“You can’t make war in the Middle East without Egypt and you can’t make peace without Syria”, begitu kata kata mantan Menlu AS, Henry Kissinger suatu ketika.
Pada tanggal 7 Mei 2023 lalu para delegasi negara anggota Liga Arab mengadakan Pertemuan Sesi Luar Biasa di Kairo dan memutuskan pemulihan keanggotaan Suriah di Liga Arab setelah penangguhan selama 12 tahun akibat konflik yang terjadi di Suriah. Dan Suriah diundang untuk menghadiri KTT Liga Arab yang akan diadakan di Arab Saudi besok, 19 Mei 2023.
Kantor Kepresidenan Suriah telah mengkonfirmasi bahwa Presiden Bashar Al Assad akan menghadiri KTT tersebut, dimana beberapa hari sebelumnya delegasi Suriah yang dipimpin oleh Menlu Faysal Mekdad telah tiba di Jeddah untuk sidang persiapan.
Hal ini mengingatkan kita pada retorika yang selalu diucapkan mantan Menlu Arab Saudi, Adel Jubair (2015-2018) dalam setiap kesempatan yang membahas masalah Suriah, “No place for Assad in Syria’s future”. Menlu Jubeir tampaknya lupa pada petuah Grand Sheikh Diplomasi AS, Henry Kissinger, bahwa Suriah tidak bisa dikesampingkan dalam setiap problematika yang terjadi di kawasan. Ya Suriah, terlepas dari siapapun pemimpinnya, dan kebetulan saat ini pemimpinnya adalah Bashar Al Assad.
Perkembangan itu tentunya tidak terjadi dalam semalam, tentunya sudah dilakukan langkah-langkah diplomasi jauh hari sebelum sidang 7 Mei dilakukan. Sejak gempa bumi terjadi di Suriah pada 6 Februari 2023 yang lalu, beberapa negara telah mengemukakan inisiatif normalisasi hubungan dengan pemerintah Suriah seperti Arab Saudi dan Tunisia. Namun yang paling menonjol adalah inisiatif normalisasi Turkiye-Suriah, yang dikoordinasikan oleh Rusia, dan inisiatif normalisasi Arab, di mana Arab Saudi berusaha mengoordinasikan dan memimpin inisiatif tersebut.
Pemulihan keanggotaan Suriah kiranya erat terkait dengan perubahan konstelasi geopolitik kawasan Timur Tengah, antara lain normalisasi hubungan Iran-Arab Saudi, dan keterbukaan negara Arab yang selama ini berseberangan kepentingan dengan Suriah. Meski tidak pernah ada pengakuan secara resmi, namun persaingan kekuatan dan pengaruh antara Iran dan Saudi menjadi salah satu pemicu Konflik di Suriah.
Keputusan Liga Arab untuk memulihkan keanggotaan Suriah merupakan sebuah langkah positif untuk penyelesaian konflik Suriah, karena penyelesaian konflik tersebut hanya dapat dilakukan melalui dialog dengan pemerintah Suriah.
Kalau besok Presiden Suriah menghadiri KTT di Jeddah, maka dapat dipastikan bahwa kamera wartawan tidak akan menjauh dari presiden Assad, pasti setiap gerakan yang dilakukan presiden Assad akan menjadi bahan rubrik opini di media-media Arab, bahkan mungkin di media Barat. Mengingat sejak 12 tahun terakhir, KTT Liga Arab tanpa Suriah seperti kompressor ban di bengkel, suaranya gede, tapi isinya angin. Begitu kata sejumlah pengamat. Dan dalam KTT besok, tentunya 2 pidato yang akan menjadi the most anticipated, yaitu pidato pemimpin Arab Saudi dan pidato presiden Suriah.
Dengan diluncurkannya Saudi Vision 2030 oleh MBS pada tahun 2016 lalu, Arab Saudi pasca itu bukan lah Arab Saudi sebelumnya.
Sebagaimana Arab Saudi merupakan salah satu negara terbesar di kawasan, dari segi politik, ekonomi begitu juga militer, kini Arab Saudi sedang berupaya menjadi pemain utama di kawasan di tengah meningkatnya pengaruh 2 negara besar non-Arab, yaitu Turki dan Iran. Kebijakan polugri Arab Saudi yang baru berdasarkan moto “zero enemy” dengan tetangga tampaknya akan membuat Arab Saudi sukses mencapai visi 2030.
Menyusul langkah Arab Saudi tersebut untuk merangkul dan menyatukan kembali negara-negara Arab, khususnya normalisasi hubungan Arab dengan Suriah, AS mulai memproduksi sanksi baru sebagai kelanjutan dari Caesar Act 2019 yang dianggap gagal menjatuhkan pemerintah Suriah. Kemarin Selasa, Kongres AS meratifikasi RUU Sanksi baru “Assad Regime Anti-Normalization Act”. Menariknya, RUU tersebut diratifikasi dalam waktu singkat hanya seminggu setelah diajukan, biasanya minimal sebulan.
Untuk besok, semua wartawan menunggu moment ketika presiden Assad berjabat tangan MBS, karena momen itu lebih seru dibandingkan dengan ketika presiden Assad bertemu dengan Raja Salman, karena semua meyakini bahwa the real king adalah MBS.
Satu momen lainnya adalah ketika presiden Assad berjabat tangan dengan Emir Qatar Tamim bin Hamad, itupun kalau Emir Qatar mau datang. Mengingat dalam pertemuan 7 Mei lalu di Cairo, Qatar masih bersikeras untuk tidak akan menormalisasi hubungan dengan Suriah, setidaknya hingga saat ini.
Sejak konflik yang terjadi di Suriah tahun 2011 hingga saat ini, semua pemimpin negara Arab dan di kawasan sudah berganti, kecuali presiden Assad dan presiden Erdogan. Presiden Erdogan pun hanya menghitung hari hingga 28 Mei mendatang, untuk lanjut atau tidak.
Raja dan Presiden-presiden yang pada tahun 2011 sepakat untuk menjatuhkan Assad sudah tidak ada lagi, ada yang diganti ada juga yang sudah menghadap Ilahi. Semua yang duduk di kursi hari ini adalah penerus mereka yang sebenarnya mungkin tidak memiliki kebijakan terhadap Suriah seperti pendahulu mereka. Hanya saja mereka belum berani melawan kebijakan itu, karena peran AS dalam melengserkan Assad cukup kuat, disamping AS tahun 2011, masih AS tahun 2022. Tetapi setelah serangan Rusia ke Ukraina pada awal 2022, semua telah berubah. Biarlah waktu yang menjawab besok pagi….