MEMBACA Liputan Ekslusif Harian Serambi Indonesia (Sabtu, 26/7/2014), dalam perspektif sosial dan keagamaan menjadi tragedi baru bagi Aceh. Selain konflik dan tsunami yang telah dilewati oleh rakyat Aceh. Tidak berlebihan, bila narkoba langsung berada pada level setelah tsunami dan konflik.
Dalam pandangan sosial dan keagamaan, persolan narkoba menjadi terang benderang bahwa telah terjadi transformasi penggunaan narkoba dari ganja ke sabu-sabu. Transformasi ini, perlu diwaspadai sebagai sebuah ancaman sosial dan keagamaan, dalam perubahan tatanan sosial masyarakat Aceh kontemporer. Karena sebagai sebuah ancaman sosial dan keagamaan, maka diperlukan intervensi lembaga Negara untuk mereduksi penyebaran dan penggunaannya.
Dalam kurun waktu 2010-2012 silam, kami banyak menghabiskan waktu di kawasan pesisir Aceh, melakukan observasi gejala sosial masyarakat pesisir Aceh, terutama pada institusi pendidikan dan perubahan struktur masyarakat. Dalam setiap interaksi sosial, terutama di Lhokseumawe, Aceh Utara, Bireuen dan Pidie Jaya, kami sering berhadapan, dengan “narasumber” yang sedang atau pernah mengonsumsi narkoba. Rata-rata usia mereka masih produktif.
Tranformasi dari ganja ke sabu, pada daerah-daerah tertentu di Aceh, sudah menjadi pola hidup. Perubahan pola hidup, terutama di kalangan pemuda yang radikal ini, berlawanan dengan pola hidup pemuda Aceh sebelum 1990-an.
Saat itu, kehidupan sosial pemuda menjadi “pengawal” desa. Sebaliknya saat ini, menjadi beban Desa dalam struktur sosial masyarakat Aceh. Kehidupan sosial di Aceh, selalu memberikan inspirasi dan intropeksi bagi siapa saja yang menikmati “hawa” hidup di Aceh, dengan segudang fenomenan sosial.
Hasil observasi dan pengamatan saya, terutama kawasan Aceh pesisir. Akibat dari transformasi ganja ke sabu-sabu, dipengaruhi oleh beberapa hal: Pertama, terjadinya transformasi gaya hidup (life style). Pemakai ganja, melakukan transformasi ke sabu-sabu, karena mendapat kenikmatan yang berbeda dengan narkoba sebelumnya. Terkesan ada peningkatan level pergaulan sosial dengan perubahan konsumsi narkoba;
Kedua, terjadinya pembiaran sosial. Bila ada pesta perkawinan dan khanduri sejenisnya dalam sebuah desa tertentu, terutama di Aceh pesisir. Dengan mudah kita temukan, para pemuda desa mengkonsumsi ganja. Sepertinya, menjadi konsensus bersama antara tuan pengelenggara pesta dengan pemuda desa untuk “melegalkan” konsumsi narkoba secara berjamaah. Karena peredaran dan produksi ganja mulai berkurang, maka pengguna melakukan transformasi ke sabu-sabu karena mudah didapatkan, dan;
Ketiga, munculnya orang kaya baru. Dengan muncul orang kaya baru, karena berhasil menjadi penyalur sabu-sabu lintas nasional dan Internasional. Lalu pulang ke desanya, menjadi tokoh sebagai orang sukses, lalu menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya untuk melakukan transformasi penguna dan penyalur narkoba, dari ganja ke sabu-sabu, karena bisa cepat menjadi “orang sukses”.
Sebuah tamparan
Transformasi pengguna narkoba dari ganja ke sabu-sabu di Aceh, seperti yang diwartakan Serambi, merupakan sebuah tamparan bagi pemerintah, ulama dan masyarakat Aceh secara umumnya. Harus ada komitmen dan perhatian bersama, untuk memutus mata rantai pengguna dan penyalur narkoba di Aceh.
Selain hukum harus dijalankan yang setara, juga harus ada sanksi sosial yang diterapkan oleh setiap desa bagi pemuda-pemuda yang mengkonsumsi narkoba dalam area desanya. Lebih dari itu, harus ada desain pembangunan Aceh berbasis desa. Bappeda dan pihak terkait lainnya, harus mampu melahirkan program pembangunan desa yang dapat mereduksi penggunaan dan penyaluran narkoba.
Kita tidak bisa lagi berpodoman pada konsep Sosialisasi Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan, dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) di Aceh. Provinsi Aceh harus melompati konsep tersebut, untuk menyusun skenario jangka panjang yang integratif guna menghapus mata rantai narkoba dengan pembangunan berbasis desa.
Provinsi Aceh selalu berada pada ranking “terbaik” dalam bidang narkoba. Pada 2013 lalu, Aceh peringkat 2 terbesar jumlah pasien sakit jiwa akibat narkoba. Desember 2013, Aceh urutan 8 peredaran narkoba. Belum lagi temuan-temuan konsumsi narkoba pada institusi pendidikan. Sekolah dan kampus di Aceh belum steril dari pengunaan narkoba. Untuk itu, harus ada gagasan komprehensif, yang harus dilakukan Pemerintah Aceh, untuk mengeluarkan Aceh dari peringkat “terbaik” penggunaan dan peredaran narkoba di Indonesia.
Jaringan pengguna dan peredaran narkoba di Aceh, sudah menyasar ke semua kelompok masyarakat baik kalangan pemerintah, penegak hukum, pelajar, mahasiswa, santri, dan orang tua sekali pun. Makanya, solusi sementara yang harus dilakukan oleh Pemerintah adalah mendelekrasikan darurat narkoba pada desa, kecamatan atau kabupaten tertentu di Aceh. Terutama kawasan Aceh pesisir, supaya Aceh tidak kehilangan terbaiknya, akibat narkoba.
Narkoba bukan saja merusak pribadi dan keluarga kita, tapi dapat merusak masa depan bangsa Aceh. Karena efek negatif berbagai narkoba, seperti ganja, kokain, sabu-sabu, morfin, heroin, dan sejenisnya akan menghilangkan satu generasi emas bagi Aceh. Akibatnya, rumah sakit jiwa penuh dengan pasien akibat narkoba. Dan semua kita akan rugi, terutama dari segi sosial, kesehatan dan keagamaan.
* Mukhlisuddin Ilyas, Mahasiswa Program Doktoral Universitas Negeri Medan (Unimed).
Email: mukhlisuddin.ilyas@gmail.com