“Kebijakan” sebagian besar media cetak main stream yg tidak menempatkan berita Reuni 212 sebagai headline news secara tidak langsung telah mematahkan semangat dan upaya untuk memberantas berita hoax di media sosial.
Sering kita dengar, aparat pemerintah dan para pakar komunikasi memberikan solusi bagaimana caranya memberantas berita hoax. Salah satunya dengan merujuk pemberitaan tsb ada atau tidak di media massa main stream.
Sebab diyakini berita yg dimuat media massa main stream sudah disaring oleh tim redaktur yg profesional sesuai dgn kaidah jurnalistik.
Namun sebagian masyarakat (terutama sebagian besar umat Islam) tidak lagi percaya dgn berita yg dimuat media massa main stream (televisi dan koran) karena berkali-kali tidak obyektif memberitakan peristiwa yg ada kaitannya dgn umat Islam.
Terakhir adalah berita tentang Reuni 212, yang mestinya menjadi liputan utama semua media massa mainstream mengingat betapa spektakulernya peristiwa Reuni 212.
Jutaan orang yg sangat heterogen berkumpul dengan tertib dalam suasana yg rukun. Benar-benar contoh yg cocok untuk mengkampanyekan jargon-jargon mulia bangsa ini: menjaga lingkungan hidup, semangat gotong royong, Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, anti radikalisme, toleransi dan NKRI. Semua nilai tersebut hadir di Reuni 212 dan bisa menjadi bahan liputan menarik dari berbagai angle.
Namun semua pesan Pancasilais itu tidak dimanfaatkan oleh sebagian besar media massa main stream. Mungkin karena penggagasnya, Persaudaraan Alumni 212 dan ormas-ormas Islam yg ikut, dianggap tidak sehaluan dgn sentimen politik mereka.
“Kebijakan” tidak memberitakan secara proporsional Reuni 212 menjadi liputan utama seakan mengecilkan peristiwa tsb. Dan ini hoax juga (membohongi pembaca) karena tidak melakukan liputan secara proporsional.
Dampak dari sikap ini akan membuat sebagian (besar) masyarakat makin tidak peduli dan tidak percaya dengan berita yg dimuat media massa main stream.
Mereka akan mencari kebenaran berita melalui media alternatif yakni media sosial yang rawan terhadap berita hoax.
Upaya untuk memberantas berita hoax menjadi pupus akibat ulah sebagian media massa main stream yang “bermain-main” dengan obyektivitas berita. Tendensius hanya karena berbeda pilihan politik.
Jangan disalahkan masyarakat jika mereka mudah termakan berita hoax karena media massa main stream yang semestinya menjadi rujukan utama dalam pemberitaan telah “mengkhianati” azas obyektivitas dalam pemberitaan.
Jangan disalahkan masyarakat jika mereka mudah diadu domba dan rawan konflik sosial akibat berita hoax jika media massa main stream yang semestinya menjadi rujukan utama dalam pemberitaan tidak lagi bisa menjadi pilar demokrasi ke empat.
Sangat-sangat tidak masuk akal sebuah momen pengumpulan massa terbesar di dunia dalam suasana harmonis tidak menjadi berita utama (headline news) di sebagian besar media cetak main stream.