Dulu, ketika masih kuliah S.1 di Prodi Pendidikan Bahasa Arab di salah satu kampus perguruan tinggi Islam, ada salah seorang dosen yang setiap kali mengajar materi andalan beliau hanyalah al-Qur’an, lebih tepatnya mushaf terjemahan al-Qur’an.
Tak ayal, dosen kami itu sangat hapal semua letak dan posisi ayat, namun sayangnya beliau hanya terkesan mengandalkan terjemahannya apa adanya.
Sampai pada suatu ketika -saya masih ingat waktu itu kami sudah berada di semester 5- beliau masuk di kelas kami mengajarkan mata kuliah Aqidah. Bermodal mushaf al-Qur’an terjemah itu, dosen itu meminta pada salah seorang teman kami sesama mahasiswa membacakan surah As-Syu’ara ayat 224-225 yang berbunyi:
وَٱلشُّعَرَاۤءُ یَتَّبِعُهُمُ ٱلۡغَاوُۥنَ. أَلَمۡ تَرَ أَنَّهُمۡ فِی كُلِّ وَادࣲ یَهِیمُونَ
“Dan para penyair itu mereka diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah.” [Qs. Asyu’ara: 224-225]
Lantas, dari kesimpulan ayat itu beliau menyatakan bahwa syair, termasuk lirik lagu dikecam oleh al-Qur’an, syair dilarang dengan dalil ayat tersebut di atas.
Sebagai mahasiswa yang ketika itu, saya tidak memahami tafsir yach menerima saja, meski terasa janggal dan aneh saja pandangan seperti itu. Tapi, apa boleh dikata, namanya juga mahasiswa tingkat dasar, mau mendebat juga tidak ada pengetahuan tentang itu.
Seiring dengan berjalannya waktu. Usai menyelesaikan kuliah S.1 saya berkesempatan melanjutkan pendidikan S.2 yang ketika itu alhamdulillah bisa ikut diberangkatkan dalam program beasiswa al-Azhar ke Cairo.
Meski pada akhirnya, kuliah saya bukan di Al-Azhar, melainkan di kampus yang berbeda dan jurusan yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, di prodi Sastra dan Bahasa Arab di Institute of Arab League, Cairo tahun 2006.
Di sana saya mendapatkan pengetahuan yang lebih terbuka dan kompherehensif tentang sejarah dan khazanah keilmuan sastra Arab serta wawasan tafsir al-Qur’an. Pemahaman yang dulu disampaikan oleh dosen kami, ternyata tidaklah sesuai dengan fakta sesungguhnya.
Seperti apa yang pernah beliau sampaikan dan pahami bahwa al-Qur’an mengecam para penyair dengan kesimpulan bahwa syair atau lirik lagu itu diharamkan di dalil al-Qur’an surah Asyu’ara tersebut, ternyata pandangan itu keliru.
Sebenarnya ayat tersebut tidak ditujukan pada semua penyair atau sastrawan. Namun, hanya terbatas pada penyair-penyair Arab Jahiliyyah yang mempergunakan kepiawian mereka bersyair dalam rangka menyerang Islam, menghinakan, merendahkan, mengolok-olok, membully Rasulullah Saw dan ajaran Islam dibawanya.
Asbabun nuzul turunnya ayat tersebut ditujukan, salah satunya pada penyair musyrikin Mekkah; Umawiyyah bin Abi As-Shalat yang syair-syairnya banyak bernada Hija’ atau satire pada Rasulullah Saw.
Oleh karena itulah, turunlah ayat tersebut diatas yang mengecam para pujangga Arab yang merintangi dakwah Rasulullah dengan kemampuannya bersyair.
Ya, syair pada masa itu posisi kedudukannya sangat penting, sama halnya dengan posisi media massa yang bisa saja digunakan dalam rangka untuk menframing pemberitaan demi memutarbalikkan fakta.
Sedangkan bagi para pujangga Arab yang telah memeluk Islam serta mempergunakan kepiawaiannya bersyair dalam rangka membela Rasulullah Saw serta upaya mengcounter setiap serangan dan kecaman dari kaum kafir musyrikin Mekkah, seperti Hasan bin Tsabit tentu saja dipuji oleh al-Qur’an dan dimuliakan oleh Rasulullah Saw.
Bahkan, salah seorang pujangga Arab yang telah berislam, Ka’ab bin Zuhair pernah diberikan satu Burdah atau selendang langsung oleh Rasulullah saat dia memuji Rasulullah dengan syairnya yang sangat indah.
