang, Paya Kambi, Nisam sampai Cunda dan sekitarnya sebagaimana yang tercantum dalam dokumen bertahun 1224 H (1800 M), 1270 H (1855 M) dan 1289 H (1872 M) di atas logo cop Sekureng yang merupakan surat resmi Kesultanan Aceh Darussalam di tandatangani oleh Sultan Mahmud Syah dan Sultan Mansyur Syah yang ditemukan di rumah Sayed Abdurrahman bin Sayed Burhanuddin bin Sayed Abdurrahman bin Habib Shafi Al-Habsyi di Panton Labu Aceh Utara.
Dari dokumen-dokumen tersebut pula diketahui bahwa tugas Habib Abdurrahman bukan hanya mengurus administrasi pemerintahan semata, namun sekaligus sebagai seorang hakim (Qadhi) yang memutuskan perselisihan menurut hukum agama, Imam masjid, khatib jum’at, ulama sampai kepada wali hakim dalam pernikahan ataupun perceraian fasakh. Disebutkan pula tugas sebagai penerima waqaf mewakili Sultan, mengumpulkan pajak nangroe untuk Sultan dan beberapa tugas sosial lainnya. Dalam sebuah dokumen yang bertahun 1785 M (1206 H) bahkan disebutkan bahwa Habib Abdurrahman telah mengusir hama tikus yang merusak padi masyarakat di sekitar wilayah kekuasaannya, Peusangan dan sekitarnya. Atas kedudukannya tersebut, Habib Abdurrahman dan anak keturunannya kemudian dianugrahkan tanah luas oleh Sultan yang terbentang di antara Jeumpa sampai Monklayu Gandapura.
Menurut penelitian Sayed Dahlan yang dikuatkan dengan dokumen Kesultanan Aceh bertahun 1224 H (1800 M) yang ditandatangani Sultan Mahmud Syah, Habib Abdurrahman diangkat menjadi Bentara Laksamana karena memiliki kelebihan dalam bidang kemiliteran dan kelautan, yang bertugas menghalau kapal-kapal perang penjajah Belanda yang ingin menguasai Aceh. Markas besar beliau adalah di delta Sungai Krueng Tingkeum Monklayu yang sangat strategis. Maka sejak saat itu Habib Abdurrahman kemudian tinggal di Monklayu sebagai tokoh pemerintah dan ulama yang dipercaya Sultan yang seterusnya dilanjutkan oleh anak keturunan beliau.
Sejak Habib Abdurrahman menjadi Teuku Chik yang berkedudukan di Monklayu, maka mulai berkembanglah daerah tersebut, terutama Kuala Ceurapee menjadi salah satu daerah pelabuhan yang ramai dikunjungi para pedagang, baik dalam dan luar negeri. Tempatnya yang strategis di delta sungai yang dapat menghubungkan dengan daerah hulu sungai sebagai sarana hubungan yang penting pada masa itu. Bersamaan dengan itu tumbuhlah pelabuhan-pelabuhan kecil seperti pelabuhan Kuala Peusangan (sekarang Jangka) yang terkenal memiliki hubungan dagang dengan Pulau Pinang Malaysia dan menjadi kota satelit perdagangan di sekitar utara Aceh. Hikayat-hikayat yang dijumpai disekitar daerah Kuala Peusangan/Jangka ataupun Kuala Ceurapee dan Monklayu menggambarkan bagaimana kemakmuran masyarakat di sekitar pelabuhan yang sangat sibuk dan penuh dengan perdagangan rempah dan hasil bumi lainnya. Itulah sebabnya pada awal abad 20an, Kota Bugak dan Kewedanaan Peusangan, yang sekarang menjadi Matang Glumpang berkembang pesat menjadi sentra bisnis yang menampung hasil bumi dari wilayah sekitarnya. Kemajuan daerah ini pada awal 1930an dibuktikan dengan berdirinya perguruan tinggi (al-Jami’ah) yang akan menjadi cikal bakal Universitas Al-Muslim. Pendeklarasian PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di tempat ini sudah menggambarkan kedudukan startegisnya.
Di ujung hayatnya, sekitar pertengahan abad ke 19 M (1850-1880 an M), bertepatan dengan dimulainya serangan-serangan Kolonialis Belanda terhadap Aceh, maka beberapa kapal armada laut Kesultanan Aceh ditempatkan di sekitar delta sungai Krueng Tiengkem, di Monklayu yang sangat strategis. Karena Habib Abdurrahman adalah Teuku Chik di Monklayu, maka secara otomatis Sultan memberikan tugas untuk menjaga armada kapal perang Kesultanan Aceh. Menurut cerita yang berkembang pada anak cucu beliau, Habib Abdurrahman ikut memimpin perlawanan terhadap Kolonialis Belanda, terutama dalam memimpin armada kapal perang dengan jabatan sebagai Bentara Laksamana yang berkedudukan di Monklayu.
