Kemarin mungkin kita membaca pernyataan salah satu orang orang dengan penyimpangan sexual (menyukai sesama jenis) menyatakan kurang lebih bahwa ” di pesantren itu homosexual berlaku lebih aman, karena cuma melalui paha”.
Sebuah pernyataan yang sontak membuat akademisi pesantren terhenyak. Ibarat sebuah air yang penuh sedang diam dan tenang di sebuah bejana, lalu ada sebuah batu kecil yang kita masukkan. Maka tentu saja air itu akan bergolak dengan luar biasa. Alumni pesantren mengernyitkan dahi, para guru di pesantren menyimpan menarik sejenak senyum teduh mereka, dan saya yakin para Kayi pesantren saat ini tengah menggumam lirih sambil membaca Istighfar berkali-kali. Pesantren, sebuah Institusi pendidikan Islam, direndahkan dengan perkataan itu.
Seakan-akan di pesantren, penyimpangan sexual semacam itu adalah sebuah kewajaran, di pesantren penyimpangan sexual yang jelas itu adalah penyakit yang harus dibasmi adalahsebuah hal yang bisa dimaklumi. Di pesantren, hal-hal yang sifatnya menyimpang dari Kodrat kemanusiaan adalah hal lumrah. Hal inilah yang menyulut kemarahan Alumni pesantren.
Api kemarahan ini memang masihlah kecil, tapi kalau tidak ada permohonan maaf dari yng bersangkutan, maka bukan tidak mungkin akan membawa efek yang membakar dan menghabisi semua hal tanpa pandang bulu. Semoga kita masih ingat, bagaimana kaum santri membantai komunis di tahun 65 sampai 67. Mereka membunuh siapa saja yang dicurigai PKI atau keturunan PKI atau yang dituduh PKI. Tak kenal ampun, tanpa kompromi…
“Untungnya” orang yang membicarakan ini tidak menyebut nama satu Institusi pun. Sehingga dia masih bisa diselamatkan dari amukan Alumni pesantren yang dimaksud. Jika dia menyebut nama salah satu Institusi pesantren saja, maka lihatlah bagaiaman alumni Gontor “memaksa” seorang ustadz harus meminta maaf secara terbuka karena menyebut Gontor Minder peradaban. Atau bagaimana aktifis salah satu partai sekarang harus berjuang melawan stroke, beberapa saat setelah dia berkata ingin melaporkan Kyai Hasan Abd Sahal ke Polisi. Pesantren memang diam, seakan-akan tidak bereaksi, tapi Alumninya tidak akan tinggal diam. Mereka akan menggerus siapapun yang melecehakn pesantren yang adalah ibu mereka, atau melecehkan Kyai yang itu adalah ayah bagi mereka.
Tapi apakah betul penyimpangan sexual itu ada di pesantren?
Kami di pesantren tidak menyebutnya penyimpangan sexual, tapi pelanggaran norma susila. Hal ini meliputi hal apapun yang berkenaan dengan pelanggaran hukum sexualitas, baik itu antara laki-laki dengan perempuan (pacaran) ataupun sebaliknya. Jangan dikira pesantren menyebut wajar kepada hal ini. Berbagai hal dilakukan pesantren untuk mencegah pelanggaran norma susila ini terjadi. Dari membatasi pergaulan antara laki-laki dengan perempaun. Bahkan memisahkan kampus pesantren putra dengan pesantren putri. Melarang mereka saling memasuki kampus masing-masing. Melakukan pemeriksaan lemari untuk mencegah surat-menyurat antar santri dan santriwati. Ini semua untuk mencegah pelanggaran norma susila yang akan menimpa santri dan santriwati. Karena kasus perzinahan, dimulai dari hal yang kecil, saling melihat, saling bicara, saling tertarik, lalu menggoda, lalu masuklah syetan dengan bujuk rayunya sehingga akhirnya para santripun melakukan perbuatan yang di cela agama.
Di Gontor, yang sistemnya terpisah antara santri dan santriwati maka aturannya lebih ketat lagi. Laki-laki yang punya sifat “layyin” (lebut dengan karakter seperti wanita) akan dibentak di Gontor. Berjalan bareng sambil merangkul juga hal yang dilarang di Gontor. Para santri keika tidur diwajibkan bercelana dan harus menggunakan gasper (ikat pinggang). Para santri disibukkan dengan berbagai kegiatan dengan tujuan untuk agar fikiran dan tenaga mereka terpakai untul hal positid dan tidak boleh kosong kegiatan, karena jika kosong maka syetan akan masuk, menyusur aliran darah, merajuk dise tiapurat nadi tanpa henti, hingga akhirnya puncaknya adalah dia tertawa ketika pelanggaran norma susila ini terjadi.
Tapi ada santri yang di usir gara-gara pelanggaran norma susila ini bukan? Di usirnya santri adalah karena pelangaran ini penyakit dan harus disembuhkan. Yang kedua, pesantren memandang ini adalah pelanggaran berat. Tanpa kompromi, tanpa ampun santri akan langsung diusir. Kami tidak peduli besok santri itu mau menghadapi ujian akhir, kami tidak peduli besok santri itu mau lulus, kalau ketahuan melangar norma susila, maka hari itu juga dia harus angkat koper, keluar dari pesantren. Saya masih ingat, dulu adik kelas saya itu sudah selesai ujian kelas enam, sudah ikut amaliah tadris (praktek mengajar) sudah ikut pembekalan kelas 6, dan udisium kelas 6 akan dilaksanakn dua hari kemudian, tiba-tiba dia ketahuan berhubungan dengan wanita desa. Langsung hari itu juga keluar keputusan, bahwa dia harus keluar dar pesantren. Sekali lagi tanpa kompromi, tanpa basa-basi…
Jadi kalau orang yang mengatakan dengan statemen diatas, yang seakan-akan dipesantren pelangaran norma susila itu adlah hal yang wajar.Maka lihatlah kami dipesantren. Bagaimana pesantren bertindak sangat tegas, sangat-sangat tegas kepada para pelaku pelanggaran norma susila ini. Bisa anda bayangkan dengan di beberapa sekolah di luar, yang masih mengizinkan siswi-nya yang hamil diluar nikah ikut UN dengan alasan kasihan. Atau membiarkan siswa-siswinya pesta miras dan pesta sex sesaat setelah pengumuman UN dilakukan dengan alasan dliuar kontrol mereka, atau bagaimana sekolah itu membiarkan siwanya mengakses video porno do warnet karena juga kehilangan kontrol. Sungguh, kalau saja dia melihat betapa “kejam”nya kami diperlakukan di pesantren untuk alasan satu ini. Maka sontak mulutnya akan terdiam membisu tanpa bisa mengatakan apa-apa……