Tiada pencarian terbesar manusia selain bahagia. Semua awal dan akhir perjalanan manusia demi kata bahagia itu. setiap tokoh pada zamannya selalu menggelorakan semangat menjadi bahagia, baik dengan ajaran murni dari Langit atau falsafah logik-intelek dalam mencerna semua makna yang ingin dicapai manusia untuk hidupnya.
Sebagian ahli mempercayai bahwa kebahagiaan itu suatu kondisi mental, ia terlepas dari kepemilikan, keinginan dan kebanggaan negatif. Rasa bahagia itu hinggap sesuai porsi dan kapasitas sang diri untuk menerimanya sambil memaknai setiap peristiwa dengan pandangan bercakrawala.
Tentu kita membedakan tingkatan bahagia pada level anak-anak dan pribadi dewasa, namun semua mesti sampai pada bahagia yang dimanifestasikan dalam tujuan hidup sebagai manusia, sebagai muslim, misalnya.
Sebagaimana iman, rasa bahagia itu agaknya turun dan naik juga, menebal dan menipis, sesuai kadar makna yang mengendap dalam pengalamannya sepanjang waktu.
Bila setiap orang dapat mengondisikan dirinya dalam merespon dan menaggapi setiap gejala dengan kesadaran yang dalam, ia tentu dapat memetik bahagia dari setiap saat yang ia lewati sepanjang hari, entah dengan siapa atau dalam keadaan apapun selama tidak menyalahi fitrah keberanan yang diyakini. Dan kita memang mesti terus belajar menjadi bahagia lewat hal-hal kecil, agar kebahagian besar bisa dijangkau.
Baik saat ramai atau sunyi, dalam susah atau pun senang.