Oleh: Muhammad Nuruddin
Melihat perkembangan komentar netijen terkait kasus Ponpes gontor, saya tertarik untuk meluruskan kesalahpahaman terkait surat perjanjian yang tengah beredar itu. Mungkin ada orang yang mengira, bahwa surat perjanjian itu dibuat supaya pesantren bisa semena-mena memperlakukan para santrinya.
Sehingga kalau terjadi apa-apa, pihak orang tua nggak boleh melapor kepada yang berwajib. Jangan mudah berburuk sangka, dan menyimpulkan sebuah informasi tanpa melihat dari berbagai sisinya. Sekarang saya ingin mengajak Anda untuk melihat sisi yang barangkali tidak terpikirkan oleh para netijen itu.
Pertama, pihak pesantren tidak mungkin mengontrol anak kita selama 24 jam penuh. Kita harus pahami itu. Sehingga kalau terjadi kesalahan yang menimpa anak kita, jangan disimpulkan bahwa itu pasti kesalahan pesantren, keteledoran pesantren, dan lain-lain.
Pengurus pesantren itu manusia biasa yang punya keluarga, punya anak, punya masalah hidup, dan lain-lain. Keseluruhan waktu mereka tidak mungkin tercurahkan untuk mengurusi para santri semata. Urusan sekolah sendiri sudah banyak. Mengurus dan membimbing santri itu hanya salah satunya saja.
Jadi kalau ada kejadian santri dimaling, dijailin sama temennya, dibuli, dikata-katain, berantem sama temen, dan semacamnya, jangan pandang itu sebagai kesalahan murni pesantren. Tapi memang begitulah resiko hidup dengan orang banyak, dengan karakter yang berbeda-beda, seperti yang sudah saya singgung dalam tulisan yang lalu. Yang bersalah itu santrinya, belum tentu aturan pesantrennya.
Kalau Anda mengadu kepada pihak pengurus, yang melakukan kesalahan itu pasti akan dikenakan sanksi. Siapapun itu. Tapi apakah pesantren bisa menjamin bahwa kejadian yang kurang menyenangkan itu pasti tidak akan pernah terjadi? Yang sudah paham tidak memerlukan jawaban.
Lalu untuk apa surat perjanjian itu dibuat? Anda harus tahu ini. Bahwa orang tua yang memasukkan anaknya ke pesantren itu punya karakter yang beragam. Cara mereka ketika protes, komplain, dan menyelesaikan masalah terkait anaknya itu juga berbeda-beda. Ada yang dewasa, ada yang berlebihan. Bahkan ada orang tua (maaf) yang cara ngomongnya itu pedes. Nggak paham hidup di pesantren itu kaya apa.
Tapi kalau ngomong demennya nyalahin pondok. Tersandung masalah sepele aja bisa dibesar-besarkan. Padahal itu resiko dari pilihannya sendiri, yang telah mempercayakan anaknya kepada pihak pondok.
Kebayangkan kalau setiap kali ada masalah setiap orang diperbolehkan untuk lapor polisi, sementara mengurus pesantren bukan cuma ngurusin santri? Kita aja yang ngurusin ratusan santri suka kepusingan. Bahkan suka ngelus dada kalau ada orang tua yang protes secara berlebihan itu. Lah ini ribuan orang.
Bukan berarti pondok itu melegalkan kekerasan, pencurian, pembulian dan lain-lain, sehingga surat perjanjian itu dibuat supaya anak para wali santri diperlakukan secara bebas, atau dihukum scra semena-mena. Apalagi sampai menghilangkan nyawa.
Surat semacam itu justru dibuat agar tidak memunculkan masalah baru. Biarlah urusan pondok itu diselesaikan secara kekeluargaan. Kalau tidak siap dengan kesepakatan itu, jangan masukin anak ke pondok. Sesederhana itu.
Anda urus anak buah hati Anda di rumah. Didik mereka dengan keteladanan dan ilmu agama yang mantap. Karena memang Anda lah yang paling bertanggungjawab dengan semua itu. Anda yang melahirkan, Anda pula yang berkewajiban mendidik. Kontrol kehidupannya selama 24 jam penuh, kalau Anda mampu. Kalau anaknya bandel, pasti Anda sendiri sadar, bahwa mengurus dan mendidik anak itu pusingnya minta ampun. Ingat, itu baru satu anak.
Sekarang bayangkan satu lembaga yang ngurusi ribuan orang. Terbayang? Ambillah satu pilihan dengan konsekuensinya. Kalau mau masukin anak ke pondok, sadarilah konsekuensi itu.
Pergaulan anak Anda bisa terjaga, dia diberi pendidikan agama yang layak, diajak untuk tidak meninggalkan ibadah, diajari pentingnya bakti kepada orang tua, pentingnya bersabar, disiplin, kerjasama, hidup prihatin, dan lain-lain. Dan semua itu bisa menjadi bekalnya dalam menghadapi kehidupan nanti. Tapi ingat, di pesantren, anak Anda juga akan menjumpai beragam karakter manusia.
Dan itu pasti ada konsekuensinya. Kalau terjadi sesuatu yang kurang menyenagkan pada anak Anda, jangan buru-buru nyalahin pondok. Bisa jadi itu benar kesalahan pondok. Bisa jadi juga itu murni kesalahan santri.
