Sebelum matahari terbit hari Rabu tanggal 4 Zulhijah tahun ke-23 Hijriyyah, Umar bin Khattab keluar dari rumahnya hendak mengimami shalat Subuh.
Ia menunjuk beberapa orang di masjid agar mengatur saf sebelum shalat. Jika barisan mereka sudah rata dan teratur, ia datang dan melihat saf pertama. Kalau ada orang yang berdiri lebih maju atau mundur, diaturnya dengan tongkatnya. Jika semua sudah teratur di tempat masing-masing, ia mulai bertakbir untuk shalat.
Saat itu dan hari itu tanda-tanda fajar sudah mulai tampak. Baru saja ia memulai niat shalat hendak bertakbir, tiba-tiba muncul seorang laki-laki di depannya berhadap-hadapan dan menikamnya dengan Khanjar tiga atau enam kali yang sekali-kali mengenai bawah pusarnya.
Lelaki itu sudah bersembunyi di bawah pakaiannya dengan menggenggam bagian tengah Khanjar bermata dua yang tajam. Ia bersembunyi di salah satu sudut masjid. Begitu shalat dimulai ia langsung bertindak. Sesudah itu, ia menyeruak lari hendak menyelamatkan diri.
Umar merasakan panasnya senjata itu dalam dirinya, ia menoleh kepada jemaah yang lain dan membentangkan tangannya seraya berkata, “Kejarlah anjing itu, dia telah membunuhku!”
Dan anjing itu adalah Abu Lu’luah Fairuz, budak Mughirah. Dia orang Persia yang tertawan di Nahawand yang kemudian menjadi budak al-Mughirah bin Syu’bah. Kedatangannya ke masjid itu sengaja hendak membunuh Umar bin Khattab di pagi buta itu.
Orang-orang gempar dan kacau, gelisah mendengar hal itu. Orang banyak datang hendak menangkap dan menghajar anjing itu. Tetapi, Abu Lu’luah tidak memberikan kesempatan menangkapnya.
Malah ia menikam ke kanan dan ke kiri hingga ada dua belas orang yang terkena tikamannya. Ada yang mengatakan ada enam orang yang meninggal akibat tikaman itu, ada pula sumber lainnya menyebutkan ada sembilan orang.
Yakin dirinya juga pasti akan dibunuh, Fairuz Abu Lu’luah pun, pada akhirnya menikamkan Khanjar yang dipegang di tangannya ke perutnya sendiri.
Pembunuh Umar itu pun terkapar menggelapar bunuh diri dengan senjata yang ia pergunakan untuk menikam Khalifah Amirul Mukminin itu.
Tikaman yang mengenai bawah pusar Umar bin Khattab itu telah memutuskan lapisan kulit bagian dalam dan usus lambung yang dapat mematikan.
Konon, Umar bin Khattab tidak dapat berdiri, karena rasa perihnya tikaman itu, dan lalu terhempas jatuh ke lantai.
Abdurrahman bin Auf segera maju menggantikan mengimami shalat Subuh. Ia meneruskan shalat itu dengan membaca dua surah terpendek dalam al-Qur’an, yaitu surah al-Asr dan al-Kautsar.
Amirul Mukminin itu kemudian langsung dibawa ke rumahnya di dekat masjid. Orang ramai tetap kacau dan hiruk dan pikuk. Umar dalam keadaan pingsan, karena dahsyatnya tikaman itu.
Sementara Amirul Mukminin tergeletak bercucuran darah di depan mereka, dan darah orang-orang yang juga terkena tikaman itu bergelimang di depan mereka. Dan pembunuh itu juga sedang berada dalam kondisi sakaratul maut.
Demikian tragedi berdarah dalam sejarah kelam fitnah itu dipaparkan oleh Muhammad Husien Haikal secara dramatikal di dalam kitab “Umar al-Farouq”.
Pagi itu, semua orang gempar dan kacau. Orang-orang yang baru terbangun dari tidurnya pun berusaha mencari kabar tentang peristiwa yang baru terjadi. Keadaan menjadi sangat menegangkan.
Orang-orang yang menjadi korban akibat tikaman Abu Lu’luah dibawa pulang ke rumah mereka masing-masing. Sebagian ada yang telah meninggal dunia, sebagian lagi masih mengerang-ngerang kesakitan, akibat perihnya perut mereka yang terluka oleh sayatan tajam senjata si pembunuh Umar itu.
Di rumahnya, Khalifah Amirul Mukminin, Umar bin Khattab masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Darah segar terus membanjiri kain balutan yang mengikat di perutnya. Tak henti-hentinya mengucur derasnya.
Ibn Abbas memasuki rumah Amirul Mukminin. Ia masih melihat Umar bin Khattab tergeletak di atas kasurnya tak sadarkan diri. Keluarga sudah memanggil tabib untuk datang mengobati. Abdullah bin Umar memanggil seorang tabib dari kaum Anshar dan seorang lagi tabib dari kalangan Bani Umawiyyah.
Tak berapa lama, tabib pun datang memberikan pengobatan. Umar tersadar dari pingsannya. Ia bertanya, “Apakah kaum muslimin sudah melaksanakan shalat?!” Mereka menjawab, “Sudah!”
