Tak kenal henti memberi, itulah sebenarnya esensi dari seorang pahlawan itu. Dia rela berjuang dan ikhlas mengabdi untuk sekedar menunjukkan bahwa kebaikan di dunia ini masih ada.
Tidak peduli apakah ada orang yang melihat jasanya atau tidak, tidak peduli apakah dia digelari pahlawan atau tidak, tidak peduli apakah dia akan mendapat penghargaan atau tidak, dia tidak mempedulikan itu. Baginya kebahagiaan orang lain adalah tujuannya. Dia Cuma berharap apa yang dia lakukan itu dilihat oleh Allah, sehingga diapun hanya berharap kepada Allah, menyerahkan semua masalahnya kepada Allah, dan betul-betul hanya mengharap ridho Allah. Baginya dunia dan seisinya ini hanya memberikan seuntai senyuman palsu yang melenakan. Tidak layak untuk diambil apalagi diperebutkan.
Negeri ini dibangun oleh jasa mereka. Mereka yang rela berkorban dan ikhlas berjuang itulah sendi-sendi yang membangun kemerdekaan negeri ini. Bangsa dan Negara ini haruslah berterima kasih kepada mereka yang sudah serius mengumpulakn jasa-jasa mereka yang tak mungkin dibalas oleh Negara ini dengan apapun, apalagi Cuma sekedar gelar pahlawan. Sebab diakui atai tidak seseorang itu sebagai pahlawan, adalah hasil interprestasi sejarah yang bisa jadi salah.
Bagi orang-orang Yahudi, Hittler adalah musuh nomor satu dalam sejarah. Namanya haram diucapkan. Hal ini setelah klaim peristiwa holoclaust yang telah membantai ribuan yahudi di dalamnya. Tapi menurut bangsa Jerman Radikal, hittler itu pahlawan. Dia adalah pembawa perubahan Jerman yang nyata. Maka namanya wajib disebut setiap waktu, jasa-jasanya wajib dikenang, pemikirannya wajib diabadikan, dan pidato-pidatonya wajib diperdengarkan.
Hampir sama dengan para Pahlawan kita bukan? Si Pitung itu disebut maling, perampok, berandal, dan tukang rampas barang orang lain sama pemerintahan kolonial. Tapi dimata rakyat dia pahlawan, dia betul-betul seorang hero yang mampu membela rakyat yang tertindas. Jasanya tak akan lekang oleh zaman. Rumahnya bahkan diabadikan jadi Museum di Jakarta Utara. Dia di elu-elukan rakyat sebagai pahlawan. Nah, jadi sebenarnya si Pitung ini pahlawan atau maling?
Absurdnya penilaian tentang kepahlawanan seseorang itulah yang membuat sebuah gelar kepahlawanan menurut saya menjadi tidak penting sama sekali. Bahkan Bung Tomo, yang ternyata baru saja mendapat gelar pahlawan pada tahun 2010 yang lalu sudah betul-betul dianggap pahlawan oleh masyarakat Surabaya. Apa dengan demikian maka berarti pahala Bung Tomo hanya akan ada setelah pemberian gelar pahlawan itu? Saya rasa tentu tidak demikian. Mau diakui atau tidak, jasa beliau terhadap perjuangan bangsa ini sudah kelewat besar. Maka tentu pemerintah-lah yang seharusnya malu karena baru mengakui beliau sebagai pahlawan jauh hari setelah wafatnya beliau di padang Arofah.
Maka saya-pun yakin, dulu ketika masa perjuangannya, Bung Tomo juga sama sekali tidak akan mengharapkan panggilan pahlawan ini. Tapi betul-betul ikhlas dan penuh kerelaan untuk mempertahankan kemerdekaan Republik yang masih berusia belia ini. Siapapun akan terbakar semangatnya demi mendengar pidato beliau. Siapapun akan rela berkorban demi mendengar teriakan-teriakan heroic beliau. Siapapun akan tertantang menuju syahid jika mendengar beliau bertakbir. Maka sungguh layak saya kira jika kita angkat beliau sebagai pahlawan, meskipun beliau sama sekali tidak mengharapkannya, sebagaimana kebanyakan pahlawan lain-pun tidak pernah mengaharapkannya.
