Awalnya kemarin ku kira “salah” ketika menyayangkan sikap Presiden Recep Tayyip Erdoğan dan Menlu Mevlut Cavuzoglu yang menuduh Iran rasis, sumber konflik di Timur Tengah dan juga poltik Iran berusaha untuk menyebarkan paham syiah di Irak dan Suriah. Ku kira juga “salah” ketika “berharap” hal itu tidak terjadi ataupun “berharap” Turki mau “meralat” pernyataan yang menurut Menlu Iran telah keluar dari etika diplomasi.
Ternyata nggak salah-salah banget sih, kemarin Rabu Menlu Cavuzoglu mengatakan kepada IRNA, “ Kami tidak akan melupakan dukungan pemerintah dan rakyat Iran kepada Turki selama ini, terutama pada malam kudeta 15 Juli lalu”. “ Banyak kesamaan antara Turki dan Iran, banyak juga kerjasama yang bisa dilakukan antara kedua negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat kedua negara yang bersaudara”. “ Kedua negara perlu lebih banyak melakukan pertemuan dan dialog untuk lebih menguatkan hubungan dan mencari solusi konflik di kawasan sehingga bisa terhindar dari kesalah-pahaman”. Pernyataan ini sepertinya jawaban atas penyataan dari Menlu Jawad Zarif beberapa hari lalu “Turki tidak tahu balas budi dan sangat pelupa”.
Bahasa diplomatis seperti itu kalau mau diungkapkan dengan bahasa kita yang awam, sepertinya begini, “Mungkin dalam waktu dekat kami akan berkunjung ke rumah anda, sepertinya kita harus saling memaafkan dan melupakan konflik yang telah terjadi”.
Sementara itu, disela-sela “ECO Summit” di Pakistan kemarin Rabu, Presiden Recep Tayyip Erdoğan dan Presiden Hassan Rouhani bertemu berdua dalam pertemuan tertutup. Pertemuan tersebut berlangsung sekitar satu jam. Tidak ada yang tahu apa yang mereka bicarakan berdua selama satu jam dalam ruangan tertutup itu. tapi yang pasti, ketika keluar kedua masih sehat wal afiat, tidak ada yang bonyok atau memar-memar. Sepertinya “all iz well”.
Kalaupun Turki “mengalah dan minta maaf”, maka itu tidak aneh, it’s not their first. Sebelumnya minta maaf kepada Rusia, kemudian kembali membuka hubungan strategis dengan Israel, padahal sebelumnya sudah “ngamuk dan ngancem-ngancem”, membatalkankan syarat-syarat yang diajukan untuk penghentian kepungan Gaza, dan yang terakhir “merayu” Iran dengan mengakui adanya persaudaraan dengan Iran.
Sepertinya Turki hanya melakukan “trial and error”, mencoba-coba saja apakah yang dicoba ngamuk apa meneng bae. Kalau memang pada akhirnya harus meminta maaf kepada Presiden Vladirmir Putin dengan bahasa Rusia pula, kenapa memaksakan diri menjatuhkan pesawat Rusia? dan kalau memang akan “menelan kembali” ucapannya kepada Iran, kenapa tidak dari awal menjaga lisan…
Pernyataan-pernyataan yang terkesan “ngasal” yang dikeluarkan dan “ditelannya” kembali, berdampak negatif pada kredibilitas Turki selaku negara muslim yang besar dan sedang menuju puncak di mata internasional.
Stabilitas politik dan ekonomi Turki terancam akibat kebijakan-kebijakan politik luar negeri yang dibuat oleh pemerintahnya. Kebijakan yang awalnya “zero enemy”, justru sebaliknya malah “mengumpulkan” musuh. Perekonomian Turki yang sedang “meroket” dan menjadi kebanggaan Turki dan umat Islam saat ini mulai menurun.
Mempertaruhkan masa depan kepada Donald Trump yang jelas-jelas anti-Islam bukanlah pilihan yang tepat bagi Turki, berdiri di barisan melawan Rusia, Iran dan Cina adalah pilihan yang kurang bijak. Kekuatan yang sebenarnya adalah ketika hubungan dengan tetangga baik dan harmonis.