Pagi itu, setelah pukul 10.45 WIB, tanggal 12 Maret 2010, ribuan telpon genggam di dalam dan di luar negeri berdering silih berganti. Tak ketinggalan, sms, facebook, e-mail para alumni pun memberitakan hal yang sama: K.H. Sutaji Tajuddin, M.A., Direktur Kulliyatu-l-Mu‘allimat al-Islamiyyah (KMI) Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) Putri 1, wafat di Rumah Sakit Islam Surakarta (Yarsis), akibat komplikasi penyakit degeneratif yang dideritanya. Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un. Satu demi satu, punggawa ma‘had dipanggil Allah SWT. Di hari yang baik itu, giliran Ustadz Sutaji wafat beserta amal ibadahnya, yang, menurut saya, sudah setumpuk, segunung, cukup sebagai bekal menghadap Allah di akhirat. Berbondong-bondong alumni Gontor, yang mendengar dan relatif terjangkau kepergiannya, datang ta‘ziyah ke Gontor. Tak sedikit yang menyumbang tangis kehilangan. Isteri menjanda; anak-anak pun menjadi yatim.
Sebelum wafat, sejak tahun 1993, beliau telah dikaruniai penyakit degeneratif oleh Allah, yakni diabetes mellitus. Beberapa tahun kemudian, jantungnya pun mulai bermasalah, hingga akhirnya mengalami stroke permanen, yang menyebabkannya sulit berkomunikasi serta sulit mengontrol gerakan anggota badan: lain yang dipegang; lain pula yang disebut. Menyusul kemudian penyakit batu ginjal. Selama dekade 2000-an, beliau menjadi terbiasa keluar-masuk rumah sakit. Akhir-akhir ini, kesehatannya menurun drastis dan beberapa kali anvaal. Hingga, hari itu, Allah beriradah menghentikan rasa sakitnya.
***
Siapakah Ustadz Sutaji? Santri dan sebagian besar guru Gontor putra tidak semua mengenal beliau dengan baik. Namun, segenap penghuni Gontor Putri 1 Mantingan sangat akrab dengan nama beliau. Meskipun kondisi fisik dan kemampuan geraknya tidak begitu optimal lagi, murid-murid pondok putri itu tetap mengelu-elukannya serta mendoakannnya setiap hari. Di mata mereka, bagaimanapun, beliau adalah simbol. Beliaulah yang pertama kali babat alas, mendidik santri pondok putri dari nol. Setelah datang Ust. Dr. Hidayatullah, keduanya pun saling bahu-membahu membesarkan Mantingan yang ketika itu masih mencari orientasi bentuk. Pernah beliau bercerita bagaimana susahnya mengawali perjuangan di Gontor Putri bersama isteri. Banyak suka-duka dan romantika dialaminya: bagaimana saat harus membangunkan anak-anak santri untuk dhalat Shubuh; bagaimana ketika menenangkan mereka saat hujan deras dan petir menyambar-nyambar, serta para santriwati yang masih kanak-kanak itu pun menjerit-jerit. Sungguh, pengalaman berat namun indah.
Kemudian, bagi penduduk desa Gontor, Ust. Sutaji bukan orang asing. Mereka sangat mengenalnya, sebagai pemuda pelopor dari desa Gontor yang pertama kali sekolah ke luar negeri. Padahal, jauh sebelum keberangkatannya ke luar negeri, ayah enam orang anak kelahiran tahun 1944 ini adalah seorang penggembala kambing serta pencari rumput (tukang ngarit). Namun, secara nasab, moyangnya masih kerabat dekat pendiri Pondok Pesantren Walisongo, Ngabar, Ponorogo. Kesadarannya akan pentingnya ilmu dan pendidikan mengarahkannya terus bersekolah. Setamat Sekolah Rakyat, beliau melanjutkan sekolahnya di PMDG hingga tamat dan mengajar.
Prestasinya yang menonjol membuatnya mendapat kesempatan belajar ke Madinah Munawwarah. Bersama kader Amin Hadi (Semarang), kader Hasan Abdullah Sahal (kini Pimpinan Pondok. Pen.), dan kader Muhtadi Azis (Jetis), Sutaji diberangkatkan dalam sebuah ritual emosional ala pondok Gontor kala itu: Setelah sambutan dari Pak Sahal dan Pak Zar, keempat orang itu dilepas di depan aula dengan isak tangis takbir ratusan santri dan letupan petasan bertubi-tubi. Tak beda jauh dengan melepas calon haji. “Waktu itu, simbok saya nyangoni saya setandan pisang suluhan. Secara pribadi berat, dan, jelas, belum tentu sampai ke Madinah. Tapi toh, pisang itu terbawa juga; diikat di belakang kereta kuda (dokar). Alhamdulillah, sampai Semarang (rumah Amin Hadi), pisang itu sudah habis,” demikian beliau berkisah suatu saat. Jelas, merupakan kebanggaan bagi PMDG ketika itu, karena berhasil mengirimkan 4 orang kadernya ke Universitas Islam Madinah.
Kegemilangannya dalam menyelesaikan studi di Universitas Islam Madinah mengantarkannya melanjutkan S2 di Jami‘ah Al-Azhar, Cairo, Mesir. Dalam waktu yang relatif singkat, Sutaji berhasil menggondol gelar Master of Arts (S2) dalam bidang tafsir. Beliau pun pulang ke Gontor.