Hal itu membuktikan bahwa Islam juga sangat menghargai seni dan memperbolehkan lirik lagu-lagu religi yang mengandung dakwah atau nasehat-nasehat kebaikan.
Jadi, banyak hal di dalam al-Qur’an, yang tidak bisa kita pahami apa adanya dari sisi terjemahannya saja, jika tanpa melihat dan menelusuri dari tafsirnya serta aspek asbabun nuzul dan aspek semantiknya.
Kuat dugaan saya, apa yang dipahami oleh dosen kami dulu itu -semoga Allah mengampuni kekeliruan beliau dalam memahami al-Qur’an- boleh jadi beliau hanya mempelajari al-Qur’an itu hanya dari sisi terjemahannya saja, bukan dari tafsirnya, apalagi sampai pada pembacaan dan penelahaan kitab tafsir-tafsir yang muktabarah di kalangan para ulama.
Lebih disayangkan lagi, besar kemungkinan beliau hanya mempelajarinya secara otodidak dan pemahamannya tidak didasarkan proses berguru.
Jelas, beliau tidak menggunakan metode penafsiran yang disepakati ulama atau pendekatan analisa keilmuan kebahasaan yang mutlak diperlukan dalam memahami dan menjelaskan makna-makna ayat al-Qur’an. Itu salah satu contoh kecil dari fakta bahwa ada dosen kami yang hanya mengandalkan pemahaman beliau dari al-Qur’an terjemahan saja.
Dan itu terjadi di salah satu perguruan Islam lho yang notabene kami mengkaji bahasa Arab secara dominan, bagaimana jika di luar itu?! Ini hanya contoh bahwa fakta dan realita itu ada.
Maka, pesannya yang ingin saya sampaikan adalah bahwa memahami al-Qur’an tidak cukup dari terjemahannya saja. Boleh jadi orang bisa saja sangat bisa berpotensi keliru dan memunculkan salah kaprah atau salah paham, jika dia hanya mengandalkan pemahaman al-Qur’annya dari terjemahan saja. Orang bisa membunuh hanya disebabkan salah kaprah memahami makna “Al-Qatl” dalam al-Qur’an.
Kata “al-Qatl” dalam al-Qur’an tidak mesti selalu diterjemahkan dengan kata “Pembunuhan”. Kata “kafir” tidak mesti berarti keluar dari agama Islam atau non-muslim.
Ada banyak kata yang tidak bisa diterjemahkan dan ditampung maknanya oleh bahasa Indonesia atau bahasa terjemahan dalam bahasa diluar bahasa aslinya, bahasa Arab.
Hal itu disebabkan betapa bahasa al-Qur’an itu sangatlah luas dan kaya maknanya, sehingga tidak semua aspek maknawi di dalam al-Qur’an mampu ditangkap dan ditampung oleh bahasa kedua dari terjemahannya saja.
Lebih-lebih, bahasa Indonesia dalam konteks keragamam variasi sinonimnya sangat-sangat miskin dibandingkan dengan kekayaan keragaman variasi kosakata dalam bahasa Arab.
Sebagai contoh dalam bahasa Indonesia, kata “Manusia” saja, ada berapa sinonim dari kosakata itu? Mungkin hanya bisa disebut “Orang” saja. Begitu dalam bahasa Inggris, barangkali hanya ada kata “Human” atau “Man” saja.
Namun, dalam bahasa Arab ada sinonim variatif, seperti jadian kata dari : Al-Ins, al-Uns, al-Insan, an-Naas, al-Basyar dan lainnya yang merujuk pada nama lain dari manusia yang kesemuanya berbeda-beda aspek dan sifatnya.
Dalam bahasa Arab -menurut Fairuzzubadi penulis kitab Al-Qamus al-Muhith- ada 500 kosakata untuk menyebut kata Singa, 200 kosakata untuk menyebut Ular, 80 kosakata untuk menyebut Madu. Bahkan, diperlukan lebih dari 1.000 kosakata untuk menyebut Pedang. Tak hanya itu, ada 5.644 kosakata untuk menyebut nama Unta dengan segala sifat dan keadaannya.
Jadi, diperlukan kemampuan memahami semantik bahasa Arab yang luas untuk bisa dan mampu menafsirkan al-Qur’an, apalagi sampai mampu berfatwa sendiri dengan menggunakan istinbath ayat-ayat hukum di dalam al-Qur’an.
Jadi, jelas memahami dan berbicara al-Qur’an tidak sangat cukup hanya bermodalkan al-Qur’an terjemahannya saja. Wallahu a’lam.