Betapa banyak orang kaya yang kekayaannya tidak menghalanginya dari jalan Allah, seperti Sulaiman ‘alaihissalam, begitu pula Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, dan yang lainnya.
Dan betapa banyak orang fakir yang kefakirannya membuatnya sibuk & lupa kepada Allah ‘azza wa jalla.
Semuanya dipengaruhi oleh cinta, maka perhatikanlah cinta itu ke mana mengarah, kepada Allah atau kepada dunia. Orang mencintai maka dia akan menyibukkan diri dalam sesuatu yang dicintainya, entah saat dia berpisah atau saat dia berdekatan.
Renungan dari Kalam Allah:
“Katakanlah; kesengan di dunia ini hanyalah sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa.” (QS. An-Nisa: 77)
“Katakanlah; kesengan di dunia ini hanyalah sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa.” (QS. An-Nisa: 77)
“Apa yang ada di sisi kalian akan lenyap dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (QS. An-Nahl: 96)
Al-Imam Ibnul Jauzi berkata tentang zuhud:
Di antara Salaf ada yg berkata: “Zuhud di dunia itu bisa menenangkan hati dan badan. Sedangkan kesenangan kepada dunia memperbanyak kekhawatiran dan kesedihan.
(Mihajul Qasidin, hal. 416)
Di antara Salaf ada yg berkata: “Zuhud di dunia itu bisa menenangkan hati dan badan. Sedangkan kesenangan kepada dunia memperbanyak kekhawatiran dan kesedihan.
(Mihajul Qasidin, hal. 416)
Ketahuilah bahwa zuhud itu bukanlah meninggalkan harta dan keduniaan, melainkan zuhud itu adalah meninggalkan keduniaan yang melenakkan hati karena tahu kehinaannya, karena tahu ketinggian nilai akhirat.
Karena itu sahabat kaya yang kita sebutkan di atas bukan berarti tak zuhud, bahkan merekalah pembukti cara kezuhudan yang benar.
Lihatlah bagaimana infak Utsman bin Affan atau sedekahnya Abdurrahman bin Auf tak tanggung-tanggung tanpa berpikir panjang tak ada berat di hatinya untuk Allah ‘azza wa jalla.
Pantaslah bila imam Ibnul Jauzi -rahimahullah- menyatakan, bahwa awal dari penyimpangan kaum sufi adalah karena kesalahpahaman dari makna zuhud.
Akhirnya, siapa yang menyadari bahwa dunia itu laksana es yang mencair & akhirat itu laksana batu pualam yang awet, tentu keinginannya menjadi kuat untuk melepas yang pertama lalu ditukar dengan yang kedua.
Oleh: Ust. Syahrullah Hamid, S.Pd.I.