Kepulangannya bersama almarhum H. Muhtadi Aziz, M.A. tahun 1977 disambut dengan begitu emosional oleh K.H. Imam Zarkasyi, yang kala itu telah ditinggalkan oleh K.H. Ahmad Sahal. Emosi dan ekspresi kesyukuran K.H. Imam Zarkasyi seolah dinikmatinya sendiri, meski sebenarnya tidak. Bibirnya gemetar menahan emosi; dan matanya berkaca-kaca menatap dua kadernya itu telah pulang; kader pertama PMDG yang berhasil meraih gelar master. Mahal dan langka. Saat itu, Gontor baru memiliki Ust. Subakir dan almarhum Ust. Ghufran yang “hanya” berhasil meraih diploma, di bawah MA. Sungguh anugerah luar biasa bagi Gontor. Layak disyukuri.
Mengikut sunnah pondok, setiap ada kader yang baru datang, para santri pun dikumpulkan di aula. Kedua kader itu diminta berbicara di depan para santri. Tujuannya, tentu saja pendidikan. Tepatnya, ingin menunjukkan kepada para santri tentang kapasitas dan kepiawaian keduanya dalam berbahasa Arab serta kedalaman ilmunya. Inilah cara Gontor memberikan motivasi kepada anak didiknya. Tak usah banyak bicara, bukti telah nyata: man jadda wajada.
Tampak sekali kapasitas dua orang kader tersebut: tidak mengecewakan: kemampuan bahasa arabnya, serta keluasan ilmu yang dimilikinya.
Khawatir kadernya akan berpaling, dalam pidatonya, K,H, Imam Zarkasyi berpesan, agar silaturahim di rumah masing-masing cukup sehari, setelah itu kembali ke pondok, “Kamarnya di pondok, bukan di rumah. Itu di belakang rumah saya masih ada kamar; masih kosong, lagi!” Demikian Pak Zar mencandainya ketika itu.
Kelebihan Ust. Sutaji, kecuali keenceran otaknya, adalah juga kemampuannya dalam berbicara, berpidato: jelas, sistematis, berisi, dan mudah dipahami siapa saja. Karena itu, Pak Zar seringkali menyuruhnya berpidato di hadapan para santri, termasuk dalam munasahabah yang cukup penting, seperti Pekan Perkenalan Khutbatu-l-‘Arsy, pembekalan santri ketika akan liburan, serta pengarahan-pengarahan penting lainnya. Seolah, ketika itu, yang dimaui Pak Zar hanya Ust. Sutaji, dan bukan yang lain. Jelas, ini merupakan kesempatan dan kepercayaan langka serta luar biasa bagi seorang kader. Dan, beliau pun sempat dijadikan Wakil Direktur KMI ketika Pak Zar masih menjabat sebagai Direktur KMI. Setelah Pak Zar wafat, dan K.H. Imam Badri menjadi Direktur KMI, Ust. Sutaji masih menjabat sebagai salah satu wakil direkturnya. Ketika PM Darussalam Gontor membuka Pondok Putri di Mantingan, beliau dipercaya mendirekturinya hingga wafat.
Satu hal lagi yang patut dicatat dari almarhum Ust. Sutaji adalah ta‘zhiem dan rasa percayanya kepada K.H. Imam Zarkasyi. Selama menempuh studi di Madinah, Ust. Sutaji mendapat bea siswa. Sebagian di antaranya selalu dikirimkan kepada Pak Zar. Ketika pulang, uang yang dititipkan tadi telah bekumpul cukup banyak, dan diberikan kepada Ust. Sutaji. Maka, jadilah sebuah rumah, dan beberapa petak sawah.
Gajah mati tinggalkan belang; Macan mati tinggalkan gading; Manusia mati tinggalkan amal jariah. Amal Ust. Sutaji jelas sudah banyak, insya Allah cukup untuk menghadap Allah. Bahkan, dalam pikiran saya, karunia sakit dari Allah sejak tahun 1993 merupakan hadiah bagi Ust. Sutaji untuk menghapus segala dosa-dosanya. Konon, yang memandikan jenazah beliau melihat sendiri bagaimana jari-jemari tangan kanan beliau dalam posisi orang berdzikir. Moga itu akan menjadi saksi di akhirat nanti.
***
Berbilang tahun lalu, usai pemakaman Bapak (Pak Zarkasyi) sore itu, kami masih nampak bersedih, kesedihan yang tak terdefinisikan. Lantas, salah seorang nenek saya berkata, “Sudahlah, Nak, Bapakmu sudah di surga. Amal ibadahnya sudah cukup banyak, tidak usah ditangisi! Yang penting, bagaimana kamu bisa melanjutkan perjuangan Bapakmu; berbuat lebih baik lagi, dan tidak malah mencoreng nama baiknya.” Sungguh sebuah pernyataan yang sangat mendidik; pernyataan yang membuat saya berhenti memperbandingkan atau sekedar mengakui bahwa saya adalah anak ayah saya. Begitupun kepergian Ustadz Sutaji, tidak ada yang perlu ditangisi, kecuali tangis kesyukuran. Insya Allah beliau husnul khatimah, dan pemilik sah dari amal jariyah yang tak putus: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, serta anak-anak shalih yang akan selalu mendo‘akannya. Selamat jalan, Ustadz! Moga kami bisa mengikuti jejakmu.
Allahumma amiin..
Oleh: Nasrullah Zarkasyi | Kado Buat 25 Tahun Gontor Putri
In Memoriem.