ENJADI bagian dari ajang 4th Annual Confe rence on the Muslim
World 2015 dengan tema Islam and interfaith relations in South and Southeast Asia, 3-9 Oktober 2015, di De La Salle College of Saint Benilde, Metro Manila, Filipina, memberikan pengalaman berharga bagi saya sebagai guru di Indonesia.
Pertemuan yang dihadiri perwakilan beberapa universitas di Amerika Serikat, India, Filipina, Indonesia, dan beberapa negara lainnya menampilkan sejumlah pemateri yang menyoal topik
yang hampir selalu relevan dalam kehidupan masyarakat; keberagaman.
Terpilihnya Filipina sebagai negara penyelenggara konferensi
tentang Islam adalah kejutan tersendiri, mengingat negeri ini merupakan negara dengan mayoritas penduduk beragama Katolik (sekitar 80%). Mengapa konferensi ini tidak dilaksanakan di negara bermayoritas muslim Asia Tenggara seperti Indonesia
atau Malaysia? Pertanyaan yang menarik untuk dikaji.
Terutama di Indonesia, isu keberagaman masih menjadi isu
kontroversial. Lihat saja ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan melemparkan wacana agar
tata tertib berdoa di sekolah tidak hanya diwakili satu agama
mayoritas tertentu, atau ketika Alquran dibacakan dengan
langgam Jawa pada peringatan Isra Mikraj di Istana Presiden.
Kedua isu itu langsung menjadi perdebatan hangat nasional.
Banyak kalangan mulai tokoh agama, akademisi, politisi, hingga golongan awam merasa perlu untuk memberikan suara. Nilai keberagaman Dalam ranah pendidikan, keberagaman juga menjadi bahan perdebatan yang menarik, terutama saat kesadaran untuk merayakan perbedaan agaknya tidak selalu
menjadi prioritas dalam pendidikan kita. Padahal, menimbang keberagaman yang ada di sekolah misalnya, pemahaman tentangnya mestinya mendapat perhatian yang lebih serius, terutama dalam mengatasi kegagapan dunia pendidikan kita dalam menghadapinya. Dalam keseharian, sering kita temukan
berbagai kegagapan yang dihadapi anak didik dan juga guru dalam menyikapi perbedaan. Praktik bullying sering kali mengeksploitasi perbedaan fi sik, cara pandang, dan kepercayaan seseorang.
Republika Online (19/12/2013), misalnya, mencatat pelajar muslim di Amerika Serikat sering menjadi korban bullying
atas nama agama di sekolah mereka. Dari hampir 500 siswa muslim yang disurvei di negara tersebut, pelecehan dan bullying agama dialami mereka yang berusia 11-18 tahun. Sementara itu, di Kartanaka, Bangalore, seorang siswa muslim dihukum gurunya
karena tidak melakukan ritual Hindu sehingga siswa tersebut depresi (Hindustan Times, 5/8). Di SD Negeri 01 Jakarta Utara, seorang kepala sekolah enggan mengalokasikan serta membagi dana BOS untuk menyediakan guru agama Kristen, dengan alasan jumlah murid Kristen lebih sedikit ketimbang murid yang
beragama Islam (Kompasiana Online).
Fakta-fakta ini menunjukkan sebuah ironi dalam menyikapi kemajemukan yang inheren dalam kehidupan masyarakat dunia pendidikan.
Berdasarkan hasil sensus penduduk 2010, Indonesia memiliki jumlah penduduk 237.641.326 jiwa. Jumlah itu diperkirakan akan terus bertambah sehingga diproye k – s i k a n , p a d a 2015 penduduk Indo n e s i a akan berjumlah 255 juta dan akan mencapai 305 juta jiwa pada 2035. Wilayah Indonesia terdiri atas 17.504 pulau, 1.340 suku, 546 bahasa, dan 6 agama yang diakui negara. Data tersebut De La Salle College of Saint Benilde, Metro Manila, Filipina, menggambarkan bahwa keberagaman ialah
sesuatu yang nyata hadir.
