“Tadi pagi ada seorang Kyai yang minta anak lulusan Gontor untuk mengabdi di pondoknya, langsung saya tanya dia, mau kamu bayar berapa anak-anak Gontor ngabdi di pondokmu??
Dia agak terkejut juga, barangkali dia mikir kok matre sekali saya ini, sampai pengabdian saja di tanya gajinya berapa? Maka saya bilang disini, saya tidak rela almuni Gontor, kalian yang mau lulus ini, yang susah payah kita didik dan kita bina, kita tugaskan dengan berbagai permasalahan, kita bekali dengan berbagai kemampuan ini lalu mengabdi dan hanya dijadikan sapi perahan.
Jasa kalian diminta, pengabdian kalian diambil, kemampuan kalian di minta juga, tapi kalian tidak mendapatkan hak yang layak bagi kalian. Maka itulah saya bangun gontor-gontor cabang ini, agar kalian bisa mengabdi di Gontor saja. Karena kalau kalian tahu, banyak sekali alumni yang tidak betah di pondok pengabdian buka karena kurangnya fasilitas, tapi karena perbedaan system dengan Gontor. Maka kalian ini pejuang-pejuang tangguh yang harus dihargai, jangan cuma jadi sapi perahan saja.
Di M**** contohnya, dulu ada pesantren Kyainya kesini minta alumni pengabdian. Santrinya waktu itu cuma 150 orang. Saya beri 5 alumni kita untuk
mengabdi disana. Ternyata setelah alumni kita bergabung Alhamdulillah santri terus bertambah, sampai mencapai seribu santri.
Tapi Alumni kita yang sudah berjuang habis-habisan disana dibiarkan, tidak mendapat penghargaan yang layak. Kyainya malah sibuk berpolitik, urusan pesantren diserahkan sepenuhnya kepada Alumni kita itu, makan santri bagaimana, kualitas guru bagaimana, system pengajaran seperti apa, kyai ini tidak mau tahu.
Akhirnya karena tidak mendapatkan hak yang semestinya, kelima alumni kita itu pulang lagi ke Gontor, mengadu kepada saya. Saya langsung tarik
pulang kelima-limanya. Setelah ditinggal mereka, perlahan santri pondok itu mulai turun, terus turun, terkakhir saya dengar tinggal 50 orang saja santrinya.
Kemarin Kyai-nya menemuai saya minta pengabdian lagi. Saya tolak, saya tidak terima alumni Gontor cuma dijadikan sapi perah, diamanfaatkan, tanpa bisa dihargai dengan layak… Berkorbanlah, tapi jangan sekali-kali jadi Korban….!!”
( Sambutan KH Syukri Zarkasyi dihadapan kelas enam 1999 akhir (spinkers) yang disambut tepuk tangan meriah oleh kami yang mendengarkan. Ketika saat ini diluar, betapa kami menyadari bahwa beliau masih memperhatikan kami meskipun sudah alumni)