Sebagai warga negara yang tidak berpendidikan hukum, saya merasakan hukum di negeri ini tak membuat penjahat jera. Menurut saya hukum ada gunanya jika calon pelaku kejahatan berikutnya berpikir 100 kali untuk berbuat jahat. Hukuman seharusnya membuat orang tak pernah berniat untuk berbuat jahat.
Tapi, hukuman di negeri ini tampaknya identik dengan penjara belaka. Tepatnya, penjara yang overcapacity, dengan petunjuknya sebagai berikut: ada kehadiran para “alumni” yang berkali-kali masuk bui sehingga tak mengurangi jumlah penghuni.
Juga, ada kerusuhan di beberapa lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan yang membuat tahanan melarikan diri. Tengoklah, tak kurang dari 400 tahanan dari sebuah rutan di Pekanbaru kabur.
Kemudian, ada juga kejahatan di dalam penjara, yang memicu kerusuhan di penjara di Bengkulu bahkan lebih dari sekali; sekali pada 2016 ketika narapidana terlibat keributan yang memicu kebakaran dan menewaskan lima napi. Kedua, pada awal Mei lalu ketika terjadi keributan antarblok napi di sebuah LP.
Lalu, penjara yang kelebihan penghuni juga ditandai dengan lemahnya pengawasan di dalam sehingga terjadi pemerasan antarsesama tahanan di rutan, pungli petugas rutan terhadap tahanan dan keluarga tahanan, perkelahian antarsesama penghuni, transaksi narkoba dalam LP, juga napi yang protes atas perlakuan terhadap mereka dan minta dibebaskan.
Beberapa napi masih bisa berkomunikasi dengan dunia luar, bahkan mengumpulkan harta dengan mengendalikan kejahatan dari balik jeruji. Itu suatu aksi yang belum tentu bisa dilakukan orang merdeka.
Kabar terakhir, sejumlah tahanan di rutan Pagaralam, Sumatera Selatan dan Polres Binjai, Sumatera Utara, kabur.
Indonesia, pendeknya, mulai menikmati status “darurat penjara” dan hal ini perlu ditemukan penyebabnya di luar penjara itu sendiri. Hukuman kurungan tidak membuat jera, sehingga alternatif hukuman yang lebih memenuhi rasa keadilan dan melindungi seluruh warga patut dipertimbangkan.
Dari mana kita mengambil pengganti hukuman yang dimaksud? Kerja paksa sosial a la negara sosialis? Kursi listrik seperti di Amerika? Atau guillotine seperti semasa Revolusi Perancis? Itu kayaknya tak akan masuk dalam pilihan orang Indonesia.
Tapi, hukuman yang bersumber dari syariat Islam sebagai agama mayoritas warga pun tampak tak populer. Terbukti, sebagian warga berespon negatif terhadap isu penerapan syariat Islam. Ini respon yang muncul sebagai produk pendidikan sekuler yang berpuluh-puluh tahun diterima warga.
Sekularisme memang muncul di Eropa dan mengambil bentuknya berupa pemisahan gereja dan negara. Tapi, dalam literatur kamus, sekularisme adalah pandangan yang menghendaki pemisahan agama dari pendidikan. Oxford Advanced Learner Dictionary of Current English (AS Hornby, 1987) mencandrakan secularism sebagai, the view that morality and education should not be based on religion.
Hingga kini pendidikan sekuler di Indonesia telah membuat sebagian warga tidak pernah siap menerima kehadiran hukum yang diturunkan Tuhan. Mereka adalah produk pendidikan yang terasing dari syariat Islam. Mereka enggan bersikap terbuka dan mencoba mempelajari teks hukum Islam. Ada yang memunculkan wacana hukuman suntik kebiri secara temporal (bahkan ada yang mengusulkan hukuman mutilasi yang lebih ekstrem) bagi pelaku pemerkosa.
Literatur hukum Islam umumnya menyebutkan bahwa pelaksanaan hukuman di dunia justru akan membebaskan pelakunya dari hukuman di akhirat. Rujukan hukum yang dimaksud tentu saja kitab suci Al-Quran dan perbuatan (sunnah) Muhammad Rasulullah seperti yang terkompilasi dalam hadiť (catatan mengenai sunnah Rasulullah).
Teks mengenai sanksi hukum Islam berikut ini memang memerlukan mufasir dan ilmuwan muslim terdidik yang, namun, jarang kita jumpai di institusi-institusi pendidikan Islam sekalipun. Jika pun ada yang mengajarkan mata kuliah hukum Islam, seperti yang pernah saya lihat di sebuah perguruan tinggi Islam, itu melulu mengenai hukum waris dan nikah (termasuk cerai).
