Islam itu adalah manhaj, metode, dan way of life. Islam itu bukan tokoh, sehingga kita mendewakan sosok tertentu. Islam bukan casing, sehingga kita harus menampilkan tampilan luar dengan bentuk tertentu. Islam juga bukan simbol, sehingga ada simbol tertentu yang menunjukkan Islam dan harus dikultuskan.
Sederhananya, kalau memang Islam itu adalah agama tokoh, maka nabi Muhammad sebagai khatamul anbiya tidak boleh mati, beliau harus hidup selalu dan ada bersama kita sampai kiamat datang, tapi “Muhammad itu tidak lain adalah seorang utusan, dan telah banyak sebelumnya utusan-utusan Tuhan…”. Utusan itu dimana-mana tugasnya membawa misi dan pesan. Beliau sendiri bersabda, “Berpeganglah pada Kitab dan Sunnah, maka kamu tidak akan tersesat selamanya”.
Islam bukan casing, tapi Islam itu adalah ilmu yang tercermin dalam amal perbuatan, ingatlah saat orang bertanya pada sayyidah Aisyah Ummul Mukminin, “Bagaimana akhlak Rasulullah?”, beliau Radhiallahu anha menjawab, “Akhlaknya adalah Quran”.
Itu berarti Islam adalah ilmu yang tercermin dalam perbuatan, bukan penampilan tertentu yang kita tampilkan dengan menamakan Islam.
Mau ikut menjadi seperti Rasulullah, ikutilah Kitab dan Terjemahan kitab itu ada dalam Sunnah beliau.
Sejak kapan Islam punya simbol-simbol tertentu? Rasulullah dan para sahabat tidak pernah mengkultuskan simbol-simbol tertentu. Islam itu cara beragama yang rasional, tidak ada yang tersembunyi dan abu-abu, semuanya jelas.
Makanya Syariah menolak cara beragama sebagian sufi, yang mengatakan teori “Segala sesuatu itu ada dhahir dan ada batinnya”, seorang baru mencapai derajat “hamba yang baik” apabila sudah mencapai derajat batin.
Implementasi dari teori ini, kalau diterapkan dalam syariat Shalat: shalat adalah gerakan tertentu dengan bacaan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, inilah shalat yang kita lakukan, dan inilah shalat dalam pengertian dhahir.
Sedangkan dalam pengertian batin, shalat adalah kedekatan jiwa dan keberadaan hati bersama Tuhan, sehingga pada level tertentu seorang hamba tidak harus melaksanakan shalat seperti yang kita lakukan 5 kali itu dengan gerakan tertentu, tapi cukup dengan mengingat Allah pada 5 waktu itu, itulah pengertian batinnya. Benar-benar teori bid’ah yang sesat dan menyesatkan!
Itulah Islam, sebuah manhaj dan metode yang berupa ilmu yang tercermin dalam perbuatan. Sekarang, karena Kitab dan Sunnah adalah “estafet” dari kehadiran seorang Nabi diantara kita, yang kita gunakan untuk mencapai final nanti, yaitu husnul khatimah, “wala tamutunna illa wa antum Muslimun”.
Maka, kita berkewajiban memahami Kitab dan Sunnah itu dengan benar, supaya manhaj yang kita ambil itu benar. Untuk kita kita harus belajar kepada yang mengerti.
Kalau kamu ke dokter, setelah dokter mendiagnosa penyakitmu, kamu tanpa banyak bicara serta merta mempercayai apa kata dokter itu, kemudian kamu pergi ke apotik dan membawa resep yang diberikan oleh dokter tadi.
Itu karena kamu memang tidka paham dunia kedokteran dan obat-obatan, jadi apa kata dokter kamu telan mentah-mentah.
Begitu juga dengan ilmu Kitab dan Sunnah, ada orang-orang tertentu yang mempelajarinya yang disebut Ulama, saat kamu tidak mengerti kamu bisa pergi ke mereka dan bertanya tentang ilmu itu.