Menurut Sayed Dahlan yang didasarkan pada penuturan dan cerita nenek moyang beliau, setelah menyerahkan tugas-tugasnya kepada anak sulungnya bernama Habib Husein di Monklayu, maka Habib Abdurrahman hidup dan menetap di sekitar Pante Sidom, Bugak, Peusangan sebagaimana juga tercantum dalam dokumen bertahun 1206 H atau sekitar tahun 1785 M yang menerangkan tentang aktivitas Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi. Sedangkan dokumen bertahun 1224 H atau sekitar 1800 M, yang berlogo Sultan Muhammad Syah, menerangkan tentang kehidupan Habib Abdurrahman dengan segala aktivitasnya sebagai seorang penguasa disekitar Bugak, Pante Sidom, Monklayu dan lainnya.
Setelah menjalankan kewajibannya, Habib Abdurrahman wafat pada usia 150an tahun, yang jika dihitung dari tahun wafat anak beliau Habib Husein pada 1304 H dikurangi sekitar 25-30 tahun lebih awal, maka beliau diperkirakan wafat pada sekitar tahun 1280an H atau 1860an M dan dimaqamkan di Pante Sidom, Bugak. Itulah sebabnya beliau dikenal oleh masyarakatnya sebagai Habib Bugak.
Menurut penuturan Sayed Dahlan, anak tertua Habib Abdurrahman bernama Habib Husein bin Abdurrahman AlHabsyi berangkat ke Mekkah untuk menunaikan amanah Habib Abdurrahman, termasuk untuk mengurus harta warisan beliau di Mekkah. Diantaranya berupa rumah disekitar Ka’bah sebagai warisan turun temurun keluarga besar Al-Habsyi. Karena mendapat nikmat dan penghormatan yang besar di bumi Aceh, maka Habib Husein atas wasiat Habib Abdurrahman mewaqafkan sebuah rumah untuk kepentingan masyarakat Aceh di Mekkah, baik jamaah haji ataupun mereka yang tinggal belajar. Itulah sebabnya, dalam ikrar waqaf tidak disebutkan nama pemberi waqaf, namun hanya mencantumkan Habib Bugak Asyi, untuk menghormati beliau yang telah tinggal di Bugak. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa beliau sempat berangkat ke Mekkah kembali dan mewaqafkan hartanya sendiri dengan nama Habib Bugak Asyi. Karena sudah menjadi tradisi orang-orang zahid dan saleh untuk tidak mengungkapkan jati dirinya dalam beramal soleh dan bersedekah.
Namun setelah ratusan tahun beliau wafat, yang diperkirakan pada tahun 1870an, atau bersamaan dengan penyerangan penjajah kaphe Belanda, tidak banyak yang mengetahui keberadaan beliau serta waqaf yang telah diberikannya kepada masyarakat Aceh di Mekkah, sampai dua musim haji terakhir ini (2006-2007). Hikmahnya memang kini harta waqaf Habib Bugak sudah berkembang berlipat ganda dan memberikan manfaat besar kepada masyarakat Aceh, terutama jama’ah haji. Demikian pula dengan maqam beliau, sampai saat ini menurut pengamatan saya dan setelah saya berziarah pada Senin 14 Januari 2008 tidak terurus dan tidak menggambarkan tempat peristirahatan terakhir seorang kepercayaan Sultan, Ulama dan hartawan dermawan.
Maka atas inisiatif Red Crescent (Hilal Ahmar), telah dibentuk panitia PEMBANGUNAN MAQAM HABIB BUGAK dengan tujuan membangun komplek maqam Habib Bugak agar memudahkan para peziarah yang hendak berdoa sekaligus untuk memberikan penghormatan kepada beliau yang telah memberikan manfaat kepada masyarakat Aceh. Panitia sudah mendapatkan persetujuan dari Bupati Bireuen untuk membangun Maqam Habib Bugak di Pante Sidom Bugak atas persetujuan dari Dinas Syari’at Islam Bireuen dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Bireuen. Panitia memohon dukungan moral dan doa kepada semua jama’ah agar pembangunan dapat segera dilaksanakan agar sejarah dapat dilestarikan dan menjadi i’tibar generasi sesudahnya.
Sayyid atau Habib adalah gelar yang diberikan kepada para keturunan Rasulullah dari keturunan Sayyidina Husein bin Ali ataupun dari keturunan Sayyidina Hasan bin Ali, biasa juga disebut dengan Syarief. Gelar Habib biasanya hanya diberikan kepada para pemuka atau tokoh yang telah lanjut usia dan memiliki pengetahuan serta keistimewaan dalam masyarakatnya. Biasanya para Habib adalah seorang tokoh yang berpengaruh serta memiliki pengetahuan luas yang dijadikan pemimpin keagamaan yang memiliki otoritas keagamaan kepada masyarakat muslim. Disamping memiliki kharisma yang besar, biasanya juga memiliki kelebihan-kelebihan supra-natural atau secara spiritual. Boleh dikata bahwa Habib adalah para pemuka atau Ulama dikalangan para sayyid ataupun syarief.
Para peneliti telah membuktikan bahwa para Sayyid atau Habib memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan Islam di Nusantara sejak awal kedatangannya. Terutama setelah terjadinya eksodus besar-besaran para keturunan Rasulullah dari Dunia Arab atau Parsia akibat konflik dan perang saudara yang terjadi dengan keturunan dari Dinasti Bani Umayyah atau Abbasyiah pada awal abad VIII Masehi. Karena memiliki garis keturunan dengan Rasulullah saw, berpengetahuan luas, memiliki kemampuan menggalang pengikut setia, memobilisasi dana serta kecakapan adminstrasi dan kepemimpinan, maka banyak diantaranya yang menjadi menantu para raja dan selanjutnya menggantikan kedudukannya sebagai Sultan.
Apalagi ada sebagian faham, terutama faham awal masyarakat Nusantara telah mewajibkan memberi penghormatan kepada para keturunan Rasulullah berdasarkan sebuah sabda beliau: ”Aku tinggalkan kepadamu dua perkara, yang jika engkau berpegang kepada keduanya, maka engkau tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah (al-Qur’an dan Sunnah) dan Keturunanku”. Dalam riwayat lain, Rasulullah saw bersabda: ”Aku tinggalkan bagi kalian dua hal. Jika kalian berpegang teguh kepada keduanya, kalian pasti tidak akan pernah tersesat. Salah satu dari dua hal itu lebih agung daripada yang lain; Kitabullah, sebuah tali yang terentang dari langit ke bumi; dan keturunanku, ahlul-baitku. Keduanya tidak akan terpisah satu sama lain hingga hari Kiamat nanti. Maka, pikirkanlah baik-baik bagaimana kalian akan berpegang teguh kepada keduanya setelah aku pergi.” Itulah sebabnya para keturunan Rasulullah saw selalu mendapat kedudukan terhormat dalam strata masyarakat di Nusantara, termasuk di Aceh.
Menurut penelitian Snouck, para keturunan Rasulullah yang dipanggil Sayyid, Syarief atau Habib memiliki kedudukan terhormat di kalangan masyarakat Aceh sejak awal kemasukan Islam. Mereka diberikan penghormatan sebagai tokoh agama, hakim, pengajar bahkan terkadang sebagai pemimpin masyarakat dan pemegang admnistratur pemerintahan. Sejarah Aceh sendiri telah membuktikan bahwa Kesultanan Aceh pernah dipimpin oleh beberapa orang Sultan dari keturunan Rasulullah, seperti Sultan Badrul Alam dan lainnya. Namun Snouck sendiri menggambarkan para Sayyid dan Habib sebagai tokoh yang ambisius dan eksploitatif akibat kedengkiannya kepada Islam dan dorongan tugasnya sebagai agen Kerajaan Belanda yang akan menaklukkan Aceh Darussalam. Itulah sebabnya tidak mengherankan ketika dia menggambarkan Habib Abdurrahman Al-Zachir sebagai tokoh penghianat dan materialis yang rela menjual Aceh dan masyarakatnya kepada penjajah kafir, yang tidak pernah menjadi tradisi mulia dari keturunan Rasulullah saw apalagi sebagai seorang Habib yang mengerti dan faham akan ajaran agama.
