Berawal dari sebuah “tragedy”. Dimana seorang santri yang ketahuan membawa walk man pada saat jaga malam ketahuan oleh Pengasuhan santri. Maka si santri pun disidang di depengasuhan dan diminta untuk membanting walk man itu di hadapan sang ust, karena walk man memang barang terlarang dibawa ke Gontor.
Maka dibantinglah walk man itu hingga berkeping-keping. Semua kejaidan itu ternyata tidak lepas dari pengamatan seorang Ust. Beliau lulusan SMU yang kemudian masuk Gontor. Beliau ahli sekali dalam hal elektronika. Ust. Tasdiq, begitulah nama beliau. Lalu beliau memanggil santri tersebut, dan meminta izin untuk meminta sisa-sisa bantingannya yang sudah berkeping-keping itu untuk diberikan kepada beliau. Santri itu membolehkannya dan menyerahkan kepingan Walk Man tadi kepada beliau.
Dari serpihan-erpihan walk man itulah, maka ust tasdiq iseng-iseng membuat sebuah Stasiun Radio mini di Gontor. Radio ini asal mulanya ya hanya iseng saja. Diberi nama “MIDLOAH FM”. Isinya ya hanya canda-canda saja, karena hanya bisa didengarkan di seantero pesantren saja, tidak bisa meluas.
Ke isengan beliau menggembirakan. Banyak ust yang bergabung jadi “penyiar” di MIDLOAH FM itu. Ada Fadli Bahmid, Deny Tegal (Ortega), Bung Nakippelu, dan beberapa Ustadz lain. Isinya selain lagu-lagu adalah pengumuman dari Masjid.
Ada untungnya juga, karena kelas Enam yang ndak ke masjid bisa denger pengumuman ada kumpul atau tidak lewat radio. Akhirnya dengan modal Tape Poliytron kecil, dipindahlah Siaran Radio MIDLOAH FM itu ke Gedung Asia, saat itulah saya bergabung di dalamnya bersama Khairul Anwar (Edo), IqBal Wakalima (dimas), Irwan Lukman Adnan (iwong). Karena waktu itu masih menggunakan kaset, jadi kita masih bingung kalau mau muterin lagi yang bukan diawal kaset. Harus fast atau rewind lagi.
Makanya kadang-kadang terdengar bunyi “ceklek”, itu tandanya kita belum siap lagunya. Masih cari2 yang pas. Saat itulah Radio Ini berganti nama menjadi SUARGO FM (Suara Gontor FM). Mulai ada jingle yang kita buat sendiri. Tapi tetap tanpa siaran berita dan tanpa Iklan. Karena siaran kita sudah bisa didengarkan hingga radius 6 KM sekeliling kampus.
Suatu hari, beliau dipanggil Pak Kyai. Menurut beliau, pak Kyai bertanya, butuh dana berapa kalau mau menjadikan SURGO FM menjadi Radio dengan skala besar. Pertanyaan ini tentu saja kami sambut dengan gegap gempita. Pak Tasdiq segera merancang Anggarannya. Ada ceritanya dibalik pertanyaan pak Kyai itu. Bahwa ternyata Gontor itu sudah mendapatkan Izin pendirian Radio jauh-jauh hari sebelum ada SURGO FM. Waktu itu menteri Penerangan (Pak Harmoko) tengah berkunjung ke Gontor.
Seperti biasa, setiap ada kunjungan menteri maka biasanya harus ada “sesuatu” yang ditinggalkan di tempat itu. Maka karena Pak Harmoko tidak membawa apa-apa, maka diberikanlah Izin pendirian Radio kepada Gontor. Nah, karena baru ada Radio-nya, maka sayang kalau Izin itu tidak kita manfaatkan. Maka beliau berkeinginan SUARGO FM menjadi besar.
Akhirnya SURGO FM-pun pindah markas lagi dengan kapasitas ruangan yang lebih besar dan lebih serius.
Kali ini dipilihlah Gedung Syanggit sebagai Home Base kami. Waktu itu, saya tidak bergabung lagi di SUARGO FM, karena ditugaskan sebagai pengawas diskusi dan Muhadoroh. Waktu itu sudah ada Sunan Limolas (kuta), ada Heppy Chandra (Cahndra), ada Ust Irfan Wahyunidi studio tersebut. Siarannya sudah mulai teratur dan Rapi.
Ada “Good Moorning People”, ada “Jalan-Jalan Sore”, adan juga” NIRMALA” (Singakatannya saya Lupa). Cakupan siarannya sudah mulai menembus kota Ponorogo bahkan lebih. Hingga terdengar hingga daerah Badegan (perbatasan dengan Wonogiri di Jawa Tengah). Syiar Gontor sudah mulai terdengar.
Hingga saya diminta bergabung kembali, Radio Ini kemudian berubah lagi namanya menjadi SUARA GONTOR FM. Dengan menara pemancar yang tinggi menjulang di atas gedung Saudi enam, dan markaz kami dibawahnya.
Semakin mantaplah perjuangan kami bersyiar tentang Gontor ini kepada Masyarakat. Acara-acara kami sudah paten, waktunya juga sudah tepat, siarannya berganti ganti. Tapi sudah rapi dan terarah. Saya sering tersenyum-senyum sendiri ketika ada pendengar yang “Jatuh Cinta” sama suaranya Candra, sampai minta ketemuan sampai orangnya sakit.
Atau ada cerita juga tentang seseorang yang kehilangan STNK-nya, lalu minta surat keterangan pengumuman kehilangan ini di radio Swasta di Ponorogo. Lalu ditanya, “kenapa ga ke Suara Gontor FM aja mas. Kan jangkauannya lebih luas, lebih jernih lagi ditangkapnya daripada kami? ”…Ah, Indahnya….
Sekarang, zaman sudah berganti. Personilpun sudah pula berganti-ganti. Ust Tasdiq juga sudah tidak di Gontor lagi. Tapi saat ini Suara Gontor semakin besar. Bahkan sudah bisa didengar Streamingnya lwat Internet. Alhamdulillah, semoga Syiar Gontor semakin terjaga. Insya Allah.