MEMBACA tulisan guru kami, Drs Denni Iskandar MPd berjudul “Guru Juga Manusia” (Serambi, 3 Agustus 2010) menanggapi tulisan Zamzami berjudul Guru “Jadi-jadian” (Serambi, 31 juli 2010), membuat saya semakin bingung dengan sebuah pemahaman konteks yang mengambang. Wacana Guru
“Jadi-jadian” tidak bisa kita samakan dengan makhluk halus karena ada pemakaian tanda petik di atasnya, harusnya sebagai seorang yang professional bisa memahaminya sebagai sebuah usaha mengangkat kembali harkat seorang guru yang digugu dan ditiru, sehingga tidak ada kesan tidak suka akan suatu pandangan bawahan.
Saya pahami, Guru “jadi-jadian” adalah guru yang tidak asal-asalan, asal lepas tanggung jawab mengajar dan terima gaji di awal bulan, tetapi juga harus mampu mendidik bukan hanya intelektualitas murid saja (IQ), tetapi juga emosional (EQ) dan spiritualnya (SQ).
Sedikit tersenyum, ketika membaca tulisan cek gu kami Drs. Denni Iskandar, M.Pd, “Guru juga Manusia”, yang mengandalkan sertifikasi dan gaji besar untuk menjamin kesejahteraan para guru. Kesejahteraan tidak bisa diukur dari materi, tapi kesejahteraan adalah keriangan hati (keikhlasan) untuk memberi dan menerima, hal inilah yang coba dinukilkan seorang penulis sekaliber Andrea Hirata dalam kisah nyata “Laskar Pelangi” dan Ahmad Fuadi dalam “Negeri 5 Menara”.
Sertifikasi bukanlah segala-galanya dalam memajukan pendidikan kita. Guru memang maju, tetapi pendidikan belum tentu maju, pendidikan tidak hanya membanggakan sertifikasi yang berujung pada berapa banyak jumlah gaji, tetapi sejauh mana kita mampu mengevaluasi guru-guru kita agar mereka lebih profesional dalam IQ, EQ, dan SQ. Saya sangat setuju dengan opini pemerhati pendidikan anak dan keluarga, Fauzil Adhim, (Kompas, Selasa 15/6/2010). “Saya tidak setuju dengan sertifikasi. Kebijakan itu memerlukan anggaran yang mahal tetapi tidak akan membuat pendidikan kita maju. Sangat mudah bagi seorang guru untuk mengumpulkan sertifikat, tetapi apakah mereka benar-benar paham dengan materi dan diaplikasikan dalam pendidikan? Sertifikasi jelas tidak bisa dijadikan tolok ukuruntuk menilai kompetensi seorang guru,” tegas Fauzil. Pernah saya alami ketika menjadi panitia dalam sebuah acara, seorang guru yang tidak hadir dalam acara tiba-tiba datang dan meminta untuk dibuatkan sertifikat dengan alasan untuk sertifikasi.
Guru adalah orang yang tidak hanya melakukan aktivitas yang lepas dari tanggung jawabnya sebagai pengajar, tapi harus menjadi suatu sosok yang menciptakan generasi tangguh yang akan memikul tanggung jawab besar.
Seorang guru semestinya memahami hakikat sebuah pendidikan yang tidak hanya tertumpu pada aktivitas mengajar tapi juga mendidik dan mengabdi, hal inilah yang tidak dimiliki kebanyakan guru kita sehingga fenomena ini yang menurut saya menggerakkan pena Zamzami untuk menulis Guru “Jadi-jadian”.
Jelas dan nyata dirasakan oleh kebanyakan mahasiswa termasuk saya, di mana seorang dosen sering tidak masuk tanpa kabar dan membiarkan mahasiswanya menunggu di ruang tanpa suatu kejelasan, ketika masuk terlambatpun seolah-olah merasa tidak bersalah atas keterlambatanya, merasa gengsi untuk meminta maaf kepada mahasiswa yang menunggu lama, yang kemudian masuk hanya sebatas lepas dari tanggung jawab ‘mengajar’.
Meskipun tidak semua dosen seperti ini, tapi inilah yang coba dikritisi oleh Zamzami, harusnya ini menjadi pelajaran bagi kita semua untuk terus memperbaiki keadaan.