Sejak pertama kali berdirinya Kerajaan Islam di Aceh, baik di Jeumpa, Pasai, Perlak dan Kesultanan Aceh Darussalam dan selanjutnya, hubungan para Sultan dengan para keturunan Rasulullah terjalin dengan eratnya. Para Habib biasanya diberi tugas sebagai penasihat agama dan spiritual para Sultan, bahkan ada yang diangkat sebagai panglima, mangkubumi, sekretaris negara dan menteri luar negeri. Namun hubungan yang berdasarkan kepada keagamaanlah yang lebih dominan. Kedekatan para Sultan dan para Habib dapat juga dibuktikan dengan kedekatan para Sultan dengan para Syarief Mekkah yang dijadikan sebagai pemegang otoritas keagamaan atau sumber rujukan kepada masalah-masalah agama. Kedekatan antara Mekkah dengan Sultan dibuktikan dalam sejarah, ketika Sultan Iskandar Muda membuat peraturan keimigrasan di Banda Aceh (Kuta Raja) sebagaimana peraturan keimigrasian di Mekkah, bahwa orang non Muslim tidak diperbolehkan menetap tinggal di Bandar Aceh, kecuali hanya beberapa saat ketika mereka berdagang dan setelah selesai diperintahkan meninggalkan Banda Aceh atau bermalam di kapalnya.
Dari waktu ke waktu Syarief Mekkah akan mengirimkan para Ulama dan Habib ke Aceh untuk mengajarkan agama kepada pemimpin dan masyarakat Aceh. Puncak hubungan ini terjadi utamanya ketika masyarakat Aceh mengalami perselisihan internal keagamaan yang memerlukan keputusan seorang figur yang kuat sebagai mufti atau qadhi. Diriwayatkan dalam Sejarah Melayu, bahwa pada pertengahan abad ke 13 Masehi, Syarief Mekkah telah mengirim Syekh Ismail dengan beberapa guru agama, untuk melakukan dakwah Islam di kawasan Aceh. Dalam rombongan tersebut turut juga Fakir Muhammad dari India. Ketika terjadi perselisihan antara para pengikut Syamsuddin al-Sumatrani dengan Nuruddin al-Raniri yang berkelanjutan di zaman Maulana Syiah Kuala, Syarief Mekkah telah mengirim beberapa orang Ulama dan Habib yang ditugaskan untuk mendamaikan perselisihan faham yang tejadi. Mereka telah berhasil menciptakan pemahaman agama yang toleran dan moderat.
Pada masa Iskandar Tsani (1637-1641) telah datang seorang Habib kharismatis yang menjadi pembimbing dan pendidik masyarakat Aceh yang menjadi utusan Syarief Mekkah bernama Habib Abu Bakar bin Husein Balfaqih (w.1100 H / 1680 M) yang bergelar Habib Dianjung yang terkenal dan dihormati Sultan dan masyarakat Aceh yang maqamnya di Peulanggahan Banda Aceh. Masih banyak lagi nama-nama para Habib, Syarief ataupun Sayyid yang tidak tercatat dalam sejarah masyarakat Aceh, terutama dalam mengembangkan ajaran Islam ataupun dalam membangun peradaban dan budaya masyarakat.
Tanggal, bulan dan tahun kelahiran Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi secara rinci sampai sekarang belum didapatkan, baik pada dokumen-dokumen yang tersimpan ataupun dari nara sumber. Menurut perhitungan dari generasi di bawah beliau, dan disesuaikan dengan beberapa peristiwa yang menyertainya, terutama dokumen yang ditemukan di Alue Ie Puteh yang memuat silsilah dan tahun wafatnya Habib Husein bin Abdurrahman, yaitu anak Habib Abdurrahman di Monklayu pada hari senin bulan ramadhan tahun 1304 atau sekitar tahun 1880an, maka Habib Abdurrahman diperkirakan wafat lebih awal 25-30an tahun, sekitar tahun 1280an H atau sekitar tahun 1865an M. Menurut cerita keluarga besar Al-Habsyi, Habib Abdurrahman berumur sekitar 150an tahun, maka beliau diperkirakan lahir pada sekitar awal tahun 1130an H atau sekitar tahun 1710-an Masehi. Asumsi ini juga didasarkan ketika datang ke Banda Aceh beliau berumur antara 35 atau 40 tahun sebagai batas dewasanya seorang Habib Ulama utusan Syarief Mekkah. Hal ini juga merujuk kepada dokumen Kesultanan Aceh bertahun 1206 H atau 1785 M yang memberikan keterangan akan tugas beliau di Bugak dan sekitarnya.
Menurut Sayed Dahlan bin Sayed Abdurrahman Al-Habsyi yang didengarnya dari kakek buyutnya, Habib Abdurrahman dilahirkan di Makkah Al-Mukarramah dalam lingkungan keluarga Al-Habsyi Ba’alwy Hasyimy yang memiliki kedudukan khusus dan terhormat di kalangan para petinggi Penguasa Mekkah. Sebagaimana diketahui bahwa sampai dengan awal abad ke 19 M, para Syarief Mekkah atau penguasa Mekkah adalah dari kalangan Ahlul Bayt Nabi saw yang diberikan amanah oleh para Khalifah Islam sampai berakhirnya masa Khalifah Usmaniyah di Turki pada tahun 1924 M.
