Malam itu, muktamar baru saja usai. Lelah menghampiri setelah pikiran dan fisik terkuras. Tak terkecuali Imam Hasan Al Banna dan Umar Tilmisani. Keduanya pun beristirahat di ruangan yang sama.
“Wahai Umar apakah kamu sudah tidur?” tanya Hasan Al Banna kepada Umar Tilmisani yang berbaring tak jauh darinya.
“Belum”
Beberapa saat kemudian Hasan Al Banna kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama dan dijawab oleh Umar dengan jawaban yang sama. “Nanti kalau beliau bertanya lagi, saya tidak akan menjawabnya,” kata Umar dalam hati.
Ketika Hasan Al Banna kembali mengulangi perkataannya, Umar pun diam. Mengira Umar sudah tidur, Hasan Al Banna keluar pelan-pelan, mengendap-endap. Beliau meninggalkan kamar menuju tempat wudhu. Selesai berwudhu, Hasan Al Banna pergi ke salah satu ruangan paling ujung. Menggelar sajadah, bermunajat kepada Allah Azza wa Jalla.
Bukan hanya Hasan Al Banna yang melakukan hal demikian. Banyak ulama yang merahasiakan shalat malamnya. Hingga, hanya istrinya yang tahu. Bahkan, ada pula yang sampai istrinya tidak tahu.
Ayyub As Sakhtiani, salah seorang ulama tabiu’t tabi’in, memiliki cara tersendiri untuk merahasiakan shalat malamnya. “Ayyub As Sakhtiani selalu melakukan shalat malam,” kata Salam yang mengetahui rahasianya, “tetapi hal itu dirahasiakannya. Jika Subuh menjelang, ia mengeraskan suaranya seolah-olah baru bangun dari tidurnya.”
Mirip kisah Hasan Al Banna, Abdullah bin Mubarak juga pernah ketahuan secara diam-diam shalat malam dalam waktu yang sangat lama. Saat itu Muhammad bin Al Wazir menemaninya dalam sebuah safar. Muhammad bin Al Wazir yang berbaring istirahat, mungkin dikira telah tidur. Abdullah bin Mubarak pun kemudian mengambil wudhu dan melakukan shalat malam hingga fajar tiba.
Mengapa para ulama merahasiakan shalat malamnya, hingga seakan-akan mereka tak mau orang lain mengetahuinya? Jika kita melihat ayat-ayat Al Qur’an dan hadits, tahulah kita bahwa setidaknya mereka memiliki tiga alasan:
Pertama, menjaga keikhlasan. Meskipun tingkatan mereka adalah ulama, mereka menyadari bahwa ketika orang lain melihat ibadah mereka, hal itu bisa menjadi buah bibir yang kadang menjadi godaan untuk tercampuri ujub, riya’ dan sum’ah.
Kedua, dengan merahasiakan shalat malamnya, para ulama dapat berdzikir dan bermunajat kepada Allah lalu berlinanglah air matanya. Kebiasaan ini akan menempatkan mereka pada golongan orang yang mendapat naungan Allah.
وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
“Dan (orang ketujuh yang mendapat naungan Allah ialah) orang yang berdzikir kepada Allah di waktu sunyi, lalu berlinanglah air matanya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketiga, keutamaan shalat sunnah yang dirahasiakan, setara dengan 25 shalat sunnah yang dilihat orang lain.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صَلَاةُ الرَّجُلِ تَطَوُّعًا حَيْثُ لَا يَرَاهُ النَّاسُ تَعْدِلُ صَلَاتَهُ عَلَى أَعْيُنِ النَّاسِ خَمْسًا وَ عِشْرِيْنَ
“Shalat sunnah seseorang yang tidak dilihat orang lain, setara dengan 25 ganjaran (shalat sunnah) yang dilihat orang lain.” (HR. Abu Ya’la, shahih menurut Al Albani)
Wallahu a’lam bish shawab. [Abu Nida/BersamaDakwah]