Konferensi Khartoum, yang diadakan pada 29 Agustus – 1 September 1967, merupakan pertemuan puncak Liga Arab setelah kekalahan dalam Perang Enam Hari melawan Israel pada bulan Juni 1967.
Konferensi ini diadakan di Khartoum, ibu kota Sudan, dan melibatkan pemimpin-pemimpin dari negara-negara Arab yang terlibat dalam konflik tersebut. Berikut adalah beberapa hasil dan poin utama yang muncul dari Konferensi Khartoum:
Tiga “Tidak”:
Salah satu hasil paling terkenal dari Konferensi Khartoum adalah formulasi tiga “tidak”:
- Tidak Akan Ada Perundingan dengan Israel: Konferensi ini menolak untuk melakukan perundingan atau perdamaian langsung dengan Israel.
- Tidak Akan Ada Pengakuan terhadap Israel: Pemimpin Arab menegaskan bahwa mereka tidak akan mengakui eksistensi negara Israel.
- Tidak Akan Ada Negosiasi Terpisah dengan Israel: Negara-negara Arab sepakat untuk tidak terlibat dalam negosiasi terpisah dengan Israel.
Solidaritas dan Konsolidasi:
Konferensi Khartoum mencerminkan upaya untuk konsolidasi dan solidaritas di antara negara-negara Arab setelah kekalahan dalam Perang Enam Hari. Pemimpin Arab berupaya menyatukan pendekatan mereka terhadap Israel dan menunjukkan solidaritas dalam menghadapi tantangan bersama.
Reaffirmasi Dukungan terhadap Palestina:
Pemimpin Arab di Khartoum menegaskan dukungan mereka terhadap perjuangan Palestina. Konferensi ini menetapkan bahwa masalah Palestina adalah isu utama dan mendesak pembebasan Palestina dari pendudukan Israel.
Penghormatan terhadap Keputusan Nasional:
Para pemimpin Arab di Konferensi Khartoum menegaskan hak setiap negara untuk membuat keputusan nasionalnya sendiri. Ini dapat dipahami sebagai respons terhadap kebijakan independen yang diambil oleh beberapa negara Arab dalam hal hubungan dengan Israel.
Pembentukan Front Bersama:
Konferensi Khartoum menghasilkan pembentukan apa yang dikenal sebagai “Front Bersama.” Front ini bertujuan untuk mengoordinasikan strategi dan tindakan di antara negara-negara Arab dalam menghadapi Israel. Meskipun terbukti sulit untuk mencapai koordinasi yang efektif, upaya untuk membentuk front bersama mencerminkan niat untuk bekerja sama lebih erat.
Reaksi Terhadap Resolusi PBB:
Konferensi Khartoum menanggapi resolusi PBB, terutama Resolusi 242, yang telah menyoroti hak dan keamanan setiap negara di wilayah tersebut. Pemimpin Arab menegaskan bahwa mereka tidak akan menerima resolusi yang tidak memperhitungkan hak-hak Palestina dan mengakui kebijakan aneksasi Israel.
Dampak pada Dinamika Konflik:
Meskipun Konferensi Khartoum mengekspresikan ketegasan dan ketidaksetujuan terhadap Israel, hal itu tidak mencapai hasil konkret dalam meresolusi konflik. Terlepas dari tiga “tidak,” konflik antara Arab dan Israel berlanjut, dan perundingan damai sulit dicapai selama beberapa dekade berikutnya.
Konferensi Khartoum mencerminkan kompleksitas dan ketegangan dalam politik Timur Tengah pada waktu itu. Meskipun menciptakan dasar bagi solidaritas Arab dalam mendukung Palestina, hasil konferensi ini tidak secara signifikan mengubah dinamika konflik dan ketidaksepakatan antara negara-negara Arab dan Israel.