JANGAN SURIAHKAN INDONESIA! Begitu, propaganda terbaru yang coba ditebarkan oleh beberapa politikus sontoloyo bertingkah bak genderuwo untuk menakut-nakuti para pemilih, agar tidak memilih lawan politiknya.
Ini persis teror yang disebarkan saat pilkada DKI yang lalu. Anies digambarkan sebagai perwakilan kelompok radikal yang akan menghancurkan DKI jika terpilih.
Jika Anies terpilih, maka kelompok Islam garis keras akan menguasai DKI. Begitu narasi yang “mereka” bangun saat itu.
Walaupun diterpa berbagai fitnah, Anies akhirnya tetap dipilih oleh mayoritas warga DKI yang berakal sehat.
Lalu, setelah Anies terpilih, apakah berbagai fitnah dan “framing” yang diciptakan oleh lawan politik Anies benar terjadi? Apakah benar DKI sekarang hancur lebur, semrawut, dan dikuasai oleh Islam garis keras dan radikalis?
Tidak! Jauh sekali. DKI sekarang jauh lebih tenang. Kerukunan antar umat beragama terjalin indah. Anies telah dan terus berusaha untuk menjadi pemimpin semua agama dan golongan. Pernyataan-pernyataan yang berpotensi memecah persatuan yang dilakukan oleh pejabat pemprov jauh berkurang. Perekonomian stabil.
Pertumbuhan ekonomi DKI jauh di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional, sehingga DKI ikut mendongkrak perekonomian nasional yang sedang kekurangan darah.
Perbaikan fasilitas umum, pengembangan transportasi massal terus digalakkan. Pejalan kaki dimuliakan dengan berbagai pelebaran trotoar, perbaikan fasilitas penyeberangan, dan sebagainya.
Aturan ditegakkan tanpa pandang bulu. Dimulai dari penutupan Alexis yang menyalahi perizinan usaha. Lalu penghentian proyek multi triliun reklamasi yang menabrak banyak aturan. Jakarta perlahan menjadi ibukota yang tertib dan manusiawi.
Anies juga aktif mengundang investor luar untuk berinvestasi di Indonesia, baik saat menghadiri berbagai forum ekonomi internasional, maupun saat memenuhi undangan negara lain. (Lha kok malah mirip presiden ya?)
Kondisi DKI sekarang jauh, jauh sekali, dari gambaran yang coba benamkan oleh lawan politik Anies saat pilkada lalu. Anies juga demokratis, terbukti dia tetap terbuka menerima berbagai kritik (walaupun kritik yang disampaikan kebanyakan tidak bermutu), tanpa pernah kehilangan kendali emosi.
Sekarang, di tingkatan yang lebih tinggi, yaitu pilpres, ketakutan yang sama coba ditebar oleh kelompok yang sama: jika lawan mereka terpilih, nasib Indonesia akan seperti Suriah!
Dan HTI kebagian peran antagonis sebagai ormas yang akan mewujudkan ketakutan itu, dengan ide pendirian negara khilafah.
Ketakutan ini terus ditanamkan lewat berbagai media setiap hari, setiap menit, setiap detik, sehingga publik lupa akan masalah utama yang lebih nyata dan sudah ada di depan mata, yaitu masalah ekonomi.
Neraca perdagangan terus defisit, sehingga menggerus cadangan devisa dan memperlemah rupiah. Setiap tahun APBN lebih besar pasak daripada tiang, sehingga mau tidak mau pemerintah terpaksa mengandalkan utang untuk menutup defisit.
Beberapa proyek infrastruktur salah sasaran, sehingga beberapa diantaranya terpaksa dimangkrakkan, seperti mangkraknya pertumbuhan ekonomi.
Berbagai indikator negatif perekonomian di atas dicoba dialihkan dari perhatian publik dengan pelemparan isu-isu tidak mendidik seperti politikus sontoloyo dan politikus genderuwo. Beruntungnya, kebanyakan publik kita senang dengan isu-isu tersebut.
Begitulah kondisi Indonesia akhir-akhir ini. Selalu gaduh tidak karuan. Persis DKI 2 – 3 tahun yang lalu.
Mau terus seperti ini?
Indonesia tidak akan seperti Suriah. Demokrasi Pancasila kita adalah demokrasi terindah di dunia. Tidak ada anak bangsa yang rela merusaknya.
Tapi jika kita terus seperti ini, selalu gaduh sepanjang waktu dengan hal-hal remeh temeh dan terlalu permisif dengan kondisi perekonomian sekarang, saya khawatir kita justru akan bernasib seperti Yunani.
Tulisan ini ditulis oleh: Wendra Setiawan