Waktu itu saya duduk di kelas Lima O. Kelas lima dengan Abjad sebelum akhir (terakhir kelas lima P). Di Gontor, Abjad di kelas menunjukkan kemampaun Akademis seseroang. Jika duduknya di kelas lima B,C, atau D maka itulah santri-santri dengan kualitas akademis excellent.
Nah, saya ini termasuk yang pas-pasan karena duduk di kelas LIMA O. Ketika Yudisium kelas lima dilaksanakan, seribu satu rasa saya rasakan. Berdebar, takut, berharap, tegang, keringat dingin keluar. Saya teringat pesan Ayah saya :
“Le, lek kowe engko di seneni karo Pak Badri berarti kowe engko Insya Allah munggah, tapi lek kowe engko lagi mlebu ruangan wis di puji-puji, di sanjung-sanjung nang pak Badri…kuwi berarti awakmu ora munggah…”
(Le, kalau kamu nanti dimarahi sama Ust Badri, maka itu berarti kamu naik kelas. Tapi kalau begitu masuk kamu sudah di puja-puji, di sanjung-sanjung sama ust Badri, maka itu tandanya kamu ga naik)
Ketika nama saya dipanggil, kaki ini rasanya lepas semua. Terbang rasanya ga tahu kemana. Yang penting saya berlari sekuat tenaga saya. Ketika memasuki ruangan, nampak para Ustadz dipimpin KH Imam Badri berdiri dengan pandangan mata tajam menuju kepada kami. Duduk pun terasa menyiksa sekali. Kami diberikan sepucuk surat yang dilarang kami buka. Satu per satu nama kami dipanggil dan diminta duduk. Itu saja.
Dan setelah semua terpanggil, barulah KH Imam Badri membuka pidatonya. Dengan pandangan mata tajam tanpa senyum, beliau berkata :
“Kalian ini benar-benar tidak pantas naik ke kelas enam. Prestasi kalian tidak ada, nilai kalian kurang, tidak patuh kepada pimpinan, sering melanggar disiplin, betul-betul sama sekali tidak ada potongan untuk dinaikkan ke kelas enam…..”
Kami semua terdiam. Tidak ada yang berani bicara, semua tenggelam pada fikiran masing-masing. Ada yang mulai menangis mendengar suara baritone KH Imam Badri. Ada yang pucat karena tahu kemungkinan mereka tidak naik kelas. Debaran dada kami semakin keras.
Saya membayangkan, jika kelak kami disidang di padang Makhsyar tanpa pembela sama sekali dan semua kesalahn kita dibuka satu per satu, tentu jauh lebih mengerikan lagi.
Saya memegang surat ditanganku dengan gemetar.
“Tapi para Pimpinan berkehendak lain. Kalian akan DICOBA untuk di naikkan ke kelas Enam. Ingat, status kalian ini percobaan. Apa kalian mampu dinaikkan ke kelas enam. Mampu secara akademis, secara disiplin, dan kepatuhan kalian. Kalau kalian kami anggap tidak mampu, maka bersiaplah untuk kami turunkan lagi ke Kelas Lima, atau jika ada diantara kalian yang merasa tidak mampu, maka silahkan bicara ke Staf KMI, biar diurus segera perpindahan kalian ke kelas Lima….Sekarang buka dan baca Surat yang ada tangan kalian..”
Bak diguyuru air seember rasanya. Sejuk sekali terdengar sambutan beliau di telingan kami, meskipun cara penyampiannya secara ketus begitu. Kembali teringat pesan ayah saya, yang membuat saya tersenyum. Saya buka surat itu, lalu saya baca. Yang saya baca hanya keterangan bahwa saya naik kelas enam secara PERCOBAAN, itu saja. Persyaratan lain yang berjumlah 7-8 point itu sama sekali tidak saya baca. Sudah kalah oleh kegembiraan hati ini yang membuncah.
“Sudah kalian baca semua??”
Kami mengangguk semua
“Kalau sudah, coba salah satu diantara kalian maju ke depan…Lalu sampaikan apa syarat kalian di naikkan ke kelas enam ini…”
Saya mengkerut mendengarnya. Saya sama sekali tidak menyangka bahwa hal itu akan ditanyakan. Sayamelihat salah satu temanku diminta maju ke depan, sambil berdoa semoga saya tidak ditunjuk. Dengan percaya diri teman saya tadi berkata :
“Point pertama adalah, kami diminta meneruskan tongkat estafet kakak-kakak kelas enam untuk memimpin adik-adik…..”
Belum selesai teman saya mengutarakan poin-nya, ust Badri langsung memotong :
“Tidak ada kata-kata ESTAFET itu pada surat itu, jangan ngarang kamu… Kamu pasti belum baca, hayo baca lagi..!! Estafet-estafet apa…Kalau tidak bisa menyebutkan, TURUNKAN LAGI DI KELAS LIMA…!!” teriak beliau
Spontan kami baca lagi satu persatu, dengan cepat dan hati-hati. Dengan degup yang semakin keras tentu saja. Komat-kamit kami baca dan kami masuk-masukkan ke otak kami.Ancaman beliau jelas : KALAU TIDAK HAFAL, DITURUNKAN KE KELAS LIMA. Setelah dianggap cukup, kami ditunjuk satu-persatu (untung saya tidak ditunjuk) untuk membaca point-pont syarat naik ke kelas enam. Setelah dibentak-bentak ketika menyebutkan karena salah, akhirnya ke 8 point itu selesai kami sebutkan satu-per satu. Akhirnya, KH Imam Badri pun memberikan kami kesempatan untuk bersyukur.
Dan meminta kami supaya menaati point-poit itu. Setelah itu kami keluar dengan bersalaman dengan satu-persatu Ustadz dan pembimbing kami di kelas lima. Beliau menyalamiku dengan sedikit senyum, sayat ahu, beliau menjaga sekali acara ini.
Kami keluar dengan kepala tegak. Kami sudah kelas Enam. Kepala kami di cukur ABRI, dan setelah ini kami harus bersiap membersihkan pondok untuk menyambut Santri baru. Siap dengan tanggung jawab baru, karena kami sudah jadi Santri “tertua” di Pesantren ini. Siap taat dan patuh kepada pimpinan, tidak melanggar disiplin, dan Belajar dengan tekun, seperti yang tertulis di poin surat kami…..Gontor, sejuta kenangan tak terlupakan…