Jika kita sering sholat di berbagai mesjid, maka dapat kita jumpai mesjid yang ramah terhadap jama’ah dan mesjid yang tidak ramah terhadap jama’ahnya. Ramah dalam artian melayani jama’ahnya, sehingga jama’ah merasa nyaman dan senang singgah di mesjid tersebut.
Mesjid itu semestinya berorientasi untuk memuaskan jama’ah (jama’ah satisfaction), bukannya berorientasi memuaskan pengurusnya (marbot satisfaction). Sebab peran pengurus mesjid itu sejatinya sebagai khodimul ummah (pelayanan umat). Pengurus mesjid akan mendapatkan pahala berlimpah dari Allah SWT jika mereka memakmurkan rumah Allah dengan baik.
Namun realitanya, kita masih menjumpai mesjid-mesjid yang tidak ramah terhadap jama’ah mesjid. Beberapa cirinya antara lain :
1. Pintu halaman atau pintu ruang utama mesjid sering dikunci.
Hanya dibuka ketika tiba waktu sholat fardhu atau ada kegiatan mesjid saja.
Apa pun alasannya mengunci pintu mesjid sebaiknya dihindari. Jika takut fasilitas mesjid dicuri, maka perketat keamanan dengan memasang CCTV atau memperbanyak penjaga (satpam) mesjid.
Sering mengunci pintu mesjid memberi kesan mesjid tidak “welcome” kepada mereka yang mau sholat atau singgah. Jika pun mesjid tersebut mau dikunci, sebaiknya di waktu malam saja (diatas jam 10 malam) dan dibuka kembali menjelang sholat subuh.
Namun lebih baik lagi jika mesjid terbuka selama 24 jam. Jika pun dijadikan tempat untuk tidur oleh yang singgah ke mesjid juga tidak masalah, asalkan tetap menjaga kebersihan dan ketertiban.
2. Aturan di mesjid terlalu kaku dan merepotkan jama’ah.
Ada mesjid yang untuk parkir saja susah atau ditarik uang parkir dengan besaran tertentu. Untuk wudhu juga jalannya jauh dan berputar.
Di dinding mesjid banyak ditempel berbagai larangan, mulai dari larangan merokok, larangan berbusana yang tidak sopan, larangan berisik untuk anak-anak, dan berbagai larangan lainnya. Kesannya seperti masuk ke gedung dengan tingkat keamanan tertinggi, bukan ke rumah Allah yang terbuka dengan aura rahmatan lil alamin.
3. Pengurus mesjid mengelola mesjid seperti mengelola organisasi birokrasi atau tradisional.
Mungkin karena pimpinan DKM-nya mantan pejabat atau pengurusnya turun temurun dari satu keluarga besar saja (mesjid dinasti), sehingga mengelola mesjidnya tidak profesional dan fungsional. Manajemennya serba tertutup dan eksklusif, termasuk dalam masalah keuangan. Jama’ah mesjid juga tidak diajak berpartisipasi dalam perkembangan mesjid.
Mesjid yang kurang ramah terhadap jama’ahnya mungkin disebabkan rekrutmen pengurus atau marbot mesjid yang tidak mengutamakan mereka yang paham bagaimana mengelola mesjid dengan benar. Rekrutmen pengurus mesjid lebih mengutamakan kepada siapa yang sempat mengurus mesjid saja atau yang punya nama, punya harta, dan punya gelar saja.
Dampak mesjid yang kurang ramah terhadap jama’ahnya biasanya bisa ditebak, yaitu mesjidnya sepi (walau kebersihannya terjaga), kegiatannya sedikit, ustadznya satu “aliran” saja, atau malah fasilitasnya tidak terawat dan kotor. Orang enggan berpartisipasi dan memberikan donasi.
Semoga ke depannya makin banyak mesjid-mesjid yang ramah terhadap jama’ah, sehingga peran mesjid sebagai rumah kedua umat Islam yang rahmatan lil alamin dapat terwujud. Wallahu’alam.