Santri kan nggak semuanya orang baik. Kalau pengen hidup di lingkungan orang baik semua, jangan masukkan anak ke pondok. Dan nggak cuma pondok. Sekolah luar juga begitu. Tidak hanya menghimpun anak-anak yang baik. Dan resiko semacam itu akan selalu ada.
Kedua, ketika memasukkan anak ke pondok, anak Anda akan dididik oleh para guru dan kiai. Tapi dalam menjalani kehidupan sehari-hari, yang mengatur mereka itu ialah santri-santri seniornya. Kaka kelasnya. Para pengurusnya. Karena para ustad nggak akan mampu mengurusi manusia sebanyak itu, tanpa bantuan santri yang lain.
Siapa yang jadi pengurus itu? Mereka adalah anak-anak remaja, yang karakternya juga berbeda-beda. Ada yang baik, ada yang emosian. Macem-macemlah pokoknya. Apakah pesantren punya aturan khusus untuk mereka? Pasti.
Para pengurus dibilang nggak boleh melakukan ini, itu dan ini. Mereka harus mau berbuat ini, itu dan ini. Aturan utk mereka itu ada. Kalau mereka berbuat salah, apakah mereka juga bisa mendapatkan hukuman? Sama. Semuanya mendapatkan hukuman kalau terbukti bersalah. Biasanya ustad penanggungjawabnya yang menghukum.
Tapi pada kenyataannya, kita (pengurus pesantren) lagi-lagi nggak bisa mengontrol penuh kegiatan mereka itu. Karena, sekali lagi, urusan pesantren itu banyak. Belum lagi kita juga butuh waktu untuk menuntaskan pekerjaan kita sendiri, melewatkan kebersamaan dengan keluarga, dan lain-lain.
Para ustad bukanlah robot yang Anda bayar untuk mengawasi secara penuh kehidupan anak Anda. Sesekali kita juga butuh hiburan dan ketenangan. Sebagai konsekuensinya, kejadian yang kurang menyenangkan itu kadang terjadi di luar kehendak kita sendiri. Kita pengennya nggak begitu. Aturannya udah kita buat. Dikasih nasihat berkali-kali. Tapi namanya anak remaja kadang susah diatur.
Di luar sana ada orang tua yang nggak mau tahu menahu tentang kenyataan itu. Pokoknya kalau terjadi apa-apa sama anak saya, saya akan protes, saya akan melapor.
Ada yang kaya begitu cara berpikirnya. Demi menghindari adanya masalah semacam itu, dibuatlah surat perjanjian. Seolah-olah surat perjanjian itu pengen bilang begini. “Bapak, ibu, anaknya kami terima ya. Dan akan kami didik semampu kami. Dengan keterbatasan kami. Dia juga akan tunduk pada aturan pesantren, yang kita buat untuk kemaslahatan bersama.
Namun kami berharap, kalau kelak terjadi hal-hal yang kurang menyenangkan terkait anak bapak/ibu, dan kejadian itu terjadi di luar kehendak kami, karena adanya santri yang melanggar aturan kami, misalnya, maka kami berharap itu diselesaikan secara kekeluargaan aja.
Karena memang beginilah kenyataan hidup di pesantren. Hidup dengan orang banyak. Aturan ada. Tapi kita nggak bisa mengontrol selama 24 jam. Kalau bapak/ibu siap dengan kesepakatan itu, monggo ditandatangani. Kalau tidak, lebih baik jangan masukin anak ke Pesantren.
Akan lebih baik kalau dia dididik oleh orang tuanya sendiri, sehingga kalau terjadi kesalahan, orang tua tidak akan menyalahkan pihak lain. Mengurusi orang banyak itu nggak mudah. Bisa repot kalau setiap kali ada masalah dilaporkan kepada pihak yang berwajib.
Apakah penjelasan ini sudah cukup untuk menepis kecurigaan Anda? Penjelasan di atas tidak saya kaitkan secara khusus dengan kasus yang menimpa almarhum putra Ibu Soimah (semoga Allah Swt merahmatinya). Kasus yang menimpa Ibu Soimah adalah kasus serius, yang mungkin butuh penyelesaian berbeda.
Saya tidak ingin ikut campur masalah itu. Tulisan di atas hanya sebatas meluruskan kesalahpahaman sebagian orang tentang pesantren aja. Juga agar para wali santri yang ingin memasukkan anaknya ke pesantren memahami dengan baik seperti apa konsekuensi manis dan pahit dari kehidupan di pesantren itu.
Dengan penjelasan di atas saya berharap orang-orang yang nggak pernah mondok jangan gampang menyalahkan pesantren. Kalau ada yang terbukti berbuat salah di sana, hukumlah pelakunya. Jangan salahkan pesantrennya. Kecuali kalau terbukti bahwa pesantren terkait memang memperbolehkan kekerasan, melegalkan pencurian, mempersilakan pembulian, apalagi kalau melakukan kejahatan secara sistemik.
Dan rasanya nggak ada sih pesantren yang punya metode pendidikan buruk seperti itu. Pesantren ingin memberikan pendidikan yang terbaik. Tapi ya namanya manusia nggak semuanya baik. Dan selama kita hidup di dunia, memang orang-orang yang kurang baik itu akan selalu ada. Bukan cuma di pesantren. Tapi juga di lembaga-lembaga pendidikan yang lain.