Kalau kita bicara wakaf, maka biasanya fikiran kita akan terbang ke Al-Azhar, di Universitas itulah wakaf dikelola dengan amat sanat baik, sehingga mampu mambiayai ribuan mahasiswa yang mengambil kuliah disana. Kalau kita bicara di Indonesia, maka arah fikiran kita akan menharah ke Gontor atau UII Jogja. Dua lembaga itulah yang biasanay dijadikan benchmark dalam pengelolaan wakaf di Indnonesia.
Nah, kalau bicara Gontor, ada satu wakaf lagi yang mungkin jarang atau bahkan tidak ada di luar. Itu adalah wakaf jiwa. Ini adalah bentuk wakaf tertinggi di Gontor. Wakaf Jiwa adalah kemauan seseroang untuk menyerahkan jiwa, raga, harta, bahkan cintanya kepada Allah melalui Pesanten Gontor. Semuanya diserahkan ke Gontor. Seorang yang berwakaf jiwa itu ibarat tentara, dia sudah “menjual” jiwanya kepada negara. Harus siap ditempatkan dimanapun. Siap disuruh apapun.
Siap mengelola apa saja. Siap berkorban apa saja dengan konidisi bagaimanapun juga. Bahkan ini yang menurut sebagian orang terasa berat. MENIKAH sekalipun harus atas persetujuan pondok. Kalau orang tua sudah setuju, kedua orang tua sudah sepakat, tapi Pondok tidak setuju kepada calonnya, maka otomatis pernikahan itu batal. Berat memang, kalau kita memikirkannya. Tapi ringan ternyata, kalau kita ikhlas melakukannya….
Wakaf jiwa adalah puncak dari jiwa keinkhlasan yang ditanamkan kepada jiwa para santri di Gontor. Tidak terbayang sama sekali dibenak kita bagaimana kalau kita ditugasakan ke ujung papua untuk membka pesantren di sana. Atau membela sungai di barito untuk membangun kembaga pendidikan Islam atas perintah pesantren. Berjibaku dengan medan nan berat luar biasa di pelosok negeri, tanpa listrik, dengan santri yang Cuma 9 orang, detemani anjing-anjing liar yang berkeliaran setiap hari disekitar rumahnya,
Bbagamana kalau anak dan istrinya sakit? Bagaimana belanja kebutuhannya sehari-hari? Bagaimana kulonuwun dengan masyarakat sekitarnya? Bagaimana kalau di diminta mengisi pengajian di sana? Itu belum apa-apa, tidak terpikirkah kita kalau para kader wakaf itu ditugaskan di daerah Konflik? Semacam aceh atau poso? Hidup bersama rentetan suara tembakan dan bom yang hampir setoap hari berkumandang membelah suara adzan yang dia harus lantunkan? Hidup bersama ancaman yang hampir datang setiap hari, berlomba dengan waktu membangun pendidikan Islam bersama dengan permintaan bantaun dengan ancaman yang dilakukan oleh gerakan sparatis misalnya…betul-betul berat…perjuangan betul…
Ok-lah, itu kita anggap resiko perjuangan. Tapi Istri?? Kenapa harus ikuta aturan pondok? Bukankah tentara sekalipun bebas mentukan calo Istrinya ? Ini yang mungkin belum di sadari oleh kita. Istri adalah belahan jiwa. Dia adalah separuh nyawa kita. Alm KH Hasyim Muzadi pernah melempar sebuah Guyonan, kalau sehebat-hebatnya jenderal, sepinter-pinternya seorang profesor, kalau pulang dibentak Istrinya, bisa jadi Goblok mendadak. Vital betul pilihan Istri ini dalam kehidupan. Sekali kita salah, seumur hidup kalau kita tidak berhasil mendidiknya, maka kita akan hidup dalam ketidak nyamanan itu…
Kita boleh saja berfikir di minta kita ujung Sulawesi tanpa listrik dan laptop adalah perjuangan. Tapi Istri kita belum tentu memandang seperti itu. Bisa jadi dibenaknya adalah kita di usir dari pondok, disuruh hidup sengsara, padahal rekan-rekannya di Gontor hidup dalam keterjaminan hidup yang nikmat. Kita boleh saja berfikir bahwa ditugsaknnya kita menmbus sungai, atai hidup ditengah daerah konflik adalah sebuah sebuah cara mendidik dan melatih kita menjadi prinadi tangguh dan serba bisa. Tapi ini bisa jadi berbeda di mata Istri, yang mungkin saja berkata kalau pondok itu membenci kita, sehingga kita dijauhkan dari pusat pondok, dijauhkan dari sekedar kenikmatan berjuang (berjuang kok enak), kemana-mana ndak bisa, kalau sakit harus berobat sendiri, kalau mau beli lauk harus pakai motor juahnya berkilo-kilo meter, ini pasti karena pondok tidak suka kepada kita, dan fikiran-fikirian merusak yang lain.
Atau bisa juga istri kita berfikiri bahwa yang namanya ustadz itu maka hidupnya harus terjamin. Punya rumah lengkap dengan perabotnya plus kendaraan dinas. Sehingga ketika diminta berjuang, Istri berfikir tidak layak bagi seorang Ustadz untuk berjuang seperti itu. Lalu dia ingin keluar dari pesantren, ingin ngontrak dengan membayangkan kalau mengontrak dia bisa lebih bebas menagur hidupnya. Tidak disuruh-suruh, tidak mengangguk-anggukkan kepala saja, tidak diminta kumpul-kumpul untuk menyatukan persepsi dengan pimpinan, diminta liburan bersama saja menolak dan tidak mau. Lalu mencaricari alasan dengan menyatakan dia sibuk lah, ngurus inilah, ngurus itulah, tidak sempatlah, dan berbagai alasan lain. Untuk hal-hal yang sbersifat demikian inilah yang ingin Gontor hindari.
Maka itu, memilih Istri bagi seorang kader wakaf haruslah seletif. Istri yang bersedia mendampingi berjuang, bukan sekedar duduk dan menikmati kesenangan. Istri yang mau diajak berjibaku, bukan tersenyum atau menggerutu. Istri yang siap diajak hidup apa adanya, bukan istri yang hanya siap hidup apa-apa ada. Istri yang siap sampai mati berjuang bersam suaminya tanpa berfikir harta melingkupinya, karean keyakinannya begitu besar, Allah tidak akan menyia-nyiakan hidup orang yang berjuang di Jaln-Nya. Istri seperti inilah yang diharapkan bisa menjadi pendaping yang hidup lagi menghidukan, Istri yang berarti juga memberi arti, Istri sejiwa dan sejalan denganperjuangan suaminya, bukan seirama dengan keinginan dan nafsunya.
Demikianlah beratnya wakaf Jiwa di Gontor itu. Semua di wakafkan, diserahkan kepada pondok, difikirkan oleh pondok, di doakan oleh pondok, dan Alhamdulillah…semua kader wakaf itu itu sampai saat ini bisa hidup dengan amat sangat layak berserta keluarganya…meski tanpa sepesertpun gaji dari pesantren yang dia berwakaf diri kepadanya….