Kalau saya menyebutnya, ini adalah masjid kilat. Masjid cantik ini dibangun dengan tempo waktu yang super cepat: 49 hari.
Namanya adalah Masjid Kampong Mentiri. Ia terletak di kompleks Rancangan Perumahan Negara Kampong Mentiri, Brunei. Oh ya, Rancangan Perumahan Negara atau sering disingkat RPN, adalah suatu kompleks perumahan yang dibangun oleh negara, dan dibagikan kepada rakyat Brunei dengan bayaran yang sangat-sangat-sangat murah.
Cerita pembangunan masjid berkapasitas 3000 jamaah ini bermula ketika masjid lama, di tempat yang sama, mengalami kebakaran hebat pada 5 April 2017 lalu. Masjid lama yang saya nilai antik, dengan material berbahan kayu itu ludes dilahab si jago merah.
Mendengar berita itu, Banginda Sultan bergerak cepat. Tanggal 10 April Sultan Haji Hassanal Bolkiah langsung mengeluarkan titah agar masjid tersebut dibangun lagi dari semula.
Suatu tim pun dibentuk. 14 April tim mulai melakukan pembersihan puing-puing bangunan lama, lalu tanggal 2 Mei dimulai pembangunan pondasi masjid.
Acara peletakan Batu Pertama diadakan pada Jumaat, 5 Mei 2017, dan masjid telah siap digunakan pada hari Senin, 19 Jun 2017M bertepatan 24 Ramadan 1438H.
Secara bangunan, masjid ini bagi saya cukup megah. Masjid ini dibangun dengan dua lantai, mempunyai keluasan 29,101.16 km2 dan dapat menampung sehingga lebih 3,000 orang jamaah.
Fasilitas yang terdapat di masjid ini juga komplit. Ada aula sembahyang utama yang ada di lantai 2, aula serbaguna di lantai 1 yang juga bisa dipakai untuk shalat, tempat shalat perempuan, bilik musyawarah, bilik kuliah, bilik keselamatan, perpustakaan, bilik pengurusan jenazah, dan tempat parkir luas yang bisa menampung sehingga 519 buah kenderaan.
Bahkan Media Permata menyebutkan masjid ini adalah masjid pertama di Brunei yang memiliki lift yang boleh digunakan oleh orang ramai. Masjid Omar Ali dan Masjid Jame Asr memang ada lift juga, tapi itu hanya boleh digunakan oleh kerabat kerjaan atau khatib saat naik ke atas mimbar.
Dengan fasilitas yang sedemikian komplit, tempo pembangunan yang hanya 49 hari tentu sangat istimewa. Masjid ini dindingnya berlapis kayu dengan ornamen yang -walaupun simpel- cantik. Untuk memesan kayu itu saja kalau dikerjakan dengan normal mungkin butuh berbulan-bulan.
Belum karpet, AC, kaca, dan bahan-bahan lainnya. Tapi karena keteguhan dari Kerajaan untuk membangun kembali masjid ini dengan cepat, semuapun bekerja cekatan.
Satu hal yang penting diambil pelajaran dari masjid ini adalah kepedulian Sultan terhadap Islam dan Kaum Muslimin. Masjid ini adalah masjid utama kampung berkenaan.
Saat masjid ini terbakar dan tidak bisa digunakan, otomatis penduduk kampong tidak bisa shalat berjamaah, atau harus mencari masjid di kampung lain yang lebih jauh untuk berjamaaah.
Di sinilah, saya melihat, Sultan sepertinya tidak mau jika di akhirat nanti Baginda diminta pertanggungjawaban atas perkara ini.
Beliau tidak mau kelak di akhirat ketika para penduduk Kampong Mentiri ditanya kenapa tidak melakukan shalat jamaah, mereka menjawab masjid kami terbakar dan belum dibangun oleh kerajaan.
Karena itulah Sultan bergerak cepat. Apalagi saat itu mendekat bulan Ramadhan, di mana setiap Muslim berbondong-bondong meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah dengan lebih sering mendatangi masjid. Dan setelah Ramadhan, ada Hari Raya Idul Fitri yang di Brunei perayaannya selalu diawali dengan shalat berjamaah di masjid.
Maka Kerajaan pun mengeluarkan perintah, Masjid harus sudah siap digunakan untuk Idul Fitri tahun ini juga. Dan Alhamdulillah, pada tahun ini kampung berkenaan tetap bisa melaksanakan ibadah shalat Idul Fitri di kamlong mereka. Bahkan mereka bisa lebih lebih bangga karena dapat shalat Idul Fitri di masjid baru yang indah.
Kepedulian terhadap agama inilah yang memang seharusnya dimiliki oleh setiap pemimpin Muslim, bahkan melebihi kepedualian terhadap negara atau tanah.
Dulu pemimpin-pemimpin Muslim itu gelarnya selalu dikaitkan dengan agama. Ada Al-Muizz li Dinillah (Penguat Agama), ada Al-Hakim bi Amrillah (Yang Berhukum dengan Perintah Allah), ada Al-Mu’tashim Billah (Yang Berpegangteguh kepada Allah), Al-Mu’tamid Alallah (Yang Bersandar kepada Allah), dan lain sebagainya.
Sultan Brunei sendiri memiliki gelar Muizzaddin wad Daulah, yang kalau diartikan berarti Pemerkasa Agama dan Negara.
Jadi agama didahulukan daripada negara. Bukan seperti republik badut yang pemimpinnya justru alergi dengan agama dan mengintimidasi para pemuka agama.