AGI tradisi akademis di Indonesia, riset seharusnya sudah sampai pada pemahaman yang tidak melulu tentang sesuatu yang rumit
untuk dibayangkan. Kemampuan kita untuk berimajinasi dan mengungkap fenomenafenomena sederhana di sekeliling dengan dukungan data dan fakta ilmiah dapat menjadi sebuah riset yang menarik.
Albert Einstein pernah berujar, ‘imagination is the highest form
of research. Pendapat Einstein menarik dicermati, yaitu imajinasi menjadi formula utama dalam membangun sebuah peneli tian.
Bukankah kita cukup senang bertualang dengan khayal an? Hanya, mengonstruksi khayalan menjadi sesua tu yang lebih bermakna bagi ke hidupan nyata ialah sesuatu yang harus ditelaah dan di pelajari.
Albert Szent-Gyorgyi, seorang biokimiawan Amerika kelahiran Hongaria yang memenangi penghargaan Nobel dalam bidang fisiologi pada 1937 pernah menuturkan, “research is to see what everybody else has seen, and to think what nobody else has thought.” Apa yang diutarakan Szent-Gyorgyi ini mengingatkan kita pada Sir Isaac Newton, yaitu ketika ia sedang berjalan-jalan di taman pada suatu hari dan melihat sebuah apel jatuh. Apel itu jatuh begitu saja, seolah-olah diraih dari bawah oleh sebuah tangan yang tidak kelihatan.
Cerita dan pengalaman yang dialami Newton mengilhaminya
untuk memformulasikan hukum gravitasi sebagaimana yang kita kenal hari ini meskipun cerita tentang jatuhnya apel itu tidak dapat terbukti kebenarannya dan bahkan memiliki banyak versi cerita. Namun, pelajaran menarik yang dapat kita ambil ialah cara Newton merumuskan sebuah riset dari sesuatu yang sangat sederhana yang ditemukan di sekelilingnya, tapi hasilnya mampu
memberikan pence rah an bagi peradaban manusia.
Publikasi riset Publikasi riset ilmiah Indonesia menunjukkan angka yang cu kup memprihatinkan. Situs Scimagojr.com yang merilis
data statistik publikasi jurnal ilmiah internasional dalam kurun waktu 19 tahun terakhir menempatkan RI pada urutan ke-57 dari 239 negara.
Secara pe ringkat, posisi Indonesia memang tidak dapat
di katakan buruk. Namun, jika dibandingkan dengan 3 negara tetangga, Singapura, Malaysia, dan Thailand yang masingmasing menempati urutan 32, 35 dan 43, jumlah publikasi jurnal In donesia masih kalah jauh.
Sebagai perbandingan, riset ilmiah Indonesia yang dipublikasikan
secara internasional dari 1996-2015 hanya 39.719. Bandingkan dengan Singapura (215.553), Malaysia (181.251), dan Thailand (123.410). Seyogianya, fakta ini dapat menja di pukulan telak sekaligus cambuk bagi para akademisi di RI untuk lebih produktif serta mampu membangun budaya riset secara lebih masif.
Laman situs resmi Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti) Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek dan Dikti) mengungkapkan, jumlah dosen di Indonesia mencapai 255.035 orang, dengan 4.440 perguruan tinggi (termasuk akademi, sekolah tinggi, politeknik, institut, dan universitas), serta jumlah mahasiswa yang masih aktif berjumlah
5.127.834 orang.
Potret statistik ini setidaknya memberikan gambaran betapa
besarnya potensi RI untuk menjadi negara riset. Jika saja para akademisi Indonesia, baik dari kalangan dosen maupun mahasiswa, bersinergi memberdayakan riset sebagai pilar utama yang menopang perkembangan keilmuan dalam
ranah pendidikan tinggi, serta mampu menjadikannya sebagai sebuah tradisi akademis yang terus dilestarikan, tidak
tertutup kemungkin an budaya riset akan mampu menjadi lokomotif utama yang akan mengantarkan bangsa ini pada titik kemajuan.