Menurut Alamrahum KH Zainudin MZ, Pahlawan itu terambil dari kalimat PAHALAWAN, atau orang yang selalu mencari PAHALA. Karena yang dicari adalah pahala, maka memang seorang Pahlawan tidak akan pernah mengharapkan gelar keduniaan. Semua jasa yang dia telah berikan tulus dia persembahkan bagi masyarakat. Karena yang dicari adalah pahala, maka seseorang yang berjuang penuh dengan ambisi keduniaan justru tidak layak digelari pahlawan. Hitler, Musollini, Stalin, dan orang-orang lain yang memperjuangkan kepentingan pribadi partai atau golongannya atau dirinya sendiri tidaklah layak diberikan gelar pahlawan.
Seorang pahlawan berorientasi kepada kehidupan sosial, dia berinteraksi dengan tujuan menolong, dia menolong dengan tujuan mengharapkan pahala dari Allah, tidak lebih. Itu orang yang dia tolong mau berterima kasih atau tidak, jasa-nya dilupakan orang atau tidak, pertolongannya diakui atau tidak, dia sama sekali tidak peduli. Karena yang ada dalam angganya hanyalah pahala dari Allah, dan Allah maha melihat dan tidak tidur. Maka mustahil bagi Allah untuk tidak menyaksikan perilakunya.
Maka itu berjasalah. Buatlah manfaat sebanyak mungkin bagi lingkungan kita. Apapun yang bisa kita perbuat, berbuatlah. Saya pernah membaca sebuah kisah yang mengharukan. Di India, ada seorang pembelah batu yang kehilangan istrinya yang meninggal dunia karena sakit. Dia tidak punya biaya untuk mengantarnya ke rumah sakit karena jauhnya perjalanan, apalagi sampai menanggung biaya rumah sakitnya. Akibat kesedihannya yang mendalam, dia bersumpah akan membelah gunung yang ada di depan rumahnya agar ada jalan yang singkat menuju rumah sakit. Sebab kenapa jarak dari kampungnya ke rumah sakit jauh adalah karena dia harus memutari gunung itu.
Semua orang meledek pembelah batu itu, dan mengatakan bahwa apa yang dia perbuat akan sia-sia belaka. Semua orang ber-irama merendahkan kepadanya. Tapi setelah 20 Tahun kemudian, semua orang yang memadang sebelah mata terbelalak. Jalan pintas yang di impikan pembelah batu itu telah terwujud dan dia melakukannya sendirian ! Luar biasa..!
Sayangnya bapak tua yang telah berjasa itu sudah meninggal dunia tahun 2007 lalu, dan jasanya sama sekali tidak diakui pemerintah. Tapi masyarakatlah yang telah menganggapnya pahlawan. Masyarakat kampong-nya tahu bahwa bapak tua itu tekah menghabiskan 20 tahun usianya untuk menolong orang yang hendak pergi ke kota atau ke rumah sakit dengan mudah. Masyarakat-nya pun mengerti bahwa pengorbannya tidak sia-sia. Maka mereka dengan suka rela memberikan gelar Pahlawan kepada bapak tua itu.
Namun jangan pernah sekali-kali kita minta jasa. Terlalu naïf dan hina jika apa yang sudah kita kerjakan itu kita tuntut harus berakhir dengan untaian jasa. Berbagai gelar, berbagai penghargaan, bermacam bintang dan piala, jika itu semua jadi perhatian dan tujuan kita, maka selesai sudah sampai disitu. Coba kita lihat, apa yang akan kita dapatkan setelah semua prose situ semua? Bintang dan piala kita hanya akan jadi pajangan di ruang tamu. Penghargaan dari pemerintah hanya akan jadi hiasan dinding di rumah. Setelah itu, seiring berjalannya waktu akan lekang di makan zaman.
Tapi jika kita ikhlas melakukannya untuk Allah. Maka sungguh Allah tidak akan pernah melupakan hamba-Nya. Walaupun tanpa gelar pahlawan, walau tanpa rentetan bintang dan tumpukan piala, walaupun tanpa pengahargaan apapun seperti bapak tua di India itu.
Tapi nama yang baik akan senantiasa jadi cerita di sebalik tidur malam anak-anak kita kelak. KH Hasyim As’ari, KH Ahmad Dahlan, Jenderal Sudirman, Bung Karno, Bung Hatta, Tjut Nya Dien, dan masih banyak lagi manusia-manusia mulia di negeri yang telah berjasa, tapi tanpa pernah sekalipun minta jasa. Sebab bagi mereka, kebahagiaan orang banyak itu jauh lebih penting daripada seonggok penghargaan yang akan segera menghilang ditelan zaman….Wallahu A’lam