Membicarakan tema diatas untuk saat ini sangat sensitif, karena cenderung dikaitkan dengan kasus ucapan seorang tokoh yang diidolakan banyak orang, yang dinilai tidak pantas, yang merespon penghinaan seorang selebritis terhadap dirinya.
Karena ia seorang public figur dan tokoh yang sepak terjangnya tidak diragukan, tentu ada pihak yang sangat fanatik dan ada pihak yang sangat antipati.
Pihak yang sangat fanatik cenderung mencari pembenaran terhadap apapun yang muncul dari tokoh idolanya seolah-olah ia seorang yang maksum. Sebaliknya, pihak yang sangat antipati cenderung membesar-besarkan sebuah kesalahan yang lebih tepat disebut kekhilafan. Seolah, dengan satu kekhilafan itu seluruh kebaikannya patut dibumi-hanguskan dan dicampakkan begitu saja.
Tidak hanya terkait dengan kasus di atas, tema tentang ini juga sensitif dibicarakan karena ada sementara orang yang berpandangan bahwa kalau terlalu mengedepankan sisi kelemah-lembutan, kasih-sayang, memaafkan, toleransi dan sebagainya, hanya akan memberikan kesan bahwa agama ini ‘lembek’, ‘cemen’, dan tidak punya ketegasan.
Sebaliknya, sebagian orang ada yang begitu getol menyuarakan Islam yang rahmatan lil ‘alamin lalu mengabaikan sisi-sisi ketegasan dalam agama yang universal ini. Bahkan, tak sedikit yang mendasarkan itu pada hadits-hadits yang tidak jelas sumbernya untuk menguatkan pandangan mereka bahwa Nabi adalah sosok yang lembut dan penyayang pada siapapun, termasuk pada Yahudi dan Nasrani.
Namun demikian, tema ini tetap perlu dibicarakan karena ia menyangkut persepsi kita tentang Islam yang kita banggakan dan sosok Nabi yang kita cintai. Kita coba bahas seobjektif mungkin, jauh dari tendensius terhadap lembaga dan sosok manapun, dengan menyajikan argumentasi yang kita nilai layak menjadi pertimbangan. Setelah itu, siapa yang puas (iqna’) dengan argumentasi tersebut silahkan pakai, dan siapa yang tidak puas ia berhak untuk menolaknya. كل امرئ حجيج نفسه
Sejujurnya, yang membuat saya tergerak untuk menulis ini adalah sebuah tulisan yang memaparkan bahwa ungkapan yang merendahkan seseorang (secara khusus tulisan itu menyebut ungkapan HRS terhadap NM) bisa dipahami dan layak diberi uzur (dibenarkan) karena sahabat Nabi sendiri; Abu Bakar ash-Shiddiq رضي الله عنه pernah melontarkan kata-kata ‘jorok’ kepada Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi, dan itu diucapkan di hadapan Rasulullah ﷺ dan Rasul hanya diam. Ini artinya Rasul membolehkan hal itu, atau yang disebut dengan taqrir.
Ungkapan yang dimaksud adalah perkataan Abu Bakar terhadap Urwah bin Mas’ud:
امصص ببظر اللات
Kata ‘bazhr’ artinya kemaluan wanita. Tapi dalam kalimat ini digunakan untuk al-Lat; sembahan kaum musyrikin. Kalimat ini memang sangat kotor, dan itu diucapkan oleh sosok yang terkenal dengan kelemah-lembutannya; Abu Bakar ash-Shiddiq. Berarti tak salah kalau ada tokoh yang mengeluarkan kata-kata kotor, apalagi terhadap seorang pelaku maksiat, berdasarkan perkataan Abu Baar ini.
Dalam pandangan saya, ini sesuatu yang fatal. Ketika satu riwayat yang terkait dengan kondisi tertentu dan memiliki latarbelakang tertentu (Hudaibiyyah) dijadikan sebagai dalil dan pembenaran untuk sesuatu yang tidak baik.
Abu Bakar ash-Shiddiq mengucapkan hal itu dalam situasi dan kondisi dimana antara kaum muslimin dan orang-orang Quraisy terjadi peperangan. Abu Bakar sangat emosi mendengar ucapan Urwah bin Mas’ud yang menuduh para sahabat orang-orang rendahan dan hina yang akan meninggalkan Nabi sendirian berperang.
Di samping itu, hal seperti ini disebut dengan waqi’atu ‘ain atau kasuistik yang statusnya tidak bisa digeneralisir (لا عموم له). Bagaimana mungkin sesuatu yang bersifat kasuistik dan punya latar belakang yang berbeda dengan kasus HRS dijadikan sebagai dalil untuk membenarkan sebuah kesalahan?
