Ketika Jendral Khalifa Haftar menerima seruan Rusia dan Turki untuk mengadakan gencatan senjata di Libya yang dimulai, 13 Januari 2020, rasanya Libya sudah menjadi medan proxy lagi bagi Rusia dan Turki seperti di Suriah.
Bedanya, di Suriah, Rusia cuma berdua dengan Iran saja mendukung Pemerintah resmi, sementara di Libya, Turki hanya dengan Qatar saja yang mendukung Pemerintah resmi.
Di Suriah, Rusia hanya bersama Iran saja, tapi mampu memenangkan sebagian besar perang dan secara berangsur mulai menguasai sebagian besar wilayah Suriah.
Sementara Turki, hanya dengan Qatar, mencoba untuk mengamankan posisinya di Libya, sementara lawannya disamping Rusia ada Mesir, Arab Saudi, PEA, dan Sudan.
Sementara Perancis sepertinya berdiri di dua pihak, sikap Presiden Macron mengingatkan kita pada kata-kata Col. Hans Jaeger, Komandan pasukan PBB di Kongo dalam film “Sniper: Reloaded”, “We sold weapons to both sides. Congolese Government and the Rebels. Because, we didn’t know who was going to win, we need the leverage with whoever is going to run this country. That’s the way we have done for hundreds of years, Sergeant. It’s called politics!”
Ketika Parlemen Turki meratifikasi intervensi militer di Libya beberapa waktu yang lalu, secara resmi Turki “nyemplung” ke dalam dalam konflik civil war di Libya. Turki tidak hanya membawa militernya, tetapi juga membawa gerbong Free Syrian Army ke Libya dengan kontrak pertiga bulan dengan bayaran berkisar antara USD 2.000-3.000 perbulan.
Intervensi Turki di Libya tidak terlepas dari konflik dan kepentingan yang diperebutkan oleh negara-negara di pinggiran Laut Tengah, yaitu kekayaan minyak yang katanya terbesar di dunia.
Konflik ini melibatkan sebagian besar negara di Laut Tengah, terutama Turki, Yunani, Siprus, Lebanon, Suriah, Israel, Mesir, dan yang paling besar jatahnya adalah Libya. Makanya, untuk mengamankan jatahnya, Turki harus mempertahankan Pemerintahan Fayez Sarraj, selaku pemerintahan resmi yang diakui PBB. Meskipun secara de facto, Sarraj hanya menguasai sebagian kecil dari Libya.
Sacara geografis dan militer Intervensi Turki di Suriah jauh lebih mudah daripada intervensi di Libya, tapi spekulasi itu harus ditempuh oleh Turki demi proyek tahun 2024.
Secara geopolitik, terjadi perebutan pengaruh dan dukungan dari Tunis dan Aljazair, serta negara lain di kawasan yang secara geografis berpengaruh dalam konflik Libya.
Ketika Menlu Perancis, Yves Le Drian berkunjung ke Tunisia dan bertemu dengan Presiden Qais Said, dimana sebelumnya Presiden Erdogan telah melakukan langkah yang sama.
Menlu Mesir, Samih Shukri tidak mau ketinggalan juga berkunjung ke Aljazair, dimana pada saat yang sama Menlu Italia, Luigi Di Maio, juga mencari dukungan ke Aljazair.
Apakah Libya yang dalam beberapa tahun terakhir “dilupakan” dunia akan berubah menjadi Suriah? Akankah rakyat Libya akan melawan proxy war dengan astag #janganSuriahkanLibya seperti yang pernah terjadi di Lala Land?
Mungkin Konferensi Berlin yang diwacanakan oleh Kanselir Merkel akan menjawab pertanyaan itu. Sayangnya Merkel juga agak sedikit “wahabi”, kok hanya mengundang AS, Inggris, Rusia, Perancis, Turki, Siprus, PEA, Italia dan Aljazair. Sedangkan Qatar, selaku donatur utama Pemerintahan Fayez Sarraj tidak diundang….