Menurut data dari beberapa sumber, terutama dari Sayed Zein bin Habib Abdullah bin Habib Zein bin Habib Shafi Al-Habsyi dan dari Sayed Dahlan bin Sayed Abdurrahman bin Habib Shafi Al-Habsyi yang dikuatkan dengan lembaran silsilah yang tersimpan pada keluarga Alm. Sayed Abdurrahman bin Habib Abdullah bin Habib Zein bin Habib Shafi Al-Habsyi, silsilah Habib Abdurrahman adalah berasal dari Mekkah yang bersambung dengan garis Rasulullah saw, beliau adalah anaknya Habib Alwi bin Syekh Al-Habsyi.
Secara lengkap nasab beliau adalah Habib Abdurrahman bin Alwi bin Syekh bin Hasyim bin Abu Bakar bin Muhammad bin Alwi bin Abu Bakar Al-Habsyi bin Ali bin Ahmad bin Muhammad Hasadillah bin Hasan Attrabi bin Ali bin Fakeh Muqaddam bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Baalwi Al-Habsyi bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhadjir bin Isa Al-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Jafar Siddiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husein bin Sayyidah Fatimah (Ali bin Abi Thalib) binti Sayyidina Muhammad Rasulullah saw.
Sedangkan jika diurut dari bawah saat ini, maka Habib Abdurrahman adalah generasi yang ke 8. Sayed Maimun (Bugak,1958-skrg) bin Sayed Abdurrahman (Bugak,1927-2003) bin Habib Abdullah (Bugak,1903-1984) bin Habib Zein (Monklayu,w.?) bin Habib Shofi (Idi,w.?) bin Habib Ahmad (Monklayu, w.?) bin Habib Husein (Monklayu, w.1304 H / 1880 M) bin Habib Abdurrahman (Bugak-Pante Sidom, w.?) bin Alwi (Mekkah,w.?) bin Syekh dan seterusnya.
Banyak orang yang mengkritik tradisi keturunan Rasulullah (ahlul bayt) yang selalu menjaga dan memelihara silsilah keturunan. Namun bagi para keturunan Rasulullah, hal ini adalah sangat penting, terutama dari segi fiqih, agar keturunan Rasulullah tetap menjalankan syariatnya. Salah satunya adalah keturunan Rasulullah tidak boleh atau diharamkan memakan harta zakat atau shadaqah, tetapi boleh menerima hadiyah. Bagaimana hukum fiqih ini dapat terlaksana, jika keturunan Rasulullah tidak mengetahui nasab keturunannya. Agar jangan melanggar syariat inilah, maka sangat perlu bagi keturunan Rasulullah menjaga silsilah keluarganya.
Sudah menjadi tradisi masyarakat Aceh dan nusantara memberikan gelar kepada ahlul bayt atau keturunan nabi Muhammad saw dengan julukan Sayyid, Syarif, Habib untuk laki-laki dan Syarifah untuk wanita. Habib adalah salah seorang keturunan nabi Muhammad yang telah memiliki pengetahuan dan dihormati dilingkungannya. Tidak umum memberikan gelar Habib kepada mereka yang bukan keturunan Rasulullah, bahkan hampir tidak pernah ditemukan seorang Ulama atau tokoh masyarakat yang diberikan gelar Habib sedangkan mereka bukan dari golongan keturunan Rasulullah. Memang ada beberapa nama yang memakai Habib, seperti Habib Adnan atau Habib Chirzin, namun Habib disisi bukan gelar, tapi memang nama mereka adalah Habib.
Menurut tradisi kaum Hadramiyin (bangsa Arab) yang datang ke Nusantara, biasanya mereka memiliki kunyah (nama gelar) yang kadangkala dinisbatkan kepada tempat tinggal ataupun maqamnya seperti misalnya Sunan Bonang, Sunan Ampel, Pangeran Jayakarta, Habib Dianjung dan dikuti oleh Ulama, termasuk di Aceh seperti Maulana Syiah Kuala dan lain-lainnya. Demikian pula dengan Habib Abdurrahman, menurut tradisi memiliki nama gelar yang dikenal oleh kaum keluarganya yaitu Habib Bugak, karena beliau tinggal dan dimaqamkan di Pante Sidom Bugak.****
Sumber : http://danijurnalis.wordpress.com