Tulisan Zamzami, saya pahami bukanlah bermaksud memojokkan para guru dan instansi Tarbiyah serta FKIP, tetapi sebagai muhasabah dan renungan buat kita semua. Buat para guru seperti saya, serta Tarbiyah dan FKIP yang mencetak guru yang berakhlak mulia. Seharusnya kita bangga dengan seorang mahasiswa S1, calon guru yang kritis akan permasalahan pendidikan. Apa yang dilontarkan Zamzami melalui tulisannya, seharusnya menjadi masukan untuk kita terima dan evaluasi.
Mungkin menjadi ketakutan buat instansi yang melahirkan para guru, karena ketika guru seperti saya dikritik, pasti orang akan berkata dari mana asal guru tersebut, siapa yang memroduksi guru tersebut? Harus kita akui, walaupun kita telah banyak memroduksi guru dari era 60-an sampai sekarang, tetapi belum sepenuhnya menjadi pendidik yang benar-benar mengerti akan pendidikan.
Menjadikan fakultas pendidikan sebagai fakultas favorit merupakan salah satu kunci kita memajukan pendidikan di Aceh khususnya dan Indonesia umumnya.
Tahukah kita kenapa pendidikan terbaik dunia adalah Finlandia? Guru-guru di Finlandia boleh dikata adalah guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis.
Lulusan sekolah menengah terbaik biasanya justru mendaftar untuk dapat masuk di sekolah-sekolah pendidikan dan hanya 1 dari 7 pelamar yang bisa diterima, lebih ketat persaingainnya ketimbang masuk ke fakultas bergengsi lainnya seperti fakultas hukum dan kedokteran.
Bandingkan dengan Indonesia yang guru-gurunya dipasok oleh siswa dengan kualitas seadanya dan dididik oleh perguruan tinggi dengan kualitas seadanya pula, bahkan fakultas yang paling banyak berdiri adalah FKIP dan Tarbiyah. Saya sangat mendukung program tersebut, tetapi jangan sampai terdoktrin pada peserta didik kita, jika masuk fakultas tersebut prospek masa depan akan cerah dengan gaji berlimpah, dan ini terbukti
ketika calon mahasiswa ditanyai kenapa kamu ingin kuliah di faklutas favorit (bukan fakultas pendidikan), jawabannya karena akan mendapat kerja bergengsi dan banyak uang, doktrin uang sudah tertanamkan bagi peserta didik sebagai tujuan mereka kuliah.
Untuk memajukan pendidikan kita, bukan hanya tanggung jawab guru, dosen, intstitusi FKIP dan Tarbiyah saja, peran orang tua juga sangat penting di sini, karena keluarga cerdas menghasilkan generasi cerdas, sekolah cerdas menghasilkan pendidikan cerdas, pendidikan cerdas menghasilkan masyarakat cerdas, dan akhirnya masyarakat cerdas akan menghasilkan pemerintah yang cerdas, mari kita jadikan kritikan dan masukan sebagai muhasabah buat kita semua, para pendidik yang akan mampu merestorasi Aceh seperti guru-guru di Jepang. Siapapun dan dari mana pun kritikan dan teguran harus menjadi hal positif buat kita semua.
Di sini saya ingin mengatakan seharusnya judul opini guru kami Drs Denni Iskandar, MPd, “Guru Juga Manusia”, lebih tepat menggunakan kata “Guru memang Manusia”, karena sudah memang manusia diciptakan sebagai makhluk yang acapkali lupa dan salah, tidak seharusnya berlebihan dalam memahami makna, mari kita muhasabahkan diri kita dan jangan terlalu egois hanya dengan teori.
Teringat akan sebuah nasihat sang guru KH. Imam Zarkasyi, beliau berkata; “Orang sukses dalam defenisi kita adalah mereka yang mengajar sebait kata di sebuah surau di belakang sebuah bukit”. Betapa hebat dan mulianya menjadi seorang guru, namun jangan menjadi “guru-guruan” atau guru “jadi-jadian”, yang tidak ikhlas dalam mengajar, marilah kita bangkit menjadi guru yang mengabdi pada umat dan mencari keridaan Allah.
Almukarram, buat para guru kami!
* Sam Muharsafa adalah alumnnus Kulliyah Mu’allimiyah Islamiyah Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur