Sesaat setelah perang Diponegoro berakhir dengan tipu daya licik Belanda, para pengikut pengaran Diponegoro pun melarikan diri ke Gunung-gunung. Bukan lari karena takut atau pengecut, tapi mereka menyadari sepenuhnya, tidak mungkin melawan Belanda dalam kondisi saat itu. Maka itu mereka mendirikan padepokan-padepokan di gunung-gunung itu. Padepokan itu, untuk menghindari kecurigaan Belanda maka di namakan PESANTREN.
Dari pesantren itulah, mereka mengajar para pemuda untuk menyelami agama, melatih mereka untuk mandiri, mendidik mereka ilmu bela diri, memahamkan mereka dengan ilmu tauhid murni yang hanya akan tunduk kepada Allah. Mereka dididik dengan Panca Jiwa Muslim yg ternyata secara tidak langsung menjiwai ruh pesantren-pesantren di Indonesia, bukan cuma milik Gontor atau Pesantren Alumni Gontor saja. Karena di gembleng oleh kerasnya pertempuran demi pertempuran, maka rumusan Ruh Muslim inipun nampak penuh dengan nilai-nilai perjuangan :
1. Keikhlasan
Orang berjuang itu harus ikhlas. Kita berjuang dan bukan sekedar bekerja. Berjuang itu give and give, bukan take and give, atau na’udzubillah take and take. Berjuang itu standarnya Allah, bukan persepsi orang, bukan pula nominal keduniaan. Berjuang itu tanpa tedeng aling-aling…lillah…kalau orientasi ikhlas ini hilang, maka namanya jelas bukan lagi perjuangan tapi penghambaan kepada dunia.
Maka Ruh Ikhlas ini ditanamkan di hati setiap anak muda yg belajar di Pesantren. Dipraktekkan bukan hanya diteorikan. Kyai ikhkas berjuang sanpai dirinya ikhlas tidak dikenal orang melebihi pondoknya. Santri ikhlas berjuang sehingga rela mengerjakan apa saja tanpa di bayar, orang tua Ikhlas melepas putera-puterinya dengan doa. Keikhlasan adalah ruh pesantren yg utama. Dan ini adalah modal perjuangan, tanpa ikhlas jangan harap ada perjuangan
2. Kesederhanaan
Pemuda-pemuda itu diajari hidup sederhana. Bukan diajari hidup miskin. Tapi sederhana. Artinya bisa hidup menyesuaikan dengan kebutihannya, bukan keinginannya. Sederhana yg akan membuat mereka mampu hidup di kota juga bertahan di hutan. Kesederhanaan yg mampu membuat mereka hidup ditengah-tengah masyarakat ramai, juga mampu hidup ditengah-tengah masyarakat yg sunyi. Kesederhanaan yg akan membuat perjuangan terasa jauh lebih ringan karena tidak tergantung perlatan tertentu.
Dengan Ruh inilah, para santri, pra pemuda itu dididik untuk tidak mudah lalai kepada kecanggihan tekhnologi yg akan memperbudak mereka. Mereka dilatih memahami tekhnologi itu, dan bukan jatuh dalam canggihnya tekhnologi lalu tenggelam tanpa bisa berkontribusi. Kesederhanaan justru akan bisa membuat kita seperti pilot, yg mampu menggerakkan pesawat kemanapun kita mau, dan bukan seperti anak yg menerbangkan layang-layang, ketika dia bertepuk tangan layang-layangnya sudah terbang tinggi memembus awan, tanoa sadar kalau dia sendiri masih berada di ujung landasan.
3. Kemandirian
Mandiri artinya melakukan sesuatu itu sendiri. Self Help (menolong diri sendiri) Ruh ini yg selanjutnya di sampaikan di Pesantren. Kemandirian yg akan menolong mereka dan ketergantungan keoada bangsa lain. Kepada kebijakan bangsa lain yg kita butuhkan produknya, kemandirian yg bisa membuat kita bisa berteriak “Go to Hell with your aid USA.. we are in Rich with natural resources anda human resources ” (Bung Karno 1965)
Mandiri artinya percaya dengan kekuatan diri sendiri. Kepercayaan diri inilah yg kelak dibuktikan dengan uletnya TNI dalam melaksanakan instruksi gerilya panglima besar Sudirman. Sehingga Belanda harus angkat kaki selamanya dari bumi Indonesia. Kemandirian yg di bisikkan lewat lantunan ayat-ayat suci dan dendang sholawat di setiap keremangan malam. Yang tanpa di sadari Belanda, di sanalah benih-benih perjuangan itu ditancapkan
4. Ukhuwah islamiyah
Tidak akan ada kata Merdeka sebelum rasa terjalin untuk bisa bersatu. Berukhuwah, bersaudara, saling memiliki, saling melindungi, saling mempercayai, saling membantu, dan saling mencintai anatar sesama Muslim. Para santri itu diajarkan pentingnya menjaga ukhuwah ini. Agar mereka faham, bahwa bagaimanapun keras dan terjalnya perjuangan ini, tidak akan terwujud tanpa adanya ukhuwah islamiyyah yg kokoh. Inilah ajaran pesantren itu, inilah pendidikan pesantren itu, yg dimulai kakek-kakek kami bernjak remaja, sampai kepada kami saat ini. Ukhuwah Islamiyah adalah ajakan…dia harus dilaksanakan….
5. Kemerdekaan.
Inilah manifestasi tauhid yg diajarjan dipesantren. Bahwa saya tidak akan tunduk kecuali kepada Allah, bahwa saya tidak mengikuti perintah siapapun kecuali perintah Allah, bahwa saya tidak akan meninggalkan hal apapun, kecuali hal itu dilarang oleh Allah, saya tidak akan menghamba kecuali kepada Allah…manifestasi tauhid inilah yg merupakan tolak ukur kemerdekaan yg hakiki.
Bukan kemerdekaan semu, yg lepas dari penjajahan tapi menyerahkan sebagian tanah negeri ini kepada asing, bukan pula kemerdekaan seperti PKI yg menyatakan semua harus dibagi rata. Bukan pula seperti kemerdekaan kaplitalis dimana pemilik modal yg akan menang. Tapi kemerdekaan ilahiyyah…dan inilah kemerdekaan tertingi..
Kalau ruh pesantren saja segagah ini mempersiapkan para kader bangsa ini, maka pantaskah mencurigai nasioanlisme lulusan pesantren? Kalau seandainya kekuatan ruhiyah tauidiyyah ini sebegitu dalamnya di tanamkan di benak para santri, pantaskah alumni pesantren di curigai?? Kalau jiwa-jiwa lepas dari penjajahn itu begitu terpatri dalam darah danbjiwa kami, pantaskah kami di tuduh teroris dan dimusuhi??
Sebab tanpa doa para Kyai dan tanpa ribuan nyawa para santri…entah kapan negeri ini menyebutkan kata “MERDEKA”