Ada yang menanyakan tulisan pada foto diatas melalui inbox, apa maksudnya? Karena ini juga ditemukan di pesantren lain mungkinkah ada kesamaan?
Saya jawab bahwa pertanyaan itu adalah sebuah pertanyaan mendasar bagi siapapun yang ingin masuk perguruan manapun di Indonesia.
Apa tujuannya? Tentu saja biar para murid itu tidak salah alamat, tidak salah wessel, tidak keliru prasangka. Tidak salah sangka, tidak over convidence, tidak merasa ujub jika masuk ke situ, dan tidak merasa “bodoh” jika barangkali gagal sekali di ujiannya. Maka pertanyaan mendasar ini diajukan, “ke Gontor apa yang kau cari”
Dalam konteks Gontor, pertanyaan ini mengandung arti yang jauh lebih komplek. Ketika santri masuk ke kampus, maka akan menjumpau pertanyaan ini terpampang besar di depan gedung pertemuan.
Tujuan prtamanya sama dengan tujuan semua lembaga pendidikan, agar para santri tidak salah alamat dan salah prasangka masuk ke Gontor.
Apa yang kau cari? Bisa bahasa Arab? Bisa bahasa Inggris? Pandai berpidato? Mahir olah raga? Terampil Pramuka? Bisa manajemen? Atau apa? Kalau niat awal kita bisa bahasa Inggris atau Arab, tiga bulan saja kita sudah bisa ngomong Arab dan Inggris.
Kalau niat kita pandai berpidato, cukup ikut kursus publik speaking maka selesai masalah. Kalau pengen mendapatkan Ijasah, diluar banyak dijual ijasah, tinggal kita beli, ijasah dapat. Kalau Cuma itu tujuan kita, di Gontor setahun saja saya kira kita sudah akan mendapat itu semua. Lalu apa yang sebenarnya kita cari?
Yang saya cari ILMU…..
Kalau ilmu yang kita cari, maka konsekwensinya adalah harus memahami bahwa sebelum ilmu itu kita dapatkan kita tidak akan berhenti mencari.
Kalau harus mengulang, kalau harus tidak naik, kalau harus tidak tidur untuk belajar, kalau harus siap menjawab semua soal ujian yang di Gontor 90% adalah essai tanpa pilihan ganda, walau harus sakit karenanya, tapi kita tidak akan berhenti sampai ilmu itu kita fahami, sampai ilmu itu kita dapatkan.
Maka itu, tidak naik kelas di Gontor bukanlah sebuah aib, tidak naik kelas di Gontor adalah momentum memperbaiki apa yang belum kita kuasai pada ilmu itu. Siap mental…Siap bertaruh nasib…
Yang kedua, mencari ilmu itu harus Kaffah, menyeluruh. Ibarat kita makan soto, tidak akan enak kalau di makan satu satu. Kol-nya dimakan dulu, lalu bihunnya kita makan, lalu kecambah kita makan, lalu suwiran ayamnya, baru kita minum kuahnya, setelah itu kita hisap kecapnya, begini ini kapan enaknya?? Tapi kalau dimakan semua, ya nasinya, ya kol-nya, ya kecambanhnya, ya kuahnya, ya kecapnya, ya ayamnya itu rasanya nikmat sekali.
Sama juga belajar, kalau belajar bahasa Arab saja, atau bahasa Inggris saja, atau pramuka saja selama 6 tahun maka tentu akan membosankan dan melelahkan.
Tapi kalau belajar nahwu, sharf, balaghah, reading, grammar, dictation, latihan pidato, olah raga, pramuka, seninya dipelajari, disiplinnya, matematika, fisika, kimia, belajar berdagang, dan sebagainya, Insya Allah 6 atau 4 tahun tidak akan terasa, bahkan akan terasa kurang rasanya….
Sekali lagi…Ke Gontor, apa yang kau cari?