Kenapa harus ke mereka? Karena merekalah yang mengerti, sama seperti kamu sakit tadi kamu ke dokter, kenapa harus ke dokter? Kenapa tidak ke tukang besi? Ya karena mengobati dan memberi obat adalah tugas dokter dan apoteker.
Menghormati hal-hal tersebut namanya kita bertanggungjawab terhadap “wewenang ilmiah”, kalau kita suka mencampuri disiplin ilmu orang lain, namanya kita melanggar “wewenang ilmiah” yang dijunjung tinggi oleh orang-orang berpendidikan.
“Lah, memang memahami Kitab dan Sunnah serta mengkonklusi hukum itu bisa dimonopoli para ulama? Tidak bisa dong!”
Ya, silahkan saja kamu bilang “Para arsitek tidak boleh memonopoli hak membuat skema bangunan dan membangunnya! Bagi-bagilah hak itu pada dokter dan ahli pertanian!”
Apa jadinya kalau jembatan dibangun oleh dokter? apa jadinya gedung tinggi dibangun oleh sarjana pertanian! Dokter sendiri, kalau dia waras, mustahil akan menerima tugas membuat sketsa bangunan! Begitu juga dengan ilmu kitab dan sunnah, para ulama tidka memonopoli ilmu itu, tapi mereka memang sudah menghabiskan umur mereka untuk mengkaji dan memahami kitab dan sunnah, sehingga mereka lebih berhak dari yang lain berdasarkan wewenang ilmiah.
Ulama itu sendiri tidak pernah protes kenapa obat-obatan dibuat oleh apoteker, kenapa tidak mereka yang buat, atau tukang bangunan! Saat keselarasan dalam hidup terjadi, semua berjalan pada garis masing-masing, kesejahteraan dan keharmonisan akan lahir dan mekar. Saat itulah hidup benar-benar terasa indah.
Allah berfirman, “Dan tidaklah mungkin bagi matahari mengejar (mendapatkan) bulan, dan malam mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya” (Yaseen:40). Apa jadinya kalau bulan dan mata hari kejar-kejaran mencari muka di depan manusia atau Tuhan? Malam dan siangpun demikian?
Kebiasaan kita, yang sudah mendarah daging adalah suka menilai sesuatu dari luarnya, “we always judge the book by the cover”, baru melihat judulnya provokatif, sampulnya hard-vover, warnanya bagus, kita langsung menghakimi buku itu “bagus”, “luar biasa”, apalagi ada tulisan di pojok atasnya “Best Seller”, padahal di bawah “ Best” ada tulisan kecil “Insyaa Allah”, jadi buku itu best seller insyaa Allah!
Hanya karena kita lihat itu di sampulnya kita sudah menilai sebuah buku, tanpa melihat siapa penulisnya atau membaca daftar isinya. Kalau membeli buku, at least kamu lihat siapa penulisnya, dan daftar isinya, kalau tidak mau membaca kata pengantarnya. Bisa jadi penulisnya seorang dokter, tapi dia menulis tentang akuntansi!
Begitu juga saat menilai seorang saudaramu yang se-iman, jangan hanya karena melihat pakaiannya dan penampilannya, tanpa banyak mengetahui tentang dia, kamu langsung menyimpulkan dia baik atau buruk, dia ahli sunnah atau ahli bid’ah.
Kalau amirul mukminin Umar bin Khattab menilai seseorang, paling tidak beliau pernah melakukan perjalanan jauh dengan orang itu atau pernah melakukan transaksi ekonomi dengan orang tersebut, dari itu beliau baru menyimpulkan orang tersebut baik atau tidak.
Karena, dengan perjalanan jauh dengan seseorang, kamu akan melihat aslinya, hampir semua sifatnya akan ketauan saat kalian melakukan pejalanan bersama, dia pelit atau tidak, dia patuh pada perintah Tuhan atau tidak, itu semua akan terlihat. Begitu juga dalam transaksi ekonomi.
