Pasca istisyhadnya Ismail Haniyya di Tehran yang bertepatan dengan istisyhadnya Fuad Shkur di Beirut oleh Israel, Kawasan sedang “deg-degan” menunggu kelanjutan ceritanya bagaimana. Karena baik Iran maupun Hizbullah Lebanon mengancam akan membalas, meskipun sudah lewat 24 jam dari pernyataan tersebut belum ada balasan yang signifikan.
Namun demikian, ancaman itu tidak dianggap remeh oleh Israel dan sekutunya, terbukti AS mulai mendeploy tambahan fighter jets dan Navy warships ke Timur Tengah. Perwakilan Asing di Lebanon juga telah meminta warganya untuk meninggalkan Lebanon secepat mungkin. Penerbangan-penerbangan asing pun banyak yang mulai membatalkan penerbangannya dari dan ke Beirut, begitu juga dari dan ke Tel Aviv.
Menariknya, The Guardian dan Wall Street Journal malah mengirimkan timnya ke Beirut dalam beberapa hari terakhir, termasuk jurnalis, fotografer, dan teknisi. Mereka juga telah menyewa rumah bagi tim untuk tinggal selama jangka waktu 6 bulan ke depan, disamping disediakannya mobil lapis baja dan pengawal keamanan PMC dari Amerika dan Inggris. Sepertinya mereka siap-siap untuk meliput perang dan menjadi war correspondent.
Menhan Israel, Yoav Gallant beberapa hari lalu dalam pertemuan dengan Menhan Inggris John Healey meminta dibentuk Koalisi Internasional untuk melawan Iran, seperti koalisi-koalisi yang pernah dibuat oleh Barat ketika menyerang Irak, Suriah, Libya, dan Afghanistan. Kalau melihat AS sudah mendeploy bantuan militer ke kawasan, bisa jadi koalisi itu akan dibentuk, meskipun kita meragukan mitra-mitra lokal mereka seperti Mesir, Yordania, Arab Saudi, PEA dan lainnya akan “berani”gabung. Karena kalau perang benar-benar terjadi, maka Laut Merah akan beneran merah, dan Laut Mati akan beneran penuh dengan mayat. Bagiamana tidak, karena perang akan meletus di Laut Merah, Laut Tengah, Selat Persia/Arab, dan bahkan di Samudera India.
Akankah dampak dari pembunuhan terhadap Ismail Haniyya oleh Israel akan seperti pembunuhan Archduke Franz Ferdinand of Austria dan menjerat semua negara untuk tenggelam dalam perang di Laut Tengah?
Pertama, siapakah yang akan menggantikan Ismail Haniyyah sebagai spear-head politik dan diplomasi Hamas? Mengingat wakilnya Saleh Al Arury telah mendahului Haniyyah pada Januari 2024 yang lalu ketika rumahnya dihajar oleh drone Israel di Beirut.
Oleh karena itu, Hamas harus segera memulihkan hierarki kepemimpinannya untuk menghadapi tantangan perang Israel di Gaza dan mengimbangi konteks politik dan diplomatik selagi perang masih berlanjut, yang terpenting saat ini adalah bernegosiasi dengan mediator untuk mencapai kesepakatan yang mengakhiri perang, menyelesaikan kesepakatan prisoner swaps, menata ulang gerakan secara internal, dan menyusun strategi tantangan-tantangan pasca perang.
Sejauh ini belum terdapat nama yang muncul, yang pasti Hamas memiliki majelis Syura sebagai pembuat keputusan tertinggi. Namun demikian, dalam salat jenazah syahid Ismail Haniyya kemarin di Doha, imam dalam salat tersebut adalah wakil pemimpin Hamas di Gaza, Khalil al-Hayya, dan imam ini memiliki makna simbolis bagi Hamas. Apakah penunjukan al-Hayya sebagai imam solat jenazah merupakan indikasi bahwa Hamas akan memilih Khalil al-Hayya sebagai penerus syahid Haniyeh? Kalau melihat sepak terjang, latar belakang keluarga dan profilnya, Khalil al-Hayya, sepertinya cocok menggantikan Haniyya.
Kedua, aksi Israel yang membunuh Ismail Haniyya dan Fuad Shkur dinilai sudah melampaui “redline”, dan hanya balasan yang melewati “redline” yang bisa menghentikannya. Kondisi di lapangan dan barak tentara sangat panas, dan semua siap menunggu perintah, kata orang “Revenge is a dish best served hot”. Tetapi, dalam kondisi yang complicated seperti ini, kondisi lapangan tidak selalu harus dituruti, karena ada pertimbangan strategis lain yang perlu didahulukan.
Banyak pengamat menilai bahwa perang terbuka dan balasan yang bukan sekedar “saving-face attacks” untuk saat ini bukanlah waktu yang tepat, dan Mihwar Muqawamah (Resistance Axis) kalau bisa menghindarinya. Karena tindakan itu akan menyelamatkan Netanyahu yang telah gagal dalam 10 bulan terakhir, gagal memulangkan para tawanan, gagal mengakhir perang dengan Gaza, dan sekarang dia menjadi bulan-bulanan di dalam Israel sendiri, karena didemo oleh oposisi. Di dunia internsional pun Netanyahu sedang diisolir.
Makanya, Netanyahu berupaya untuk memprovokasi Iran dan Lebanon untuk menyerang dalam skala besar, karena serangan skala besar akan menyeret AS dan sekutunya untuk membantu Israel. Apabila itu terjadi, maka secara politik dan militer Netanyahu akan safe and sound!
Tugas Mihwar Muqawamah saat ini melanjutkan perang, meraih poin politik, dan mempertahankan “kecaman” internasional yang mengkriminalisasi Israel, ini satu-satunya cara untuk mengalahkan Netanyahu, setidaknya untuk saat ini.
Iran mungkin akan membalas secara militer terhadap penghinaan atas pembunuhan Ismail Haniyya di Tehran, dan hal ini sudah pasti dan sudah diputuskan, namun kita berharap balasan tidak sampai berdampak terjadinya perang terbuka.
Sebenarnya, kalau Iran ingin membalas dengan balasan strategis yang lebih menyakitkan Israel dan Amerika Serikat tanpa menembakkan satu perlu pun, Iran harus beralih ke senjata nuklir dan mengubah program nuklirnya dari nuklir sipil menjadi nuklir militer secepat mungkin. Hal ini lebih besar, lebih penting, lebih efektif, dan lebih berkelanjutan dibandingkan dengan balasan rudal langsung terhadap Israel! Kata Menlu AS bulan lalu, “Iran is now probably one or two weeks away from doing that”, maksudnya produksi senjata nuklir.
Kata orang, “Feelings, anger and the desire for revenge are one thing, while political and field calculations and studying strategic objectives are another.” Biarlah waktu yang menjawab…..