Beberapa media AS menyebut serangan Israel ke Iran tadi malam dengan code “Operation Rising Lion” sebagai stunning and sprawling operation, sebuah aksi militer yang menargetkan fasilitas nuklir Iran, gudang rudal, ilmuwan, dan beberapa jenderal besar serta melakukan operasi sabotase rahasia terhadap lokasi rudal dan pertahanan udara Iran. Infonya operasi itu sudah dirancang sejak delapan bulan lalu dengan persiapan rahasia yang intensif.
Setidaknya 250 titik di Iran yang diserang Israel, dengan korban jiwa sejauh ini mencapai 37 orang diantaranya adalah Komandan Garda Revolusi Iran, Mayjend. Hossein Salami; Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran, Mayjend. Mohammad Bagheri, serta beberapa ilmuwan nuklir Iran lainnya. Sejauh ini Iran sudah menembakkan 100 drone ke Israel, dan mungkin hanya beberapa yang mencapai wilayah langit Israel, sisanya jatuh di perjalanan di atas udara Suriah, Jordania dan Arab Saudi.
Pemimpin Tertinggi Iran, Ali Khamenei langsung menunjuk pengganti Meyjend. Bagheri, Mayjend. Sayyed Abdolrahim Mousavi, untuk segera bertindak setidaknya “saving-face retaliation” terhadap Israel. Namun, sejauh ini belum terlihat adanya tanda-tanda balasan Iran, bandara-bandara yang semula ditutup sementara, dan penerbangan yang ditunda sebagian mulai beroperasi kembali.
Namun demikian, serangan Israel, yang menurut IDF Israel melibatkan lebih dari 200 jet tempur akan memicu konflik militer baru yang menimbulkan bahaya serius bagi Israel dan Iran, bahkan kawasan, apabila dilanjutkan. IDF juga mengkonfirmasi operasi untuk menghancurkan pengembangan nuklir Iran dapat berlangsung beberapa hari, artinya malam-malam selanjutnya langit timur tengah tidak akan baik-baik saja.
Kemarin pejabat AS telah menyampaikan kepada pihak Iran bahwa serangan Irsael pasti terjadi, tapi AS tidak akan berpartisipasi. Hari ini, Donald Trump kembali meminta Iran untuk bergabung dalam kesepakatan nuklir yang baru, yang bagi Iran merugikan, “Iran must make deal, before there is nothing left, No more death, no more destruction, just do it, before it is too late!”, begitu kata Trump.
Aksi militer Israel tersebut akan memicu perang baru di Timur Tengah yang dapat melibatkan AS, menghancurkan harapan tercapainya kesepakatan nuklir, dan dapat dikatakan sebagai pukulan terbesar bagi rezim Iran sejak revolusi 1979. And it is only just beginning.
Kembali ke masa lalu, setelah hampir dua dekade bermusuhan, Israel akhirnya menyerang fasilitas nuklir Iran, pabrik rudal balistik, dan komandan militer Iran untuk mencegah Iran membangun senjata nuklir. Tahun lalu, Israel telah menyerang fasilitas pertahanan Iran dan Iran melancarkan serangan balasan terhadap Israel, tetapi itu adalah konflik yang terbatas.
Hubungan antara Iran dan Israel saat ini merupakan salah satu persaingan yang paling menegangkan dalam politik internasional. Namun, permusuhan ini tidak memungkiri adanya sejarah rumit kerja sama rahasia, aliansi strategis, dan kepentingan bersama yang berlangsung selama beberapa dekade. Mereka dulunya adalah teman, kemudian menjadi sekutu rahasia, dan akhirnya berubah menjadi musuh bebuyutan.
Setelah berdirinya Negara Israel pada tahun 1948, sebagian besar negara berpenduduk ayoritas Muslim menolak untuk mengakuinya. Iran, negara yang sebagian besar berpenduduk Syiah dengan sejarah kekaisaran yang panjang dan hubungan yang tidak nyaman dengan negara-negara Arab, merupakan pengecualian. Meskipun Iran tidak secara resmi mengakui Israel, kedua negara mengembangkan hubungan yang baik dan pragmatis yang berakar pada kepentingan strategis bersama.
Di bawah pemerintahan Shah Mohammad Reza Pahlavi, Iran mengikuti kebijakan luar negeri yang berpihak pada Barat selama Perang Dingin dan merupakan sekutu regional utama Amerika Serikat. Israel, karena bergantung pada dukungan Amerika, menemukan mitra alami di Iran.
Doktrin strategis Israel pada tahun 1950-an dan 1960-an, yang dikenal sebagai “Periphery Doctrine” yang intinya berusaha membangun aliansi dengan negara-negara non-Arab di Timur Tengah yang memusuhi nasionalisme pan-Arab. Iran, bersama dengan Turki dan Ethiopia, menjadi mitra utama dalam strategi ini.
