Dulu, waktu Alm. Yaser Arafat masih menjabat Presiden Otoritas Palestina, Menlu Turki, Ismail Ćem pernah mendatanginya di Gaza. Kunjungan mendadak itu katanya sangat penting karena Menlu Ćem membawa surat penting dari AS dan Eropa terkait dengan nasib Qudus atau Jerusalem.
Seperti kebiasaan Arafat, setiap ada pertemuan di kantornya dia mau ada orang ketiga, entah apapun alasannya pokoknya harus ada. Kali ini diajak stafnya yang kelak menjadi Menteri Penerangan Pelestina, alasannya “Saya butuh penerjemah”. Padahal untuk saksi.
Menlu Ćem mengatakan bahwa dia membawa surat dari AS dan negara Eropa yang pada intinya mereka akan membantu terwujudnya perdamaian dan pembangunan Palestina dengan syarat Arafat menyetujui pembangunan bangunan kecil sebagai simbol “Kuil Sulaiman” di dekat Masjid Aqsha. Mereka mengutus Turki dengan asumsi bahwa Otoritas Pelestina akan mendengar Turki.
Secara mengejutkan Arafat menjawab, “Ok”. Tapi dengan syarat, “Tolong buat referendum di Turki, kalau rakyat Turki setuju dengan ide anda, maka saya setuju, dan kita bangun Kuil Sulaiman!”
Tanpa berbicara lebih lama, Menlu Ćem langsung ijin dan meninggalkan Gaza, paling dia membatin, “Gile aje bro, kalau buat referendum begitu aku bisa dimakan hidup-hidup tanpa garam ama rakyat Turki!”.
Alm. Yaser Arafat benar-benar paham bahwa Qudus adalah red line yang tidak boleh dilewati, sebagaimana yang dikatakan presiden Erdogan kemarin.
Barusan, Presiden Trump mengumumkan bahwa AS merestui Jerusalem menjadi ibukota Israel dan Kedutaan AS akan dipindahkan ke Jerusalem segera. Sambil mengatakan bahwa hal itu merupakan langkah yang “long overdue”, seharusnya dari dulu sudah dipindahkan!
Israel itu memang “kun fayakun”, kalau mereka mau harus tercapai! Dulu jaman Ottoman mereka minta tukar tanah Palestina kepada Sultan Abdul Hamid dengan emas dan kekuasaan, tapi Sultan menolaknya mentah-mentah. Puluhan tahun kemudian, tanpa emas dan uang, tanah itu menjadi milik mereka! Dulu, mereka mau berdamai dan memberikan uang dan jabatan kepada Yaser Arafat asal Arafat setuju untuk mendirikan simbol Kuil Sulaiman, Arafat menolak. Hari ini, tanpa mengeluarkan uang dan jabatan semua Jerusalem menjadi ibukota mereka!
Apa yang diminta kepada Trump sudah dilakukan, keputusan sudah dibuat “rufi’al qalam”. Sekarang kita menunggu feedback dan reaksi dari negara-negara Islam, bahkan dari negara Kristen juga, karena Qudus itu bukan saja kota suci Islam, tapi juga kita suci Kristen.
Kemarin Turki mengancam akan memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel dan mengumpulkan negara OKI untuk mengambil langkah tegas apabila Trump merestui pemindahan ibukota ke Jerusalem. Sekarang Trump sudah merestui, kita tunggu reaksi Turki, meskipun sebenarnya lebih bijak dan lebih jantan kalau memutuskan hubungan dengan AS, karena Trump yang punya peran.
Hampir semua negara Arab mengecam restu Trump, mulai dari Maroko, Tunis, Mesir, Yordania, Suriah, Lebanon sampai ke Iran. Tapi sayangnya ada selintingan dari Saudi bahwa MBS menyarankan solusi perdamaian kepada presiden Mahmoud Abbas untuk menjadikan Abudis ibukota Palestina sebagai ganti Qudus Timur! Debes estar bromeando ¿verdad?
Aku sendiri berharap Trump tidak menarik keputusannya ini, biar terbuka semua topeng-topeng yang selama ini mengaku mendukung Palestina dan anti-Israel. Kalaupun dia memang nanti menarik keputusannya itu tidak aneh, karena sebelumnya juga sudah sering, ancaman untuk menarik diri dari Kesepakatan Nuklir dengan Iran dan ancaman menyerang Korea Utara kalau tetap melakukan percobaan nuklir, keduanya adalah bukti nyata. Dan pada akhirnya hanya “Hibr ‘alal waraq”, kalau boleh memakai istilah Presiden Assad ketika mengomentari keputusan Trump.
Ya, menurutku ini hanya “keputusan simbolis” saja, untuk menutupi kekalahan Trump di Timur Tengah di depan The Last Gunslinger.
Pasca pengumuman restu pemindahan dari Trump, Banjamin Natanyahu mengatakan, “Qudus itu ibukota kami sejak 3000 tahun lalu, di jalan dan gang-gangnya nenek moyang kami berjalan, di sana juga Nabi-nabi kami memberikan nasehat…”.
Indonesia? The largest Muslim population in the world…”Apa? Palestina?” Sambil nyari-nyari surat izin Heimdal!
Ya, sekarang terlalu cepat untuk menyimpulkan, biarlah waktu yang menjawab