Kalau mau mengenal temanmu lebih jauh, berjalanlah sama dia, kamu akan bisa menilai orang itu bisa jadi sahabat saat susah dan senang, atau cuma datang dan menikmati kesenangan bersamamu. Kalau tidak percaya, bisa kamu buktikan.
Jadi, pakaian dan penampilan luar bukan standar dalam menilai orang lain. Husnu dhon atau dalam hukum disebut presumption of innocent adalah modal utama kita bergaul dan menilai orang lain.
Jangan hanya karena simbol, penampilan dia berbeda dengan kita, sudah kita anggap bukan bagian dari kita.
“Orang mukmin itu seperti sebuah bangunan, yang saling menguatkan”, begitu kata Rasulullah. Itu artinya, dalam berinteraksi dengan saudara kita sesama Muslim, hanya ada kata “kita”, tidak ada kata “aku”,” kita” dan “mereka”. Kenapa demikian? Karena kita adalah satu.
“Tidak beriman seseorang, sampai dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri”. Begitu kata Rasulullah dalam kesempatan lain.
Artinya, kalau kita merasa kita sudah istiqamah, kemudian melihat ada saudara kita yang masih “belum” istiqamah pada ajaran agama, kita harus merangkul dan mengajaknya serta mendoakan, bukan malah menjauhi, merendahkan atau bahkan menganggapnya “diluar kita”.
Allah berfirman, “Yaitu di hari harta dan anak tidak berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (Syua’ara: 89-90). Dari mana datangnya hati yang bersih kalau masih melihat orang lain dengan perasaan Suu dhon dan merasa diri paling benar.
Dalam kitab Al Hidayah, karya imam Ibnu Imad, yang di-syarh oleh sheikh Abdul Ghany Nablusy yang di-tahqiq oleh sheikhna AL Muqry Abdurrazaq Al Halaby, disebutkan riwayat dari sahabat Anas bin Malik, bahwa di dunia itu ada 40 Wali Abdal, mereka adalah manusia biasa, tetapi berhati seperti hati para Nabi. Mereka selalu berjumlah 40 orang, tidak akan meninggal salah satunya sebelum dilahirkan penggantinya. Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengatakan mereka itu semuanya ada di negeri Syam.
Mereka menjadi wali bukan karena banyak salat,banyak berpuasa, banyak zikir, wara atau meninggalkan gemerlap dunia, tetapi karena keikhlasan hati mereka, kebersihan hati mereka, dan selalu menasehati sesama Muslim dan ingin kebaikan untuk setiap Muslim.
Kisah wali abdal 40 ini sangat terkenal di negeri Syam. Siapakah mereka? tidak ada yang tahu. Bahkan mereka sendiri tidak tahu kalau mereka wali.
Apakah itu benar-benar ada? Beberapa riwayat hadis, hadisnya berstatus shahih. Apa kita wajib percaya? Tidak, kita cuma wajib percaya pada rukun Iman yang 6 itu.
Tapi yang penting bukan ada atau tidak wali 40 itu, yang terpenting adalah mereka bisa disebut “manusia biasa, tapi berhati anbiya”, bukan karena casing atau penampilan, tapi karena keikhlasan hati dan kebersihan jiwa. “Mau pake hp apa aja boleh, yang penting pulsanya selalu ada. Hp keren, tapi nggak ada pulsa, sama aja booong!”.
Jadilah Muslim yang menghargai dan mencintai Muslim lainnya, jadilah Muslim yang memahami Kitab dan Sunnah, dan cerminkan pemahaman itu dalm perbuatan dan pergaulan.
Jangan jadi Muslim yang suka menghakimi sesama Muslim, kalau dia baik ikutilah dia, kalau dia tidak baik, ajaklah dia pada kebaikan.
Itulah Islam, “Addinu Annashihatu”.