Dalam sebuah pertemuan (yang dulunya) rahasia pada tahun 1958, Perdana Menteri Israel David Ben-Gurion dan Perdana Menteri Turki Adnan Menderes membentuk apa yang disebut “Alliance of the Periphery” yang kemudian dibentuk oleh Iran, Turki, dan Israel dalam sebuah pakta yang dikenal “Trident”. Sebuah Pakta kerjasama yang meliputi pembagian informasi intelijen, kerja sama ekonomi, dan perdagangan senjata. Khususnya, Mossad dan badan intelijen Iran saat itu SAVAK berkolaborasi erat. Israel juga menyediakan penasihat militer dan dukungan teknis kepada Iran, khususnya selama pengembangan kompleks industri militer Iran.
Hubungan Israel-Iran juga berkembang secara ekonomi. Iran memasok minyak mentah ke Israel, terutama setelah Perang Enam Hari 1967 ketika banyak negara Arab memberlakukan boikot. Sebagai balasannya, Israel memberi Iran bantuan pertanian dan teknologi canggih. Perusahaan-perusahaan Israel aktif dalam proyek pembangunan infrastruktur di seluruh Iran.
Revolusi Iran tahun 1979 menandai perubahan mendasar dalam hubungan bilateral Iran-Israel. Penggulingan Shah dan pembentukan Republik Islam di bawah Ayatollah Khomeini secara radikal mengubah kebijakan luar negeri Iran. Rezim Islam yang baru memandang Israel tidak hanya sebagai musuh politik tetapi juga sebagai negara yang tidak sah. Retorika Khomeini menggambarkan Israel sebagai rezim Zionis dan alat imperialisme Barat. Ideologi Islam baru Iran memprioritaskan dukungan bagi kaum Muslim yang tertindas, khususnya warga Palestina, dan menyatakan penentangan terhadap keberadaan Israel. Iran memutuskan semua hubungan diplomatik dengan Israel, mengusir para diplomat dan staf kedutaan Israel, dan menyerahkan kedutaan besar Israel di Teheran kepada Organisasi Pembebasan Palestina. Sentimen anti-Israel menjadi prinsip utama wacana dalam dan luar negeri Republik Islam tersebut.
Selama tahun 1980-an dan 1990-an, Iran muncul sebagai sponsor utama kelompok militan yang menentang Israel, Hizbullah di Lebanon, dan kemudian Hamas di wilayah Palestina. Dukungan ini mencakup pelatihan, pendanaan, dan penyediaan senjata. Secara efektif, Iran memposisikan dirinya sebagai musuh terbesar Israel di Timur Tengah.
Namun, yang menarik, bahkan setelah Iran dan Israel berubah menjadi musuh, hubungan bilateral rahasia tetap terjalin. Selama Perang Iran-Irak, yang dimulai pada tahun 1980 dan berlangsung selama delapan tahun, Israel memandang Irak di bawah Saddam Hussein sebagai ancaman yang lebih besar daripada Iran yang dipimpin Khomeini. Israel, bersama dengan AS, terlibat dalam transfer senjata rahasia ke Iran. Semua hubungan itu dapat dibaca dalam dokumen CIA yang sudah declassified dengan judul: Israel and Iran: The ties that bind, tanggal 7 oktober 1985.
Pada tahun 1990-an, aliansi rahasia Iran-Israel berakhir karena program nuklir Iran dan kedua negara berubah menjadi musuh bebuyutan. Israel mulai memandang ambisi nuklir Iran sebagai ancaman eksistensial. Upayanya untuk mendapatkan teknologi nuklir, meskipun bersikeras pada niat damai, telah memicu ketakutan Israel terhadap musuh potensial yang bersenjata nuklir. Iran memperluas dukungannya kepada entitas anti-Israel seperti Hizbullah, Hamas, dan Houthi. Pada tahun 2020-an, persaingan antara Iran dan Israel semakin meningkat menjadi perang bayangan, yang melibatkan serangan pesawat nirawak, perang siber, dan sabotase maritim.
Meningkatnya pengaruh Iran di Irak, Lebanon, Suriah, dan Yaman telah diimbangi oleh meningkatnya kerja sama Israel dengan negara-negara Teluk dan operasi militer Israel di Suriah sepanjang 2016-2024 yang bertujuan untuk membatasi pertahanan Iran di dekat perbatasannya. Konflik Gaza yang sedang berlangsung dan ketegangan regional setelah itu, yang berpuncak pada saling menyerang dengan rudal dan drone secara langsung pada tahun 2024, membuat konfrontasi Iran-Israel mendekati perang terbuka. Kemarin, serangan yang telah dijanjikan Israel terhadap Iran selama bertahun-tahun akhirnya terjadi dan kemungkinan akan berubah menjadi perang yang lebih luas.
Tahun 2025, perang akan berbeda dari sebelumnya, dimana spies has been replaced by satellite, fighter pilots by drones, and intelligence by algorithm…hanya pemilik teknologi yang akan menang, kecuali kita percaya pada kata-kata yang dinisbatkan kepada Sidna Umar bin Khattab yang kira-kira artinya: “Jika kamu dan musuhmu sama levelnya dalam dosa, maka kemenangan akan menjadi milik yang lebih kuat”
Biarlah waktu yang menjawab….


