Ternyata bukan hanya ungkapan Abu Bakar ash-Shiddiq, sebagian orang bahkan menjadikan hadits Rasulullah ﷺ sebagai dasar untuk membolehkan berkata kotor. Hadits yang dimaksud adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad, Bukhari dalam Adab Mufrad dan lain-lain :
من تعزى بعزى الجاهلية فأعضوه بهن أبيه ولا تكنوا
“Siapa yang berintisab dengan nasab jahiliyah maka ‘gigit’ ia dengan (mengatakan) hani bapakmu.. dan jangan pakai kata kiasan.”
Kata ‘hani’ artinya adalah kemaluan laki-laki. Hadits ini secara tegas membolehkan, bahkan memerintahkan, untuk mengatakan kalimat kotor ini pada orang yang berintisab dengan nasab jahiliah. Sebagai catatan, berintisab dengan nasab jahiliyah berarti kafir kepada Islam. Jadi ini bukan sesuatu yang sepele.
Tapi, bagaimana status hadits ini? Syekh Syu’aib al-Arnauth mengatakan hadits ini hasan. Syekh Albani mengatakan hadits ini shahih kalau seandainya Hasan al-Bashri mendengar hadits ini dari ‘Utaiy bin Dhamrah, karena Hasan adalah seorang mudallis dan dalam hadits ini ia menggunakan lafaz ‘an. ‘Utaiy bin Dhamrah sendiri tidak disepakati ulama ketsiqahannya. Ibnu Sa’ad dan Ibnu Hibban mengatakannya tsiqah. Tapi Ali bin al-Madini mengatakannya majhul (lihat Tahdzib Tahdzib karya Ibnu Hajar).
Syekh Utsman al-Khamis, seorang tokoh salafi saat ini, secara tegas mengatakan kalau hadits ini tidak shahih. Ia mengatakan, tidak mungkin Nabi mengatakan hal itu.
Terlepas dari kedua riwayat di atas; satu tentang ungkapan Abu Bakar ash-Shiddiq dan satu lagi hadits yang dinisbahkan kepada Rasulullah ﷺ, pertanyaan yang perlu dilontarkan adalah kenapa kita abaikan sekian banyak ayat dan hadits yang memerintahkan kita untuk berkata baik dan membalas keburukan dengan kebaikan?
Allah سبحانه وتعالى berfirman :
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا (البقرة : 83)
“Dan katakan pada manusia (perkataan) yang baik…”
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (آل عمران 134)
“… dan orang-orang yang menahan amarah dan memaafkan manusia, dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.”
Dalam hadits yang masyhur diriwayatkan bahwa sekelompok Yahudi datang menemui Rasulullah ﷺ. Mereka berkata: “as-saamu alaikum…” Kata as-saamu berarti racun atau kebinasaan. Rasul hanya menjawab: “wa ‘alaikum…”.
Sayyidah Aisyah yang mendengar hal itu dan menangkap apa yang mereka maksudkan, membalas: “Untuk kalian kebinasaan dan kutukan.”
Dalam riwayat Imam Ahmad, Sayyidah Aisyah berkata:
السام عليكم يا إخوان القردة والخنازير ولعنة الله وغضبه
“Kebinasaan untuk kalian wahai saudara kera dan babi, dan kutukan serta murka Allah.”
Mendengar hal itu, Rasulullah ﷺ bersabda: “Tahan wahai Aisyah. Engkau mesti bersikap lembut. Jangan bersikap kasar atau berkata kotor.” Aisyah berkata, “Ya Rasulullah, tidakkah engkau dengar apa kata mereka tadi?” Rasul bersabda: “Tidakkah engkau dengar juga apa balasanku pada mereka? Aku sudah katakan, “wa ‘alaikum…” (artinya: dan untuk kalian juga, tapi Nabi tidak mau mengatakan kata-kata yang kotor itu, dan mencukupkan saja dengan kata: wa ‘alaikum).
Setelah itu Rasul memberikan nasehat yang sangat berharga kepada isteri tercintanya:
يا عائشة، لم يدخل الرفق في شيء إلا زانه، ولم ينزع من شيء إلا شانه
“Hai Aisyah, tidaklah kelemah-lembutan ada pada sesuatu kecuali sesuatu itu akan terlihat indah, dan tidaklah ia dicabut dari sesuatu kecuali sesuatu itu akan jadi buruk.”
Jangankan untuk membalas orang-orang yang berkata kotor kepadanya, untuk mengajarkan ilmu pun Rasulullah sangat menjaga lisannya, karena beliau memang seorang yang sangat pemalu.
Suatu ketika ada seorang wanita Anshar datang menemui Nabi dan bertanya, “Bagaimana caranya aku mandi (bersuci) setelah haid?” Nabi bersabda: “Ambil secarik kain yang wangi lalu berwudhuklah tiga kali.” Wanita itu tampaknya belum paham, karena keterangan Nabi sangat global. Tapi Nabi malu untuk melanjutkan dan merincikannya lebih jauh. Sayyidah Aisyah yang melihat hal itu segera menarik tangan wanita itu dan mengajaknya ke belakang lalu diterangkannya bagaimana cara bersuci setelah haidh.
