Saya memandang masjid Gontor ini, lalu fikiran saya terbang di awal-awal berdirinya masjid ini. Dulunya masjid ini akan dibikin menampung 4000-4500 santri… Cukup besar waktu itu, saat dimana Gontor belum seterkenal sekarang. Santrinya masih 1000-1500 orang. Tapi pandangan waskita kh ahmad sahal mewanti – wanti.
“besarkan dan luaskan masjidnya, sampai menampung 4000 sampai 4500 santri!”
Semua terkejut 4500 santri bukan jumlah yg sedikit. Santri darimana 4500 jumlahnya? Gontor baru saja kehilangan santri kurang lebih 1500 santri di peristiwa 19 maret 1967. Lha 4500 santri ini darimana?? Tapi kyai sahal dan kyai zarkasyi sudah berkata, Gontor kelak akan membesar, sehingga masjid ini membutuhkan tempat yang lebih besar dan luas.
Masya Allah, ucapan beliau berdua menembus zaman, sekarang santri gontor bukan cuma 4500 santri, tapi banyak menembus 28.000 santri di seluruh Indonesia. Dan apa yang di khawatirkan orang bahwa Gontor hanya akan “tabdzir” dengan pendirian masjid gontor justru saat ini berasa kurang.
Saya juga dulu merasa berfikir trimuti itu mungkin agak berlebihan, apa hebatnya mewakafkan tanah untuk pondok. Kan diberikan tanggung jawabnya kepada putera-putera mereka.
Ternyata lagi-lagi saya dibuat kagum dengan fikiran futuristik mereka, bahwa kelak gontor akan besar, dan putra-putera mereka kelak juga akan jadi ayah dan jadi kakek. Gontor suatu saat akan menjadi sumber ekonomi yang besarnya tidak terkira.
Disitulah kemungkinan untuk rebutan kekuasaan bisa saja terjadi. Karena semua merasa bapak atau kakeknyalah yang paling berjasa. Lalu mengaku paling layak menerima tampuk kuasa gontor.
Ini yang ingin dicegah trimurti, pondok ini harus memberi banyak manfaat, tanpa harus tahu dari siapa manfaat itu diberikan. Toh saat ini trimurti tengah menikmati jariyah yang mereka tanam dulu, tanpa ingin sedikitpun di ganggu masalah dunia yg mengitarinya. Allahu Akbar futuristik sekali.
Tahukah antum bahwa dulu ketika penanda tanganan wakaf oleh trimurti kepada badan wakaf. Tertera sebuah pengecualian, bahwa yang diwakafkan itu tanah kecuali pohon yang diambil buahnya.
Bisa jadi, kita beranggapan itu karena pohonnya akan di jadikan biaya trimurti untuk putra-putrinya. Tapi jawaban pak Sahal ketika ditanya tentang hal ini sangat menarik.
“…kalau misalkan pohon yang berbuah itu ikut diwakafkan, lalu nanti santri-santri ada yang mengambil buah itu cari ridho-nya pasti susah karena pondok ini milik umat, maka itu pohon-pohon itu tidak kami wakafkan, jadi kalau para santri mengambil minta ridho-nya mudah, minta maafnya mudah, bahkan sebelum mereka mengambil sudah kami ridhoi, sudah kami maafkan…”
Indah bukan? Ingatkah antum pohon mangga, jambu, asem, dan kelapa yang ada di gontor yang selama ini mungkin sering kita ambil buahnya, ternyata sudah di ikhlaskan oleh Kyai sahal. Futuristik sekali bukan?
Beliau juga yang sering nembang (menyanyi dalam bahasa jawa) gontor itu gedhe, latere tekan celebes” (Gontor kelak membesar, halamannya sampai celebes/sulawesi). Futuristis sekali lagi. Waktu kalimat itu muncul keadaan Gontor belumlah seperti sekarang.
Gontor masih serba kekurangan. Tapi memang pandangan kyai beda dengan pandangan kita orang biasa. Sekarang gontor berdiri dengan gagah di sulawesi.
Jadi pandangan waskita seorang kyai itu, taatilah. Bukan untuk di debat apalagi di tentang..