Hampir setiap 2 bulan sekali kami menyempatkan untuk Safar Ruhani (Perjalanan Spiritual), keliling ke pesantren-pesantren di Indonesia, mungkin hampir 100 lebih Pesantren yang sudah kami kunjungi, dari ujung Banten hingga ujung Sumatera atau Kalimantan, semoga bisa berkunjung ke pesantren di Papua dan Sulawesi adalah 2 pulau yang belum kami kunjungi.
Safar seperti ini untuk memperkuat Ruhani kami, dan menajamkan insting kami tentang Pesantren.
Melihat pesantren sejatinya bukan melihat gedung dan jumlah santrinya saja, ada yang lebih menarik dari itu adalah model tirakat Pendiri pesantren itu menjadi fokus kami, setiap pesantren punya ciri khas masing-masing bagaimana munajat di hadapan Allah untuk berdo’a, mendoakan santri dan guru-gurunya juga mendoakan rencana pembangunan pondok nya, saya kira hanya Kiai Maksum Arrisalah yang tirakatnya tidur di kelas yang disekat sebagi rumahnya, saya sungguh tertegun, ternyata pendiri dan pengasuh Darussalam Tasikmalaya Kiai Deni Rustandi juga menjadikan lokal bekas kandang ayam dimana sebagai cikal bakal pesantren dijadikan kediaman bersama istri dan kelima anaknya. Subhanallah.
Di Grobogan Jawa Tengah, kami membersamai KH. Imam Ali Muharram mengamalkan Ratib Haddad, konon dulu tanah pesantren ini, adalah lokasi punden tempat sesembahan masyarakat sekitar, bahkan ada histori dulu, masyarakat jika salat minta hujan di tanah pondok ini, tidak minta ke Allah, tapi minta ke penunggu pohon keramat di desa ini, Allahuakbar, gerakan dzikir dan amaliyah qalbiyah terasa kencang di pondok yang baru berdiri 4 tahun yang lalu ini, pesantren Darussalam Tasikmalaya dan Izzatul Ummah adalah 2 pesantren modern yang khas dengan khazanah turatsnya, rasa klasik dan salaf nya begitu kentara, hingga membuat dingin suasana kami dan rombongan saat berkunjung.
Pesantren itu bukan gembar-gembornya, bukan brosurnya, pesantren itu juga bukan sekedar bangunan dan jumlah santrinya, akan tetapi pesantren itu ruhaniyah nya, kearifan Kiai dan pendiri-pendirinya, pesantren itu jiwanya, Kata Kiai Hasan Abdullah Sahal saat kami sowan ke Gontor beberapa tahun yang lalu, sebelum kami merintis pesantren, inti dari Pesantren itu adalah Mengajar bukan pada Bangunan yang ada, jika merintis pesantren jangan ingin cepat besar, jika mengurus pesantren ingin cepat besar itu setan, maka jika cepat besar beneran, berarti dia setan beneran, lanjut beliau. Nauzubillah.
Menikmati setiap episode dalam perintisan atau pengembangan pesantren adalah bagian yang sangat penting, bersyukur di setiap jengkal perluasan tanah, tidak ada gedung yang dihancurkan, meski pesantren sudah punya uang banyak, karena itu adalah bagian dari kesyukuran. Anggreme Kiai (Diamnya Kiai) di Pesantren menjadi titik kunci, berdiam diri seolah I’tikaf di tanah perjuangan symbol central keberlangsungan kesehatan pesantren.
Semoga semua civitas akademika di seluruh pesantren di ibu Pertiwi ini Allah ganti dengan surga yang indah dan kebahagiaan abadi, dari setiap tetesan air mata pengorbanan dan pengabdian selama di pesantren. Amin. Ya mujibas saailiin. Ya Rabb.