Menyebut nama Atikah binti Yazid, tak bisa lepas untuk menyebutkan pula latar belakang keluarganya yang bertabur khalifah. Disebutkan bahwa Atikah bisa membuka kerudungnya di hadapan 12 orang khalifah. Tentu saja karena semua khalifah itu adalah mahram baginya. Sebut saja Yazid bin Muawiyah, ayahnya. Lalu, Muawiyah bin Abu Sufyan, kakeknya. Saudaranya, Muawiyah bin Yazid, pun jadi khalifah.
Dia lalu menikah dengan seorang khalifah, yaitu Abdul Malik bin Marwan. Dengan demikian ia bermahram dengan mertuanya, Marwan bin Al Hakam. Anaknya, Yazid bin Abdul Malik, jadi khalifah pula. Sampai kemudian kepada cucu-cucunya yang jadi khalifah. Dapat dibayangkan bagaimana kehidupan Atikah binti Yazid yang dikelilingi kemuliaan dan kekuasaan.
Dalam kondisi penuh kecukupan itulah Atikah dibesarkan dan menjalani seluruh kehidupannya di Damaskus. Namun, ini tak membuatnya melupakan kaum tak berpunya. Suatu kali suaminya, Abdul Malik, mengusulkan kepadanya untuk menghibahkan hartanya yang berlimpah kepada Yazid dan Marwan, putra-putra mereka. Menurut suaminya, harta Atikah itu akan lebih berguna bagi anak-anaknya yang masih muda dibandingkan untuk dirinya sendiri.
Awalnya Abdul Malik mengira istrinya akan menuruti sarannya. Bagaimana pun seorang ibu pasti rela memberi segalanya untuk anak-anaknya. Namun ternyata tidak demikian, Atikah telah memutuskan untuk apa harta yang dimilikinya.
Dengan ringan ia mengatakan bahwa anak-anaknya menjadi tanggungan ayahnya dan karena ayahnya seorang khalifah tak ada kekhawatiran kalau mereka akan hidup kekurangan. Kelak, mereka pun akan menjadi khalifah yang berkecukupan secara materi.
Maka Atikah memutuskan untuk memberikan seluruh hartanya kepada kepada fakir miskin dari kalangan Bani Sufyan. “Mereka lebih membutuhkan hartaku untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik,” kata Atikah. Suaminya tak bisa berbuat apa-apa karena itu adalah harta pribadi Atikah.
Kekayaan saja tak ada apa-apanya dibandingkan ilmu. Sejak belia, Atikah rajin menuntut ilmu. Dia banyak belajar dari banyak ulama, terutama dalam ilmu periwayatan hadits yang pada masa itu memang sedang giat dilakukan. Atikah kemudian termasuk wanita tabi’in yang meriwayatkan hadits. Murid-muridnya juga meriwayatkan hadits darinya. Demikianlah, ilmu dan kekayaan seolah berhimpun pada diri Atikah.
Atikah dianugerahi umur yang panjang. Dia hidup hampir di sepanjang masa kekuasaan Bani Umayyah, bahkan ia masih hidup saat cucunya, Al Walid bin Yazid bin Abdul Malik, terbunuh saat menjabat sebagai khalifah tahun 126 H. Wanita mulia ini wafat pada tahun 132 H di Damaskus, ketika masa kekhalifahan Bani Umayyah berakhir.