Pasukan SDF Kurdi di Afrin Suriah mulai meminta AS dan Koalisnya untuk segera “bertindak” atas serangan Turki ke Afrin, namun permintaan tersebut tidak mendapat jawaban dari AS. Hal ini secara tidak langsung dapat dipahami bahwa banyak hal sedang terjadi “di bawah” meja, baik secara politik maupun militer di Kawasan.
Sampai saat ini, Presiden Erdogan sudah mencapai sebagai besar tujuannya di Afrin, invasi militer Turki ke wilayah pasukan SDF Kurdi dari darat dan udara selama 4 hari terakhir setidaknya tidak sia-sia, dan tidak menutup kemungkinan presiden Erdogan akan melangkah menuju fase selanjutnya, yaitu mendirikan safe-zone setelah melucuti semua senjata SDF dan YPG yang dipasok oleh AS.
Tampaknya Presiden Erdogan tidak mengada-ada ketika mengatakan bahwa invasi militer Turki ke Afrin sudah mendapatkan “restu” Rusia, hal itu terbukti dari ditariknya para penasehat militer Rusia dari Afrin ke Tel Rifat. Dan tidak menutup kemungkinan juga bahwa Suriah dan Iran juga telah “memberkati” invasi tersebut setelah adanya “big deals” di bawah meja antara negara-negara tersebut, dan seperti biasa Kurdi kembali dijadikan tumbal.
Menlu Turki, Mevlut Cavusoglu bahwa Turki telah mengirim surat pemberitahuan resmi ke Damaskus sebelum melakukan “Olive Branch Ops” di Afrin. Mungkin itu juga jawaban kenapa Suriah tidak melaksanakan ancamannya yang pernah dinyatakan beberapa hari lalu bahwa setiap pesawat Turki yang masuk ke Suriah akan “disambut” oleh Arhanud Suriah. Dan diamnya Iran juga tampaknya tanda setuju.
Sekarang kita tidak akan membahas lagi masalah invasi militer Turki ke Afrin dan Membej yang dikuasai pasukan Kurdi, karena itu sudah selesai dan pasukan Turki sudah terlanjur berada di Afrin.
Pertanyaannya sekarang adalah apa “big deals” yang terjadi di bawah meja antara Ankara dengan Moscow, Damascus dan Tehran, sehingga ketiga negara itu memberikan lampu hijau “go for it!” bagi Turki untuk melaksanakan invasi militernya?
Sebenarnya AS adalah dalang dibalik perang Afrin, ketika Kolonel. Ryan Dillon, Jubir Koalisi Internasional mengumumkan bahwa AS akan membentuk Pasukan Penjaga Perbatasan untuk menjaga kembalinya ISIS di sepanjang perbatasan Suriah-Turki mulai dari Erbil sampai ke Laut Tengah.
Diperkirakan pasukan Penjaga Perbatasan tersebut akan berjumlah sekitar 30 ribu personil, 15 ribu terdiri dari pasukan SDF, dan sisanya adalah para milisia Kurdi yang dipersenjatai dan dilatih oleh AS. Hal inilah yang telah memaksa presiden Erdogan untuk menyerang Afrin dan ini bisa dikatakan alasan yang cukup kuat bagi Turki untuk melaksanakan rencanya, mengaborsi embrio negara Kurdi sebelum lahir!
Sampai saat ini belum bisa dipastikan apa “big deals” dibalik diamnya AS, Rusia, Suriah, Iran dan bahkan beberapa negara Eropa seperti Inggris dan Jerman atas invasi militer Turki ke Afrin. Paling jauh bisa kita prediksikan “big deals” bagi Suriah adalah kembalinya Idlib ke pangkuan Damascus, masuknya pasukan militer Suriah ke Abu Zuhur Airbase di Idlib merupakan bukti pendukung prediksi.
Turki, Iran dan Suriah sama-sama berkepentingan untuk menggagalkan scenario AS untuk mendirikan Negara Kurdistan di perbatasan Suriah-Turki dan mungkin akan melebar sampai ke Utara Irak dan Iran. Dan tampaknya, Rusia juga sudah memutuskan untuk menarik dukungannya kepada Kurdi setelah AS memasang badan untuk mendukung Kurdi.
Mungkin, semua pihak yang bertikai di Suriah, ataupun pendukungnya di berbagai belahan dunia sudah saatnya mengakui bahwa perubahan besar sedang atau telah terjadi dalam peta konflik di Suriah, dan juga harus menerima bahwa “Revolusi Suriah” dengan berbagai terminologinya yang dikenal selama 7 tahun terakhir telah berakhir.
Begitu juga dengan literatur-literatur seperti, “Perang Saudara”, “Perang Sektarian”, “Perang Melawan Diktator” ataupun jargon-jargon ”Perang Demi Demokrasi” di Suriah sudah mulai memudar, kalau tidak mau dikatakan sudah tidak jamannya lagi.
Sekarang, bagaimana kita menyikapi ketika FSA yang sejak awal berjuang demi Demokrasi di Suriah bergabung dengan faksi-faksi Islam Sunni yang sebagiannya adalah Sunni-ekstrimis untuk berperang side by side dengan pasukan Turki di Afrin dan sebelumnya di Al Bab serta Yarablus, melawan pasukan Kurdi yang jelas-jelas Sunni dan sama seperti mereka yang anti Pemerintah Bashar Al Assad, sama-sama mengangkat bendera anti-diktator dan ingin kebebasan?
Nama baru yang harus diterima suka atau tidak adalah “Perang Perebutan Kepentingan di Kawasan”, pemain utamanya adalah Suriah, Turki, Iran, Rusia, AS dan Israel. Sayangnya Israel selaku stake-holder terbesar dari konflik ini jarang disebut.
Persetujuan presiden Erdogan untuk bergabung dalam KTT Sochi mendatang dan tidak menveto pertisipasi Kurdi bisa jadi salah satu isi “big deals”.
Ini adalah kesekian kalinya Kurdi “nyemplung” ke lubang yang sama karena terlalu berharap kepada AS dan Israel, semoga ke depannya mereka dapat mengambil pelajaran dari semua kejadian ini.
AS dengan iming-iming akan mendirikan negara Kurdistan hanya memanfaatkan Kurdi sebagai alat untuk melawan pengaruh Rusia, Suriah, Turki dan Iran di Kawasan. Mungkin orang Kurdi lupa kalau Mesut Barzany dan sebelumnya ayahnya Musthafa Barzany juga dikecewakan oleh Israel dan AS di Utara Irak, sekarang Saleh Muslim juga ikutan dikecewakan oleh AS di Afrin dan Membej.
Even penting dalam waktu dekat terkait dengan Suriah adalah KTT Sochi, semula dijadwalkan pada tanggal 29-30 Januari, apakah akan ada kejutan baru, misalnya Ankara CLBK dengan Damascus, itu misalnya.
Tapi, semua kemungkinan bisa terjadi. Kita belum bicara dari sisi ekonomi dan SDA yang ada di wilayah yang diributkan itu, makanya apapun bisa terjadi. Biarlah waktu yang menjawab. Tahrir Rakyul Youm.