Makhtutat tafsir Al Muharrar Al Wajiz karya Imam Ibnu Athiyyah |
Jaman dulu, buku ditulis di atas kertas seadanya, dengan tinta seadanya, dan pastinya penerangan seadanya, belum ada mesik ketik, belum ada percetakan dan belum ada listrik. Naskah asli yang ditulis Ulama Muslim dan Non Muslim pada masa kejayaan Islam itu yang kerap disebut “makhtutat” atau manuskrip, tersimpan di perpustakaan-perpustakaan besar, seperti di perpustakaan Nasional Damascus, perpustakaan Alexandria Mesir, perustakaan Madinah, Mekkah dan Riyadh, perpustakaan nasional Baghdad, perpustakaan Islam Istanbul dan lainnya, termasuk Lieden, Sorbone dan Oxford.
Penulis menulis naskahnya dan menitipkan naskah itu kepada nassakh alias tukang tulis ulang, kalau sekarang disebut percetakan. Nah, nassakh itu menulis kembali sesuai pesanan penulis, ditulis dan dijilid seperti buku. Karena nassakh itu adalah pekerja, yang bisa jadi tidak mengerti ilmu, yang hanya bisa menyalin apa yang tertulis di dalam naskah, dia tidak tahu kebenaran isi naskah tersebut, makanya terkadang ada kesalahan, bisa jadi huruf “Zal” ketinggalan titiknya, jadi “Ra”, “Sin” kelebihan titik jadi “Syin”, atau terkadang saking banyaknya orderan, sehingga dia kecapean, dan terkadang “La Yasihhu” tertulis di naskah, malah dia kelewatan menulis “La”, sehingga jadi “Yasihhu”.
Sehingga timbullah sebuah disiplin ilmu baru, yaitu ilmu “tahqiq makhtutat”, biasa disebut Filologi, sering didefinisikan sebagai studi tentang teks-teks sastra dan catatan tertulis, penetapan dari keotentikannya dan keaslian dari pembentukannya dan penentuan maknanya. Filologi juga merupakan ilmu yang mempelajari naskah-naskah manuskrip. Karena manuskrip seringkali sulit untuk dipahami, tidak karena bahasanya yang sulit, tetapi karena naskah manuskrip disalin berulang-ulang kali. Dengan begini, naskah-naskah banyak yang memuat kesalahan-kesalahan.
Tugas seorang filolog, nama untuk ahli filologi, ialah meneliti naskah-naskah ini, membuat laporan tentang keadaan naskah-naskah ini, dan menyunting teks yang ada di dalamnya. Ilmu filologi biasanya berdampingan dengan paleografi, atau ilmu tentang tulisan pada masa lampau.
Halaman mahktutat yang sudah ditulis sekarang |
Di zaman yang serba kekurangan itu, artinya kekurangan sarana yang mendukung seseorang menulis, banyak lahir penulis-penulis yang karyanya masih dipakai sampai hari ini. Qanun Fi Tib karya Ibnu Sina itu masih dipakai di Oxford sebagai rujukan utama fakultas kedokteran sampai abad 17. Hugo Grotius, pakar Hukum Internasional asal bealanda yang meninggal 28 agustus 1645, yang dikenal sebagai “Bapak Ilmu Hukum Internasional”, sembunyi-sembunyi ternyata menjiplak isi teori “Alaqah Duwaliyah” alam buku “Siyar Kabir” karya imam Muhammad bin Hasan Shaibany ( wafat tahun 805 M), seorang murid Imam Abu Hanifah, yang menajdi ilmuwan besar pada masa dynasty Abbasiyah di Baghdad. Beliau merupakan peletak dasar teori Hukum Internasional. Kalau tidak percaya bisa dibuka dan bandingkan antara karya Imam Shaibany dengan karya Grotius.
Selain itu, banyak cerita di balik buku-buku itu, bagaimana mereka menulisnya, kenapa mereka menulisnya, dan bagaimana kondisi mereka.
Tafsir Mafatihul Ghaib, Imam Fakhruddin Arrazy. Tafsir paling “heboh” dan paling lengkap. Kalau memang Quran berisi prinsip-prinsip utama ilmu pengetahuan, baik ilmu pasti maupun ilmu sosial, maka Imam Razy telah menafsirkan Quran dalam berbagai disiplin ilmu. Saat menafsirkan sebuah ayat, “kemana-mana” beliau menafsirkan, saking banyaknya Ilmu di kepala beliau akhirnya semua disiplin ilmu masuk ke dalamnya. Saking luasnya pembahasan tafsir itu, sampai hari ini belum ada yang mampu “mentahqiq” tafsir itu secara sempurna, karena untuk “mentahqiq” buku itu tidak hanya butuh seorang pakar ilmu tafsir, fiqih, hadis, tetapi butuh juga dokter, filosof, bahkan astronomi. Beliau meninggal sebelum menamatkan tafsirnya, dan diteruskan sisanya oleh ulama lain.
Tafsir Jalain, karya Imam Jalaluddin Mahally (791-864 H) dan imam Jalauddin Suyuty (849-911 H). Imam Mahally memulai tafsirnya dari awal surat Al Kahfi sampai akhir Quran surat An Nas, kemudian beliau mulai menafsirkan surat Al Fatehah, sayangnya setelah menyelesaikan tafsir Al Fateha beliau meninggal dunia, akhirnya datang Imam Suyuty melanjutkan tafsir itu dari surat AL Baqarah dan berakhir di surat Al Isra. Sempurnalah tafsir quran itu di tangan dua Jalaluddin, sehingga tafsir ini terkenal dengan sebutan Tafsir Jalalain (Dua Jalal).
