Saya agak miris menyaksikan beberapa berita akhir-akhir ini. Ada kepala sekolah perempuan di siksa gara-gara menindak muridnya. Ada seorang Guru yang bahkan sampai mati gara-gara menindak muridnya yang hal itu betul-betul melecehkannya.
Ada video seorang anak SD menuding-nuding gurunya sambil menantang, atau juga perang antar sekolah yang hampir terjadi sepanjang waktu. Dada saya berdegup kencang, sudah separah inikah potret masyarakat kita?
Kembali wajah saya mengarah ke Gontor sambil bertanya-tanya, bagaimana pesantren ini, dengan 4300an santrinya, semuanya laki-laki dengan background keluarga yang jelas berbeda-beda, dengan usia yang sama sekali tidak sama, dari berbagai daerah yng tentu saja budaya dan cara bicaranya berbeda-beda bisa menyatu dalam tali ukhuwah yang kokoh, nyaris tanpa peselisihan yang berakhir dengan kekerasan (Baca : Perkelahian).
Para santri tunduk dan patuh kepada Guru, apapun kondisi dan keadaanya. Tidak ada santri demo Guru, tidak ada santri menantang Guru, bahkan tidak ada santri melawan santri yang derajatnya lebih tinggi.
Seperti mudabbbir atau bagian OPPM, meskipun santri berusia lebih tua dari mudabbirnya.
Ada beberapa hal yang dalam hal ini menjadi catatan pribadi saya mengenai hal ini :
1. Di Gontor, semua potensi untuk membentuk Gank tidak pernah diberi celah. Tidak boleh ada santri dari satu daerah lebih dari 3-5 orang dalam satu kamar. Karena orang dengan satu daerah yang sama akan menjadi hal yang merusak.
Menimbulkan fanatisme buta, bicara bisik-bisik dengan bahasa daerah, akhirnya memandang bahwa yang benar adalah yang dari konsulnya itu. Mirip dengan perkelahian zaman KH Imam Zakrasyi masih hidup antara santri jawa dan santri kalimantan. Perselisihan ini bahkan sudah melibatkan konsulat masing-masing. Hingga KH Imam Zarkasyi rurun tangan.
“Santri kalimantan, yang tidak mau disebut dayak, silahkan pulang, Santri Jawa, yang tidak mau disebut jawa silahkan pulang!!”
Kurang lebih demikian beliau menyampaikan. Tegas, Lugas, Bermakna
Para santripun akhirnya menyadari, bahwa mereka hanya tamu di Gontor. Dan tuan rumah tidak akan mengizinkan tamunya untuk berselisih paham dirumahnya. Mereka sadar sepenuhnya, untuk kemudian saling memaafkan.
2. Di Gontor, akses informasi dibatasi. Televisi dan radio tidak boleh masuk. Tidak boleh membawa handphone, tidak boleh bawa laptop, koran tidak bisa sembarangan dibaca santri. Sehingga satu-satunya informasi santri adalah dari koran (yang tentu saja sudah disensor sebelum ditampilkan).
Jadi santri tidak tahu berita ada kabar gank motor misalnya, atau berita mengenai pembunuhan guru misalnya, jadi fikiran para santri aman dari hal-hal yang merusak ditengah kebebasan informasi yang terjadi sekarang.
Mengingatkan saya di zaman Orde Baru dulu, dimana akses informasi juga sangat terbatas. Tidak semua informasi masyarakat tahu, tidak semua informasi masyarakat mendengar. Tapi apa yang terjadi? Rakyat hidup makmur, beras dan BBM murah, harga-harga stabil, tentu saja meskipun demokrasi memang mati suri.
Tak beda dengan di Gontor, di Gontor boleh dibilang tidak ada demokrasi, hasil pemilihan ketua OPPM misalnya, walau dipilih paling banyak oleh santri, tapi pimpinan tidak setuju, ya tidak jadi. Dimana demokratisnya? Kata Kyai Hasan: “Demokrasi di sini, di ciri-i dan di cara-i dengan cara dan ciri Gontor. Ya begini ini, mau ikut silahkan ndak mau ikut silakan pergi, Very Good Very Fine. Ndak mau ikut silahkan cari yang lain!”
3. Di Gontor semua yang menimbulkan ashabiyah (Fanatisme) di kikis sejak awal. Di Gontor ada banyak hal yang bisa menimbulkan ashabiyah. Ada Club sepak bola, ada Gugus Depan Pramuka, ada Konsulat, ada kelas, ada kekelompok kesenian. Tapi boleh dibilang, hampir tidak ada satu santri dengan komunitas yang sama ditempatkan di dua organisasi sekaligus.
Artinya seorang santri boleh “perang” antara Gugus Depan pramuka, tapi setelahnya pasti beda dalam pergaulan sehari-hari karena beda klub olah raganya.
Para santri yang panas karena kekalahan klub olah raganya di tundukkan klub lain, tidak akan mungkin sakit hatinya beterus-terusan karena setelah itu antara dia dan “musuh”nya ternyata satu kelompok Muhadharah atau satu asrama atau bisa juga ternyata satu kelas.
Maka setelah panas-panasan di lapangan, biasanya akan berakhir di kiftir (kantin) dengan panggilan akrab yang masyhur seluruh Gontor dari zaman ke zaman “Sul, atlub qalil ye…”
4. Semua di kontrol oleh satu kebijakan Kyai yang sama. Diterjemahkan dengan makna yang sama oleh pengasuhan dan KMI (Pengajaran). Dilaksanakan satu suara oleh mudabir dan dilaksanakan dengan patuh oleh para santri. Memang tidak ada sistem yang sempurna, masih ada titik celah untuk melanggar, tapi bersiaplah untuk menghadapi resiko terberat di Gontor : Di Usir secara tidak Hormat.
5. Semua santri menyadari bahwa mereka disini tamu, bisa jadi ada mereka pandang kurang pas di sini. Tapi karena merasa tamu, jadi memang tidak berhak memaksa untuk merubah. Merekalah yang harus undur diri dari tuan rumah.
Santri tidak membayar Guru, sehingga mereka tidak berhak perotes apapun kebijakan Guru. Mereka hidup di pesanren yang Kyai saja bahkan tidak mengenal kata Gaji.
Mereka lahir dari rahim pesantren yang dimana mereka menemui ustadz, ada tulisan keikhlasan di dada para ustadz itu. Apapun posisi ustadz tersebut. Mereka sama sekali tidak di Gaji.
Semua dilaporkan oleh para Kyai di sidang badan wakaf, dipertanggung jawabkan, siap dikoreksi. Prinpsipnya adalah “Haasibu anfusakum Qabla An tuhsabu” (Hisablah dirimu sebelum dirimu kelak dishisab oleh Allah).
Saya kembali merenung, betapa sulitnya menegakkan apa yang ada di Gontor ini di dunia luar. Betapa sulit, betapa susahnya. Tapi setidaknya, saya bisa menunjukkan ada lembaga pendidikan yang punya model seperti ini di Indonesia. Di Gontor…