Hukum Islam merujuk kepada nash –teks yang menetapkan hukum agama dari sumber hukum Al-Quran dan perbuatan (sunnaĥ) Muhammad Rasulullah Saw. Sayangnya, kedua pegangan umat Islam ini nyaris tak pernah dipraktikkan di dalam realitas hukum Indonesia dan hanya menjadi textbook belaka.
Tapi, coba kita tengok dulu apa kata syariat Islam. Setidaknya kita bisa membandingkan sanksi hukum secara syariah dan sanksi terhadap tindak pidana yang sama berdasarkan hukum positif.
Terbukti mencuri dengan nilai nominal di atas jumlah tertentu hukumannya potong tangan (hadiť atau hadis);
terbukti merampok sambil menakut-nakuti korban hukumannya dipotong bersilang: tangan kanan dan kaki kiri atau tangan kiri & kaki kanan (Quran);
terbukti berzina dengan terang-terangan atau memperkosa hukumannya dirajam sampai mati (hadis);
(bagi yang belum tahu, rajam itu dikubur sampai sebatas leher lalu kepala disambiti batu sampai mati. Dinilai lebih cepat mati ketimbang bila ditembak pada jantung)
terbukti ketahuan berzina (bagi seseorang dengan status suami atau istri) hukumannya didera (disabet) 100 kali; terbukti ketahuan berzina (bagi mereka yang belum pernah menikah) hukumannya didera 50 kali (Quran);
menuduh perempuan baik-baik berbuat zina tapi tak dapat menghadirkan empat orang saksi hukumannya didera 80 kali, juga kesaksiannya tak boleh diterima selama-lamanya (Quran);
terbukti melakukan zina dengan praktik-praktik lesbianisme, gay, biseksualisme, transvertisme ( LGBT) dihukum pengasingan atau kurungan (ini baru dipenjara) sendirian seumur hidup (Quran);
terbukti menghilangkan nyawa orang dengan sengaja hukumannya qishos (pembalasan fisik yang setimpal) mati. Bila dimaafkan oleh keluarga korban, pelaku harus membayar diyat (Quran);
terbukti menghilangkan nyawa orang dengan tidak sengaja hukumannya qishos atau membayar diyat; terbukti menganiaya dan melukai orang hukumannya qishos (kitab suci agama terdahulu menyebutkan, mata di balas mata, gigi dibalas gigi);
terbukti mabok (atau mengonsumsi narkoba) hukumannya dipukuli beramai-ramai (hadis). Mungkin maksudnya pelaku kejahatan itu diposisikan kecil dan minoritas, tak boleh menjadi besar –seperti kejahatan kartel narkoba yang merajalela di Kolombia atau di Meksiko (yang juga mengalami masalah dengan penjara).
Mengenai hal ini, ada peristiwa menarik saat Presiden RI Joko Widodo menghadiri acara bertajuk Pencanangan Aksi Nasional Pemberantasan Obat Ilegal dan Penyalahgunaan Obat yang berlangsung di Cibubur Jakarta Timur, awal Oktober tahun lalu (3/10/2017).
Acara menghadirkan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Kepolisian RI Komjen Pol Ari Dono yang saat itu mengenakan kemeja batik. Presiden mengajukan beberapa pertanyaan kepada Kabareskrim, antara lain, apa saja yang dilakukan polisi bekerja sama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Sebagaimana dikutipkan Tribunnews, Ari Dono menjawab, “Kegiatan kerjasama kami mulai kegiatan preventif itu mulai kegiatan penyuluhan di sekolah-sekolah, tentang bahaya narkoba, psikotropika,” dan Jokowi menilainya sebagai rutinintas kegiatan yang dilakukan bertahun-tahun.
Presiden pun menanyakan lagi mengenai bentuk penegakan hukum Bareskrim dalam menangani masalah peredaran narkoba, apa hukuman bagi pelaku. Dijawab secara normatif yaitu sesuai koridor hukum. Jika memenuhi unsur pidana, hukuman penjara akan diganjar kepada para pelaku.
“Cukup dipenjara saja? Enggak perlu tuh digebukin ramai-ramai? Kadang-kadang jengkel saya dengan yang begini-begini, entah narkoba, obat ilegal,” kata Jokowi, melanjutkan,
“Anak-anak kita yang terkena. Masa depan kita yang terancam. Bagaimana Pak? Gimana, kita gebukin ramai-ramai gimana?”
Ari Dono memerlukan waktu beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, “Enggak boleh.”
“Oh enggak boleh? Ya terus gimana?” tanya Jokowi lagi, dan Ari Dono pun menjelaskan mengenai peran utama sekolah dan orangtua dalam mendidik anak untuk menjauhi narkoba dan penggunaan obat-obat ilegal.