Dulu, ketika Imam Malik menulis kitabnya Al Muwatta, ternyata ada Muawatta lain yang tersebar, dan beliau member nama Muwatta bukan karena ada kitab Muwatta lain, tapi karena karya beliau sudah diperlihatkan kepada Ulama-ulama hadis di Madinah, dan ulama-ulama itu sepakat bahwa kitab itu bagus, makanya diberi nama Al Muwatta yang artinya yang disetujui. Dalam sebuah riwayat dikatakan, bahwa saat menulis kitab itu Imam Malik berkata, “Kalau memang aku menulisnya ikhlas hanya berharap ridha Allah, maka kamu akan menyaksikan kitab ini akan terjaga dan bermanfaat sepanjang masa”,Rahimakallah ya Imam Daril Hijrah, sampai hari ini kitabmu masih dimanfaatkan umat Muhammad, dan menjadi rujukan utama pengikut mazhab Maliki di dunia.
Zaadul Ma’ad fi Hadyi Khairil Ibad, karya Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, ensiklopedia luar biasa, yang awalnya ingin dijadikan rujukan Fiqih Mazhab Hanbali, tapi ketika buku itu selesai ditulis, malah dianggap rujukan utama Sirah Nabawiyyah bahkan Fiqih Sirah Nabawiyyah. Dalam buku ini, Imam Ibnu Qayyim menjelaskan tentang kehidupan Rasulullah dan mengeluarkan hukum fiqih dari setiap fase dan kejadian dalam hidup Rasulullah, beliau juga memaparkan status hadis-hadis yang ada dalam buku itu, dan masih banyak ilmu lain yang bisa didapatkan dalam buku ini. Ini salah satu buku yang dikarang dengan metode “luar biasa”. Anehnya, buku ini ditulis oleh sang Imam dalam perjalanan beliau ke tanah suci, perjalanan dari Damascus menuju Mekkah, sebagaimana yang beliau utarakan sendiri dalam pendahuluan buku ini. Kalau melihat isi buku ini, bisa dipastikan penulisnya menulis sedang duduk di dalam sebuah perpustakaan besar dan lengkap, tapi tenryata beliau menulisnya di atas punggung unta. Terbitan paling bagus dalam 5 jilid besar, terbitan Arrisalah Damascus.
Al Mabsuth, karya Imam Muhammad Abu Bakar Sarkhasy (wafat 1062), salah satu rujukan utama Fiqih dalam mazhab Imam Abu Hanifah, dalam buku ini Imam Sarkhasy memamparkan tentang Fiqih Hanafi dengan sangat luas, dan kemudian membandingkan pendapat-pendapat itu dengan mazhab-mazhab lain. Hari ini buku itu diterbitkan dalam 12 jilid besar. Buku itu didikte oleh Imam Sarkhasy saat beliau berada dalam sumur, beliau mendikte dan muridnya menulis dari atas di luar sumur. Beliau dihukum dengan hukuman penjara dalam sumur karena mengkritik Pemerintah Khurasan saat itu. lagi-lagi kalau membaca Mabsuth itu pasti kita berpikiran penulisnya menulis dalam ruangan yang dipenuhi referensi dengan AC 24 jam dan pastinya ada kopi panas yang selalu menemani.
Badai Shanai fi Tartib Syara’i, karya Imam Alauddin Abu Bakar Cassany (wafat 1166). Buku ini juga salah satu rujukan utama dalam mazhab Hanafi, meskipun dia lebih cenderung diklasifikasikan dalam rujukan Fiqih Komparatif. Imam Cassany belajar pada Imam Samarkandy, dan Imam Samarkandy memilik seorang anak gadis cantik dan sholehah. Banyak Pangeran-pangeran dari Romawi datang melamarnya, tapi semua ditolak, akhirnya anak gadis ini dinikahkan dengan muridnya, yaitu Imam Cassany, pemuda cerdas dari Aleppo. Dan buku Bada’i Shana’i inilah sebagai mahar pernikahan mulia itu. saat ini buku tersebut diterbitkan dalam 8 jilid besar. Merupakan salah satu kekayaan ilmiah Umat yang luar biasa, buku yang ditulis atas nama cinta, masih tersisa manfaatnya hingga hari ini.
8 jilid besar tafsir Ibnu Athiyyah |
Al Kharaj, karya Qadhy Qudhat Imam Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah. Buku itu ditulis sebagai rujukan undang-undang Keuangan Negara pada masa Dinasty Abbasiyah, buku itulah pedoman ekonomi Pemerintah saat itu. Ketika Imam Abu Yusuf menjadi Ketua Mahkamah Agung, beliau memiliki legalitas memilih Hakim-hakim di seluruh wilayah kekuasaan dynasty Abbasiyah yang terbentang dari Maroko sampai ke China. Beliau memilih mayoritas Hakim dari mazhab Hanafi, sehingga mungkin itu salah satu sebab kenapa di India, China, Sham, Iraq dan Turki sampai hari ini masih memakai mazhab Hanafi sebagai mazhab Negara.
Beberapa karya sheikhul Islam Imam Ibnu Taimiyyah juga ditulis di balik terali besi di benteng Old Damascus. Imam Turmudzi atau Tirmizi yang terkenal dengan Sunan Tirmizi, mengumpulkan dan menulis hadis Rasulullah sampai matanya buta. Kalau kita banyak matanya yang minus karena kebanyakan main game atau internetan. Hasbunallah…
Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka yang telah meninggal dan meninggalkan “tumpukan” ilmu kepada kita…Rahimahullah.
Penulis; Saief Alemdar