Seorang wali santri kembali bertanya, sambil bergumam, berapa lama sebenarnya belajar menjadi santri sampai lulus di Gontor itu? Kenapa kelas Intensif itu berlangsung 4 tahun? Kenapa tidak 3 tahun saja, sehingga anaknya tidak terlewat terlalu jauh dengan teman-temannya. Sehingga tidak terlalu “tua” jika kuliah di luar. Toh Intensif juga ditujukan untuk santri yg baru lulus SMP setidaknya. Kenapa?
Pertanyaan itu begitu bertubi-tubi, sehingga saya akhirnya menuliskan saja jawaban saya dalam artikel ini. Agar semua wali tau dan faham, sistem di Gontor itu seperti apa, berapa “lama? ” kenapa Intensif harua ditempuh 4 tahun? dan yg lainnya.
Bapak dan Ibu wali santri, Gontor adalah pesantren. Dulu dalam mempelajari sebuah ilmu, maka klasifikasi itu tidak ada. Tidak ada kelas 1,2,3 dan seterusnya. Yang ada adalah sampai seorang santri iti menguasai sebuah kitab, lali selesai diberikan “ijazah” oleh kYainya. Nah kemudian lahirlah Gontor dengan sistem yg dipandang modern, dengan sistem klasikal (dibuat perkelas) dimana satu buku di sesuaikan dengan kemampuan usia siswa sehingga tidak berat mempelajarinya. Jadi Puncak penguasaan seorang santri kepada sebuah Kitab itu akan bertumpu kepada kelas enam.
Jadi pada prinsipnya, di Gontor itu belajar kitab juga, tapi dibuat klasikal, berjenjang, disesuaikan dengan kemampuan santri. Kelebihan sistem ini dibanding sistem lama adalah lebih banyak kitab bisa dipelajari di Gontor, karena lebih banyak juga materi yg dipelajari. Lemahnya sistem ini adalah, terkadang penguasaan terhadap sebuah kitab belumlah sempurna sampai akhir, karena mungkin dihitung target itu tadi, tapi Gontor yakin, dengan ilmu bahasa yg sudah dimiliki, maka kitab-kitab itu bisa terkuasai dengan sendirinya.
Tapi santri tahu ini kitab apa? mempelajari apa? muallif (pengarangnya) siapa? ini yg ingin para santri menguasainya. Prinsip dasarnya ya penguasaan kitab-kitab itu , sam dengan pesantren lain, jadi kalau belum menguasai sebuah kitab, yg itu bisa terlihat dari nilai raport mereka, maka ya tentu belum dianggap bisa melanjutkan ke jenjang berikutnya. Maka bisa jadi lebih lama belajarnya di Gontor itu. Sekali saya ceriterakan pengalaman ayah saya, itu setahun naik setahun ga naik, lalu naik lagi, terus ga naik lagi. Ya karena bisa jadi di dalam pandangan pak Kyai ayah saya belum menguasai dasar kitab itu, sehingga harus tinggal kelas.
Jadi sistem klasikal di Gontor itu bertujuan untuk memudahkan pemahaman santri akam sebuah kitab, bukan tolak ukur pengajaran harus sekian tahun seperti kita sekolah SMP atau SMU. Itu bedanya pondok dan sekolah umum. Ini yg harus wali santri sadari sepenuhnya.
Itu juga yg jadi alasan kenapa kelas Intensif itu 4 tahun. Dulu, kelas intensif itu disebut kelas experimen. Karena santrinya betul-betul di experimen oleh kyai Zarkasyi, bisakah menguasai kitab salam waktu singkat sebagaimana santri pada kelas reguler. Akhirnya di experimenlah jadi 4 tahun itu. Sekali lagi, 4 tahun juga bukan patokan belajar di Gontor itu harus empat Tahun bagi lulusan SMP. Bukan, itu semua mutlak melihat kemampuan santri menguasai sebuah Kitab.
Maka itu, dulu mau masuk jenjang experiman itu bukan otomatis.
Tapi memakai ujian dulu, kalau lolos ujiian ya bisa duduk di intnesif kalau enggak ya duduknya di kelas reguler 6 tahun. Meskipun sudah lulus SMP atau SMU. Maka itu ada beberapa teman saya yg se angkatan dengan saya, tapi secara usia jauh diatas saya. Ada yg lulus SMU baru daftar di Gontor, ga lulus lagi ujian experimen. jadinya lama nyantrinya. Nah, karena dinilai semua lulusan SMP punya kemampuan yg sama dalam memahami Kitab, maka lahirlah keputusan bahwa yg lulus minimal SMP otomatis masuk kelas experimen, dan kelasnya juga berganti nama menjadi intensif.
Jadi kalau ditanya, berapa lama sekolah di Gontor? Ya saya jawab sampai santri menguasai semua ilmu yg di Uji dalam ujian. Berapa lama itu? ya tentu saja tergantung kemampuan santri menuntaskan belajarnya. Bisa 6 tahun, bisa 8 tahun, atau bahkan 12 tahun bagi yg reguler. Karena hal ini berdasarkan pemahaman akan sebuah ilmu, maka tidak naik kelas bukanlah yg aneh di Gontor.
Kelas lima tidak naik sampai 300 orang, itu biasa saja. Karena memang 300 santri itu belum menguasai ilmunya. Sekali lagi, inilah ug membedakan Gontor dan sekolah luar. Apabila di luar, tidak naik kelas dianggap aib yg membakar urat malu, maka di Gontor biasa saja. Makanya tidak ada ngaji (ngarang biji) di Gontor itu, apa adanya ditulis sebagai laporan dalam raport.Gontor juga tidak pernah merasa malu, Karena begitulah kemampuan santri dalam menguasai sebuah ilmu, sesuatu yg mereka cari di Gontor lewat sebuah pertanyaan…
“ke Gontor, apa yg kau cari? “