Sejak 2014 lalu hampir setiap tahun Ust Abd. Somad (UAS) memiliki jadwal dakwah di Aceh. Puncaknya adalah saat beliau ditolak oleh otoritas Hongkong, akhir 2017, yang menjadi berkah bagi warga Aceh untuk dapat mengundang beliau atas fasilitasi sdr Fadil Rahmi (ikat Aceh) dan pemerintah setempat.
Demikian pula halnya di provinsi lain, hampir ke seluruh daerah sudah beliau kunjungi, hatta ke daerah Raja Ampat Merauke.
Termasuk di daerah terpencil Riau, Suku Anak Dalam, walau akses susah, beliau agaknya punya jadwal rutin ke sana saat liburan semester kampus.
Sejak awal lompatan dakwah beliau, sekitar 2010-2012, tentu UAS tidak memprediksikan bahwa jalan dakwahnya akan menjadi “panjang” seperti sekarang. Sedari awal ia hanya ingin mengamalkan ilmunya sepulang dari Mesir dan Maroko.
Ia juga ingin merefleksikan “niat wakaf” kakeknya, agar ia menjadi faqih dalam agama. Pada beberapa sesi ceramah dan tablighnya, ia sering menyampaikan komitmennya untuk tetap sebagai ustadz hingga akhir hayat.
Pengakuan atas kiprah UAS dalam pentas dakwah semakin mendapatkan tempat setelah Republika memilihnya sebagai Tokoh Perubahan 2018.
Adapun pengakuan yang paling signifikan menurut penulis adalah, pengakuan dalam bentuk daya dukung masyarakat atas aktivitas beliau sebagai da’i. Daya dukung dalam arti tingkat penerimaan yang tinggi akan kehadiran dan ajakan beliau.
Seperti saat di Aceh, Takengon, beberapa waktu lalu, walau dalam suasana hujan sekalipun para jamaah tetap setia berdiri di lapangan untuk mendengarkan tausiyah beliau.
Dan contoh kecil ini sering terjadi. ” padahal yang disaksikan di atas panggung ini bukanlah orang hebat, bukan artis musik, mereka juga tidak dibayar untuk berkumpul disini, semoga guyuran hujan ini menghapus dosa dosa kita” ungkapnya saat itu.
Dari beberapa rangkaian aktivitas dan respon masyarakat atas pendekatan dakwah UAS, pada ruang yang sederhana ini, penulis ingin menyajikan delapan daya ubah (the power of change) dalam ceramah dan tabligh beliau.
Daya ubah ini kita maknai sebagai daya gerak massa secara psikologis, inspirasi dan ajakan beliau secara kolektif untuk menuju perbaikan diri dan umat(kebangsaan).
Pertama, kualitas personal. Kualitas ini mewakili seluruh konsep diri dan image yang terbangun dalam karekter UAS. Meliputi kecakapan akademik, gaya bahasa, sikap ramah, sederhana dan kerendahan hati.
Singkatnya, kualitas ini mengundang kepercayaan masyarakat dan harapan tertinggi mereka.
Kedua, faktor suku. Walau ini tidak utama, tapi memengaruhi persepsi publik bahwa selama ini dai yang mashur cenderung dari pulau Jawa. Kehadiran beliau seakan membuka kembali jejak Buya Hamka.
Ketiga, wawasan keilmuan yang cukup lengkap. Dengan wawasan ini, yang menjadi aset utama beliau, materi dakwahnya menjadi bervariasi, terhubung dengan sejarah, pendidikan, keilmuan Islam, issu global, kepemimpinan dan sosio kultural masyarakat setempat
Keempat, gaya khas. Gaya khas beliau baik secara performa fisik ataupun penyajian dakwahnya yang simpel, diselipkan humor spontan dan motiviasi yang membangkitkan masa depan yang lebih baik untuk dunia dan akhirat.
Ia tidak sungkan mengatakan, bila abdul somad mati dan dimakan tanah biarlah anak anak kecil yang hadir hari ini akan mengirimkan alfatihah untuk saya karena pernah menghadiri jamaah ini.
Kelima, independensi. Ini semacam tingkat otoritatif diri. Dimana beliau hanya berpihak pada kebenaran Islam, bukan pembenaran yang buta.
Beliau selalu menekankan betapa lengkap dan sempurna ajaran Islam hingga tidak bisa dikotak kotakkan, mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian.
Dengan otoritas ini, berdasarkan keilmuannya, ia sekalu mengingatkan agar umat Islam tidak tabu terhadap pilitik yang digunakan untuk menilong agama Allah. ” seorang pejabat, amalannya bukan hanya dhuha dan puasa, anak TK pun bisa, tapi menggunakan jabatannya untuk umat”. Ujarnya sekali waktu.
Keenam. Manajerial yang tidak rumit. Katakanlah sebagai tim UAS, merekalah yang mengelola waktu dan mendistribusikan kegiatan UAS secara profesional tanpa menghilangkan hak hak pribadi Ust Somad.
Dengan tetap nengedepankan kepentingan umum, bukan kapital semata.
Ketujuh, kesiapan diri yang optimal. Kesiapan diri menjadi penting di tengah padatnya aktivitas beliau. Bukan semata kesiapan fisik, tapi juga kesiapan dan kesigapan wawasan beliau, sehingga ia bisa bebas menyampaikan apa saja seputar keseharian audiens tanpa kehilangan subtansi dan gayanya yang khas.
Karena sering ia menyampaikan ceramah pada lokasi yang belum direncanakan. Hal ini juga membutuhkan keikhlasan yang optimal juga.
Kedelapan. Poin ini merangkum hampir separuh daya ubah yang kita bahas. Yaitu, visi. Kekuatan visi UAS tampak dalam kontur, taksonomi dan karakter dakwahnya. Visi inilah yang selalu ia tanamkan secara kolektif lewat tabligh dan kajian beliau.
Suatu gambaran besar kondisi umat Islam yang mesti unggul dalam tiga aspek, pendidikan, ekonomi dan politik (pemerintahan), yang dengan hal itu tamaddun Islam akan terwujud.
Semoga ulasan sederhana ini bermanfaat dan menjadi wasilah kebaikan umat acara umum.