Kemudian, sang tabib meminumkan susu padanya. Susu yang diminumkan itu pun pada akhirnya keluar putih dari perutnya. Tak ada harapan, kondisi Umar akan membaik. Lantas Ibn Abbas berkata pada Umar bin Khattab:
“Wahai Amirul Mukminin, berwasitlah!”
Semua orang yang hadir pun menangis. Umar bin Khattab berkata, “Jangan menangisi kami. Barangsiapa yang mau menangis, keluarlah! Tidakkah kalian mendengar kata Rasulullah Saw, “Mayat akan disiksa disebabkan tangisan keluarganya!”
========
Mari sejenak kita telusuri sekilas kisah singkat sebelum terjadinya tragedi itu.
Menurut Imam at-Thabari dan Ibn al-Atsir menceritakan, bahwa sebelum wafatnya Umar bin Khattab, setelah beliau melaksanakan ibadah haji, Umar bin Khattab berjalan-jalan berkeliling di pasar.
Ketika itu, ia bertemu dengan seorang budak bernama Abu Lu’luah yang kelak akan menjadi pembunuh Umar bin Khattab. Abu Lu’luah menemuinya dan berkata kepadanya:
“Wahai Amirul Mukminin, bicarakan soal saya dengan majikan saya al-Mughirah bin Syu’bah, sebab pajak yang ia kenakan pada saya terlalu tinggi.
“Berapa pajak yang ia kenakan pada Anda?!” tanya Umar.
“Dua dirham setiap hari!” jawabnya.
“Pekerjaan Anda apa?!” tanya Umar lagi.
“Tukang kayu, pemahat dan pandai besi!” jawabnya.
“Pajak itu menurut saya tidak banyak!” jawab Umar. “Saya dengar kamu mengatakan jika saya mau saya bisa buatkan penggilangan dari tenaga angin?!”
“Ya!” jawabnya!
“Buatkan saya satu!” kata Umar.
“Jika saya bisa diselamatkan, maka saya akan buatkan sebuah penggilangan yang akan menjadi bahan pembicaraan orang-orang di Timur dan di Barat!”
Kemudian, Abu Lu’luah meninggalkan Umar bin Khattab. Umar mengatakan, “Orang itu telah mengancamku!”
=====
Jika kita telusuri sekilas kisah di atas, kita akan dapati bahwa salah satu penyebab tragedi pembunuhan atas Khalifah Amirul Mukminin dilandasi dendam kesumat dari seorang budak Persia atas persoalan pajak.
Di sini kita melihat bahwa peran Sayyidina Umar bin Khattab sebenarnya tidak terlalu signifikan dalam kasus ini.
Sebagai seorang pemimpin yang terkenal dengan keadilan dan ketegasannya, Umar bin Khattab menolak membicarakan soal pajak yang dibebankan oleh seorang majikan terhadap budaknya, karena tarif pajak itu memang hal yang masih wajar saja dalam pandangan Umar.
Barangkali dalam kondisi saat ini, boleh jadi sama dengan adanya tuntutan para serikat pekerja/buruh terhadap seorang kepala negara atau pejabat negara agar mau memediasikan antara tuntutan buruh/karyawan terhadap direktur/manager perusahaan.
Dalam konteks kekinian, boleh jadi ada ancaman dari buruh/karyawan atau rakyat kecil terhadap kebijakan pejabat negara yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan serikat pekerja atau rakyat kecil, misalnya.
Si budak Persia itu justru mengancam akan membunuh Umar bin Khattab. Hal itu, bisa saja terjadi terhadap seorang pemimpin yang adil. Maka, bayangkan terhadap pemimpin yang zhalim dan sering tidak berlaku adil?!
Ketika para pemimpin menaikkan tarif pajak, menaikkan harga minyak sementara harga pasaran minyak dunia sedang turun, menaikkan iuran asuransi kesehatan, membebani rakyat dengan sejumlah beban iuran, hingga ekonomi mereka makin sulit, maka boleh jadi sejarah akan berulang.
Khalifah Umar bin Khattab yang keadilan kepemimpinannya saja tak tertandingi, kesejahteraan ekonomi terwujud di masa pemerintahannya, ditikam oleh rasa sakit hati seorang budak/ rakyat kecil atas persoalan pajak yang dirasanya membebani hidupnya.
Maka bagaimana dengan pemimpin yang memang sengaja membebani rakyatnya, menaikkan pajak, menaikkan iuran asuransi, membuat rakyanya kian menjerit ekonominya?
Barangkali, para pemimpin negeri ini ada baiknya membaca kembali sejarah para tokoh pemimpin masa lalu agar mereka bisa lebih banyak belajar lagi tentang sikap apa yang seharusnya diambil dari setiap pengambilan keputusan.
Ingat, sejarah pasti berulang. Jadi, tidak ada yang bisa dibuat-buat main atas segala kebijakan dan keputusan. Ada harga mahal yang harus dibayar dari setiap keputusan, terlebih jika memang menyengserakan rakyatnya. Beginilah sejarah mengajari kita.
Wallahu ‘alam.