Dalam banyak hadits juga dijelaskan bahwa ketika Nabi ingin mengingkari perbuatan salah dari sahabatnya, ia akan naik mimbar dan berpidato lalu berkata:
ما بال أقوام يفعلون كذا وكذا
“Kenapa ada orang yang melakukan begini dan begini…” tanpa menyebutkan sosok yang beliau maksud.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Bukhari dalam Adab Mufrad (dishahihkan oleh Syekh Albani), Rasulullah ﷺ bersabda:
ليس المؤمن بالطعان ولا اللعان ولا الفاحش ولا البذيء
“Seorang mukmin bukanlah orang yang suka menuduh, mengutuk, berkata kotor dan kasar.”
☆☆☆
Lalu apakah ini berarti bahwa Nabi tidak pernah bersikap tegas? Tentu saja. Karena Islam mengajarkan keseimbangan. Tapi segala sesuatu mesti ditempatkan pada posisinya yang tepat. Bersikap lembut dalam situasi yang menuntut keras jelas sebuah kelemahan.
Allah سبحانه وتعالى berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ … (التوبة 73)
“Wahai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan munafik dan keraslah terhadap mereka…”
Lebih tegas lagi, Allah سبحانه وتعالى berfirman:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ … (الفتح 29)
“Muhammad itu utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya tegas terhadap orang kafir dan saling menyayangi sesama mereka…”
Hanya yang perlu menjadi catatan adalah bersikap tegas bukan berarti berkata kasar, apalagi berkata kotor. Tegas artinya jelas, pasti, tidak main-main dan tidak pandang bulu.
Dalam kehidupan sehari-hari kita melihat ada orang yang bersikap tegas tapi kata-katanya sangat lembut. Sebaliknya ada orang yang kata-kata kasar tapi sesungguhnya ia seorang yang lembek dan tidak berprinsip. Jadi, tidak ada talazum antara berkata lembut dengan sikap lembek, antara bersikap tegas dengan berkata kasar.
Tidak ada yang aneh ketika seorang tokoh, meskipun ia seorang ulama besar dan keturunan Rasulullah, melakukan suatu kesalahan atau kekhilafan. Itu bukti bahwa ia manusia biasa, bukan nabi apalagi malaikat. Maka tidak perlu mencari berbagai pembenaran, apalagi menggunakan riwayat-riwayat yang sebagian perlu diteliti kembali keshahihannya dan sebagian lagi bersifat kasuistik.
Namun demikian, satu atau beberapa kesalahan yang dilakukannya tidak boleh membuat kita melupakan sekian banyak kebaikan, jasa dan kelebihan yang dimilikinya. Apalagi kalau sesungguhnya kesalahan atau kekhilafan itu lebih bersifat responsif.
Tak salah kalau kita ulang-ulang syair lama yang selalu relevan ini :
وَعَيْنُ الرِّضَا عَنْ كُلِّ عَيْبٍ كَلِيْلَةٌ وَلَكِنَّ عَيْنَ السُّخْطِ تُبْدِي الْمَسَاوِيَا
Pandangan suka, terhadap sekalian aib menjadi buta
Pandangan benci menampakkan segala yang salah
☆☆☆
Ada yang bertanya, apakah salah menyebut seseorang dengan sesuatu yang memang dilakukannya? Apakah batu akan berubah menjadi emas kalau ia disebut emas? Berarti tak ada salahnya menyebut sesuatu sesuai dengan kenyataannya.
Memang, penghalusan istilah terhadap sebuah maksiat bisa berdampak pada berkurangnya rasa kebencian (an-nufur) terhadap maksiat itu, padahal mau disebut koruptor atau disebut maling hakikatnya tetap sama yaitu mengambil harta yang bukan haknya.
Benar bahwa sesuatu mesti disebut sesuai dengan kenyataannya. Akan tetapi dengan syarat tidak dalam konteks merendahkan, apalagi menghina.
Dikisahkan, suatu ketika Imam Tajuddin as-Subki, saat masih remaja, melihat seekor anjing masuk ke rumahnya. Ia pun menghardik anjing itu dan berkata:
يا كلب ابن الكلب
Mendengar hal itu, sang ayah; Imam Taqiyyudin as-Subki menegurnya. Tajuddin berkilah: “Bukankah ia memang seekor anjing? Saya tidak mengatakan sesuatu yang bohong.” Sang ayah berkata, “Boleh mengatakan demikian jika tidak ada kesan menghina dan merendahkan.”
اللهم ارزقنا الإنصاف
Penulis: Ust. Yendri Junaidi