Setiap kali ada kejadian penghinaan oleh para pembenci Islam terhadap Rasulullah Saw, pada saat yang sama pula, kaum liberal akan turut merespon dengan tanggapan yang seakan bijak, namun justru menunjukkan mereka gagal paham.Hal yang lebih penting, justru menunjukkan posisi mereka yang terkesan netral, padahal sesungguhnya mereka berpihak pada pembenci Islam itu sendiri.
Narasi yang seringkali mereka ungkapkan dalam merespon setiap kali ada penghinaan dan pelecehan terhadap kehormatan Rasulullah Saw dengan menarasikan bahwa Rasulullah itu tidak pernah marah saat dihinakan, Rasulullah itu seorang yang pemaaf, Rasulullah tidak pernah membalas kezhaliman atas dirinya. Terlihat sangat bijak memang.
Namun, sebaliknya jika ada perlawanan terhadap kezhaliman itu, mereka ikut menarasikan sebagai tindakan terorisme, radikalisme dan bahkan dengan semangatnya menslogankan Islam anti kekerasan, Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamien.
Paradoks memang sikap yang selalu mereka tunjukkan. Sekiranya mereka mau lebih objektif bersikap dan secara jujur membaca fakta sejarah, tentu mereka bisa lebih cerdas dalam merespon fenomena yang terjadi. Tidak selalu mencari pembenaran dalam membela pihak yang menunjukkan permusuhan terhadap Islam.
Fakta sejarahnya, ketika terjadi Fath Makkah para sahabat berlomba mengejar beberapa orang DPO yang pernah menghina Rasulullah. Diantara nama-nama yang tercatat dalam daftar hitam itu, yaitu:
1. Jurm bin Khattal
2. Miqyas bin Shubabah
3. Abdullah bin Sa’ad Abi Sarh.
Ketiga orang penghina Rasulullah itu menjadi buronan kaum muslimin yang melarikan diri bersembunyi di kota Makkah. Para sahabat berlomba ingin membunuh mereka.
Ammar bin Yasir berhasil membunuh Jurm bin Khattal yang murtad, meski ia bergelantungan di tirai Ka’bah. Miqyas bin Shubabah berhasil ditangkap di pasar dan akhirnya dibunuh.
Beruntungnya, Ibn Abi Sarh mendapatkan pembelaan dari Utsman bin Affan, meski sebenarnya Rasulullah tidak ingin memaafkannya, disebabkan pengkhianatan dan penghinaannya terhadap Islam sudah sangat keterlaluan. Padahal, Umar ibn Khattab sudah siap untuk memenggal lehernya.
Berlalunya Ibn Abi Sarh, Nabi Saw berkata, “Tidakkah kalian ada di antara kalian yang cerdas dan bangkit membunuh hadzal kalb, anjing ini?!
“Umar bin Khatab bertanya, “Mengapa engkau tidak memberikan isyarat padaku, ya Rasulallah?!”
Rasulullah berkata, “Aku tidak membunuh dengan isyarat!”
Ibn Taimiyyah menulis, “Abi Sarh datang kepada Nabi Saw pada peristiwa Fath Makkah. Dia menyerah dan menyatakan bertaubat. Meskipun Nabi Saw menginginkannya dibunuh. Nabi menunggu cukup lama, menduga akan ada sahabat yang akan membunuhnya.
Hal ini menunjukkan dalil tentang kebolehan membunuh dia, meskipun dia sudah masuk Islam. “Yang dimaksud dengan dia adalah siapa pun yang mengecam, mencela, mencemooh, menghina Rasulullah Saw, baik dia kafir maupun muslim.”
Ibn Taymiyyah meriwayatkan banyak hadits tentang orang-orang yang mengecam Nabi pada waktu beliau masih hidup maupun setelah beliau meninggal dunia dengan hukuman Wajib Dibunuh.
Demikian yang ditulis Ibn Taymiyyah dalam kitab: الصارم المسلول على من شاتم الرسول” Pedang Terhunus atas Orang yang Mengecam Rasul”.
Jadi kesimpulannya, memang Rasulullah itu pemaaaf dan tidak pernah membalas kezhaliman jika menyangkut atas diri pribadi beliau sendiri. Namun, jika menyangkut hak Allah serta penghinaan terhadap simbol agama, tentu sikap tegas wajib ditunjukkan sebagai bentuk pembelaan agama.