Ucapan Jokowi “digebukin ramai-ramai” terdengar lucu seperti guyonan. Tapi, hatiku berdesir: dipukuli beramai-ramai adalah sanksi kejahatan meminum khamr (minuman keras) dalam hukum Islam! Teringat saya sebuah hadis shahih Bukhory dari Abu Hurairah yang menuturkan bahwa seseorang yang mabuk karena meminum khamr dibawa kepada Nabi Muhammad Saw.
Nabi berkata, “Pukullah orang itu”
Abu Hurairah melanjutkan, di antara kami ada yang memukul dengan terompahnya dan ada yang memukul dengan kainnya. Setelah selesai dan orang itu pergi, ada beberapa orang yang mengucapkan, “Kiranya Allah menghinakan engkau.”
Nabi berkata, “Jangan kamu berkata begitu. Jangan kamu menolong setan membinasakannya.”
Meminum minuman keras (miras) bisa dianalogikan dengan mengonsumsi barang-barang yang membuat addicted (kecanduan) yang di sini dikenal dengan narkoba. Entah disengaja atau tidak, Presiden Jokowi telah menyebutkan salah satu bentuk hukuman dalam syariat Islam. Ini hukuman yang nyaris tak muncul dalam realitas hukum di Indonesia, yang lebih mengenal hukuman kurungan atau penjara.
Selama ini hukum Tuhan tampaknya hanya menjadi bayang-bayang laten (tertutup) di kepala para penyelenggara negara. Untuk memperburuk hubungan internasional, badan-badan dunia juga menolak pemberlakuan hukum Tuhan di negara-negara berpenduduk muslim. Arab Saudi yang menerapkan hukum Islam saja dikritik PBB, diminta supaya menghapuskan hukum cambuk dan amputasi.
Tapi, bila eksekusi secara fisik tidak dijalankan, kita akan menyaksikan penjara akan makin padat disertai ekses-ekses negatif seperti terjadi di atas.
Jika hukum qishos membuat kita menjadi ngeri dan takut untuk berbuat jahat, hukum Islam lebih efektif jadinya. Hukum Islam justru melestarikan kehidupan orang banyak. Hukuman mati membuat orang terhindar menjadi korban berikutnya dan dengan demikian terpelihara kehidupannya. Lalu, kehidupan pun terjaga keberlangsungannya karena orang tak berani berbuat jahat atau menzalimi sesama.
Namun di kebanyakn negeri berpenduduk muslim, tentunya termasuk Indonesia sebagai negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia, hukum diejek bagaikan pisau yang tajam di bawah tapi tumpul di atas. Hukum hanya efektif buat orang lemah. Rasulullah tak pernah mencontohkan yang demikian.
Sebuah hadis shahih Bukhory meriwayatkan dari `Aisyah Ra, bahwa kaum Qurays pusing karena ulah seorang perempuan dari Bani Makhtum yang mencuri, lalu mereka berkata, “Siapakah yang akan menyampaikan ini kepada Nabi Saw?”
Tak seorang pun berani mengatakan ini kepada beliau. Lalu, Usamah bin Zaid yang dekat dengan Rasulullah menyampaikannya kepada beliau. Maka beliau bersabda, “Apakah engkau hendak menolong supaya orang bebas dari hukuman Allah?”
Kemudian Nabi berdiri dan berkhotbah,
“Hai manusia! Orang-orang yang sebelum kamu menjadi sesat disebabkan bila ada seorang bangsawan mencuri, mereka biarkan saja. Tapi, kalau seorang yang lemah mencuri, mereka kenakan hukuman padanya. Demi Allah, seandainya Fatimah anak Muhammad mencuri, niscaya Muhammad sendiri akan memotong tangan anaknya.”
——————
Tulisan ini dikirimkan oleh:
Agung Puspito adalah seorang penulis lepas berlatar belakang jurnalistik yang meniti karir selama labih-kurang 23 tahun di dunia jurnalisme, baik sebagai wartawan secara struktural maupun sebagai freelance. Itu termasuk di harian berbahasa Inggris (The Indonesia Times), majalah berita mingguan (Sinar, Ummat), majalah bulanan dan dwibulanan (Anda, Krakatau), media on line (Berpolitik.com, Inilho.com, Indonesianart.net), serta sebagai freelance di majalah bulanan (Khalifah, Maestro, Galeri, Visual Arts) dan beberapa media Islam on line. Menulis dua buah buku, yaitu Islam dan Seni Rupa, Daun-Daun Surga (2007) dan (bersama-sama praktisi hukum Maqdir Ismail & Adnan Buyung Nasution) Skandal Bank Bali, Perkara Hukum atau Politik? (1999), penulis kini memfokuskan diri menjadi seorang jurnalis muslim ketika tidak lagi menjadi bagian dari organisasi-organisasi pers.