Ketika kita menikmati sepak bola, pernahkah terfikir dalam benak kita bagaimana permainan sepak bola itu menjadi sedemikian menarik dimata penghuni jagad? Atau mungkin ada yang bertanya-tanya juga, bagaimana otak kreatif para santri itu terus menerus bekerja dan selalu menghasilkan hal yang baru di acara Panggung Gembira atau Apel tahunan Pondok Gontor? Atau pernahkah kita mengagumi perpustakaan Alhambra di Spanyol dengan segala keindahan arsitektur yang menakjubkan di dalamnya?
Jawabannya menurut saya adalah : Karena adanya Larangan di dalamnya, karena ada aturan, karena ada dispilin yng membatasi.
Dalam sepak bola misalnya, ada larangan menyentuh bola dengan tangan. Tidak boleh bola melampaui garis edar lapangan. Tidak boleh pemain depan melebihi pemain belakang lawan kecuali jika bola bergerak lebih dulu.
Ada jarak antara penendang bebas dengan pagar betus lawan, dan beberapa aturan lain yang nampak sepertinya membatasi. Tapi lihatlah sepak bola itu, seorang Lionel Messi bisa bergerak dengan mengagumkan dengan menggocek bola di kakinay dari tengah lapangan samapi depan gawang, atau bagaimana cantikanya seorang Cristiano Ronalo menendang sebuah tendangan bebas berkelas.
Kenapa gol-gol yang dibuat nampak begitu indah? Karena para pemain itu berhasil melewati sekian aturan baku sepak bola, plus melewati puluhan pemain lalu mencetak gol dengan indahnya. Sehingga seluruh stadion bergemuruh, penonton bertepuk tangan, kagum, lalu tersenyum lebar dengan serangkai pujian.
Coba bandingkan dengan American Football.
Bola bahkan bisa diambil tangan, dibawa berlari ke gawang lalu “mencetak gol” dengan cara menjatuhkan diri. Kenapa hal itu kita lihat sebagai sesuatu yang membosankan? Yup, karena boleh dibilang “tidak ada” aturannya. Maka hilangnya seni sepak bola itu.
Semua orang bisa melakukannya, karena bebasnya aturan didalamnya. Bebas menabrak orang, bebas menarik baju lawan, bebas mengganjal lawan, semuanya boleh, maka sepak bola pun menurut saya kehilangan seninya.
Demikian pula santri Gontor. Mereka hidup dari satu larangan ke larangan yang lain, dari disiplin ke disiplin yang lain, setiap hari Jumat harus mendengar pengumuman dilarang ini dan dilarang itu. Dalam pertunjukan juga melewati sedemikian banyak aturan yang disesuaikan dengan iklim pendidikan dan suasana pendidikan pesantren Gontor.
Umpanya dilarang memakai baju kewanita-wanitaan, dilarang bernyanyi dengan irama keras, dilarang menyindir Guru dalam pertunjukan siswa, dilarang ada umpatan atau kata-kata kotor meskipun dengan maksud membuat orang tertawa. Dan sederet larangan lain.
Tapi itulah titik letak otak kreatif santri gontor. Maka lahirlah lagu-lagu berirama sederhana yang justru asyik dinikmati hadirin dari berbagai usia. Puisi mengalir dengan indahnya, tanpa harus menyindir pribadi-pribadi pesantren.
Baju yang dikenakan dikemas sedemikian manerik meskipun awalnya dari ide sederhana (Saya ingat, dulu ketika saya pertunjukan di BPPM, angkatan saya memakai plastik kresek sebagai pengganti rompi warna hitam yang tidak bisa kami dapatkan).
Canda kami mengalir dengan tawa ceria ditengah sederetan aturan kepada kami di arena pertunjukan. Adanya acara baru disetiap tahun, dan tidak pernah ada habisnya adalah salah satu bukti bahwa otak kreatif itu akan selalu berjalan ketika dihimpit oleh berbagai larang serta disiplin, dan hasilnya luar biasa dahsyat.
Nah, kenapa saya angkat hal ini? Karena komedian kita beberapa hari terakhir ini kembali secara “tidak sengaja” melanggar norma masyarakat dengan cara menyindir Agama dan membuat orang tertawa. Secara hukum positif, bisa jadi apa yang mereka lakukan memang tidak bisa dihukum dengan sempurna. Tapi secara norma masyarakat, ini jauh klebih fatal.
Karena hukumannya juga masyarakat yang memberi, jadi tanpa batas dan tanpa atiran juga. Kenapa itu bisa terjadi? Karena humor mereka tidak dibatasi. Dibiarkan bebas mengalir dengan kemungkinan satu, bisa mengundang tawa. Maka jadilah Humor-humornya malah melanggar norma masyarakat.
Mentertawakan Ibu kandungnya sendiri, pamannya sendiri, bibinya sendiri, sudaranya, mentertawakan gurunya sendiri, bahkan mentertawakan kitab suci mereka sendiri, mereka adalah orang-oramg yang seharusnya dihormati dan di junjung tinggi, tapi dilecehkan sekali-kali, untuk mengundang tawa.
Mereka sudah salah melihat humor itu, teringat Almarhum Bagio, pelawak kondang nasional itu pernah berkata “Melawak itu sulit, tidak boleh melewati aturan masyarakat tapi harus lucu, maka melawak itu bukan pekerjaan gampang”.
Saya menarik nafas panjang menuliskan ini, mengingat kembali satu hal yang mungkin luput dari perhatian kita. Dulu seorang ahli sosiologi pernah datang mengisi sebuah acara di Gontor. Beliau pernah bercerita jika di Alhambra Spanyol itu, arsitekturnya dan ornamen di dalamnya begitu mengesankan. Begitu detail, dan begitu berbeda dengan kebanyakan ornamen Kristen pada masa itu.
Kenapa? Karena Al-Hambra adalah karya Arsitek Muslim, dimana dia terikat oleh tata aturan konkrit seperti tidak boleh ada gambar makhluk hidup, bagaimana air wudlu mudah didapat, bagaimana matahari sebagai penanda waktu sholat mudah menyinari dalam gedung yang tertutup. Semua difikirkan, semua di hamparkan dalam sebuah maha Karya : AL-HAMBRA.
Jadi siapa bilang aturan itu membuat kita tidak kreatif?