Melalui keberagaman ini, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi teladan bagi banyak negara di dunia dalam memahami, menghargai, menerima, dan bertoleransi dalam berbagai perbedaan. Pengalaman budaya Lalu bagaimana penghargaan terhadap keberagaman dapat diterapkan di sekolah?
Pengalaman Sekolah Sukma Bangsa Pidie, Aceh, dan Ameri ca’s Unoffi cial Ambassador (AUA) melalui school to school program mungkin bisa menjadi contoh. Dalam program ini, sejak 2013,
guru dan siswa dari AS setiap tahunnya mengunjungi Aceh
untuk tinggal selama 2 minggu hingga 1 bulan di sekolah.
Program ini bertujuan untuk saling memberikan pengalaman budaya serta memberi gambaran kepada guru atau siswa dari AS betapa ramah Islam di Indonesia, dan tidak selalu identik dengan
radikalisme dan terorisme.
Di sisi lain, program ini memberi dimensi pembelajaran dan penyadaran bagi siswasiswi Sekolah Sukma Bangsa Pidie bahwa mereka hidup di sebuah dunia global yang memiliki kekayaan berharga berupa keragaman. Program ini diharapkan mampu mengantarkan mereka kepada empat hal, yaitu understanding,
respect, acceptance, dan tolerance. Melalui program ini, AUA
dan Sekolah Sukma Bangsa Pidie berupaya membuka cakrawala berpikir para siswanya untuk melihat dunia dari sudut yang berbeda. Jika sebelumnya para siswa hanya bangga pada superioritas ras, budaya, bahkan agama tertentu, kini mereka sudah mulai menyadari bahwa kemajemukan dan perbedaan ialah
sesuatu yang harus diterima kehadirannya.
Understanding, respect, acceptance, dan tolerance merupakan nilai-nilai yang diajarkan sekolah ini kepada siswanya melalui program kerja sama tersebut.
Ajang 4th Annual Conference on the Muslim World 2015 di Manila, Filipina, menjadi sebuah momentum menarik untuk merenungkan kembali bahwa keberagaman bukanlah komoditas yang dijual ke publik untuk diperdebatkan. Pemahaman, penghargaan, penerimaan, dan toleransi terhadap keberagaman
ialah cara Tuhan mendidik pemeluk agamanya bahwa surga dan neraka bukan hanya diperuntukkan mereka dengan ras, suku bangsa, atau warna kulit tertentu. Maka, sangat mendesak rasanya bagi lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia untuk
menginternalisasikan nilainilai keberagaman dalam konteks pembelajaran di sekolah.
Azyumardi Azra (2003) menekankan pembentukan masyarakat
dalam memahami keberagaman di Indonesia tidak boleh dilakukan dengan cara trial and error, tetapi harus dilakukan secara sistematis, integral, berkesinambungan, dan langkah yang paling strategis menurut Azra ialah melalui pendidikan.
Dunia yang penuh dengan keragaman akan terasa lebih damai jika setiap individu dididik dengan empat nilai di atas. Belajar dari keberagaman bukan bermakna mengeliminasi identitas kita sebagai sebuah ras, suku bangsa, budaya, dan agama yang kita
percaya. Memahami kemajemukan dapat mengantarkan setiap orang untuk hidup dalam ketenteraman karena tidak dilandasi kecurigaan terhadap apa pun dan siapa pun yang berbeda. Menghormati keragaman dapat menghadirkan ruang cinta terhadap sesama manusia. Menerima perbedaan tidak berarti menggadaikan apa yang kita percaya, tetapi memberi ruang yang
sama kepada orang lain untuk percaya apa yang mereka percayai.
Bertoleransi ialah nilai tertinggi yang akan membawa peradaban dunia ini pada kedamaian. Toleransi bisa dimulai dari bagaimana dunia pendidikan mampu merayakan keberagaman. Sebagaimana
yang diutarakan Helen Keller, “The highest result of education is tolerance.”