Sebagaimana dilansir situs Scimagojr.com, Amerika Serikat
(AS) merupakan negara yang menempati peringkat teratas dalam jumlah publikasi riset, mencapai 9.360.233 dalam rentang waktu hampir 2 dekade terakhir. Diikuti Tiongkok pada urutan kedua dengan akumulasi jurnal 4.076.414 dan UK (United Kingdom) di
posisi ketiga dengan jumlah 2.624.530. Fakta ini mengindikasikan
negara-negara dengan tradisi riset yang sudah mapan, diikuti produktivitas tinggi akademisi serta atmosfer pendidikan yang direkayasa sedemikian rupa untuk mendukung berkembangnya tradisi penelitian, telah mampu memobilisasi kemajuan negara di
berbagai sektor.
Realitas ini pula yang seharusnya mampu mendorong model pendidikan yang dirancang di negeri ini dengan berbasis pada riset agar temuantemuan penelitian yang kemudian diha s ilkan baik dari tingkat paling sederhana maupun yang sophisticated mampu berkontribusi secara signifi kan untuk kemajuan bangsa ini.
Riset ala Finlandia
Sejak bangku SD hingga perguruan tinggi, sistem pendidikan kita
kurang memberikan ruang untuk berpikir kritis. Padahal
kritis merupakan lan dasan utama untuk membangun
budaya riset. Bahkan pendidikan tentang ilmu riset atau
lebih dikenal dengan metodologi penelitian baru dia jarkan di
kebanyakan perguruan tinggi pada semester 5 atau 6.
Proses pembelajaran pun hanya berkutat p a d a
i s u -i s u p r a k – tis dalam me lakukan ri set tanpa mem be rikan pema ham an yang lebih komprehensif seca ra filosofis
tentang ke napa riset itu dilakukan.
Landasan pemahaman fi losofi s seharusnya menjadi akar yang akan menstimulasi daya imajinasi kritis. Karena itu, tidak
mengherankan jika ribuan sarjana yang lulus setiap ta hun hanya menjadikan riset dalam skripsinya sebagai syarat kelulusan semata tanpa ada hasrat untuk memanifestasikannya sebagai diskursus keilmuan yang bermanfaat bagi lingkungan di sekeliling mereka.
Finlandia telah mereformasi sistem pendidikan yang berada pada level mediocre pada 1980-an. Kini sistem pendidikan mereka
telah menjadi salah satu model pendidikan dunia. Pasi S a h l b e r g , d a l a m bukunya F i n n i s h L e s s o n s : What can the world learn from educational change in Finland yang meme nangi
Grawemeyer Award 2013, menyebutkan beberapa alasan engapa
pendidikan di Finlandia menarik dan layak untuk dijadikan sumber gagasan bagi negara-negara lain. Salah satunya ialah membangun budaya pendidikan dengan berbasis pada riset.
Setiap guru diorientasikan untuk menjadi peneliti. Teacher
as researcher ialah se suatu yang mutlak bagi setiap individu pendidik di sana.
Sementara itu, program beasiswa S-2 Yayasan Sukma Bangsa yang diperuntukkan 30 guru yang mengajar di tiga lokasi (Pidie, Bireuen, Lhokseumawe) Sekolah Sukma Bangsa di Aceh, yang bekerja sama dengan University of Tampere, Finlandia, telah memberikan pengalaman berharga untuk merasakan atmosfer pembelajaran berbasis riset. Proses pembelajaran yang berlangsung tidaklah terlalu muluk, tapi memberikan pemahaman
yang efektif serta holistis tentang bagaimana seharusnya seorang guru menyandarkan setiap proses pengajaran di kelas dengan berbasis pada riset. Hal ini ditujukan sebagai bagian dari pengembangan pedagogis dan profesionalitas.
Proses ini diharapkan pula dapat memberikan pengalaman belajar yang autentik bagi setiap guru yang tergabung dalam program ini agar mereka mampu membuka cakrawala berpikir secara kritis
dan mendalam untuk mengungkap fenomena-fenomena pendidikan di sekitar mereka.
Temuan-temuan itu nantinya diharapkan dapat memberikan
kontribusi signifi kan, bukan hanya untuk pengayaan diskursus keilmuan dalam ranah pendidikan, melainkan juga mampu berandil untuk memberikan solusi jangka panjang di berbagai lini vital yang akan menyokong kemajuan bangsa ini.
Diharapkan, 30 guru yang akan lulus dari program ini mampu menularkan ritme budaya riset, bukan hanya untuk guru-guru di Aceh, melainkan juga dapat mewarnai dunia pendidikan Indonesia dengan membumikan tradisi riset. Semoga, Wallahualam.