Setiap bangunan sudah seharusnya memiliki pilar yang menjadikannya mampu berdiri tegak diatas pondasi. Sebagus dan sekuat apapun pondasi suatu bangunan, ia tidak akan menjadi suatu yang berarti tanpa adanya pilar.
Pilar-pilar tersebut berfungsi menyatukan dinding dan menyangga atap yang ada di atasnya. Di dalam bangunan seperti itulah, manusia dapat berteduh, tinggal dan mengambil manfaatnya.
Begitu juga dengan ekonomi Islam. Bangunan yang pondasinya adalah keagungan tauhid, kesempurnaan syariat dan kemuliaan akhlak ini, tidak akan nampak dan bermanfaat jika tidak ditegakkan pilar-pilarnya.
Apa sajakah pilar-pilar itu? Tulisan ini akan mengulas secara singkat tentang pilar-pilar ekonomi Islam menurut para ahlinya di Indonesia.
Pendapat Para Ahli
Adiwarman Azwar Karim, anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia menjelaskan, terdapat tiga pilar dalam sistem ekonomi Islam.
Pertama, meninggalkan seluruh unsur-unsur yang dihukumi haram menurut syariat Islam, misalnya, riba (bunga).
Kedua, prinsip keseimbangan antara sektor riil dengan sektor keuangan. Menurut Adiwarman, ketidakseimbangan dalam sistem ekonomi dapat mengakibatkan bubble economy pada sistem ekonomi kapitalisme.
Ketiga, prinsip proses transaksi jual-beli yang adil, tidak menguntungkan satu pihak merugikan pihak yang lain.
Sementara itu, Hendri Tanjung dalam penelitiannya berjudul “Apakah Bank Syariah Membuat Ekonomi Stabil? Suatu Pendekatan Teori dan Model Matematika serta Implikasinya” menyebutkan 3 pilar ekonomi Islam.
Pilar tersebut diungkap dalam Qs Al-baqarah 275-277, yaitu : Sektor Riil (jual Beli), Lembaga Keuangan bebas Riba, dan Zakat. Penelitian ini mendapat penghargaan sebagai Juara pertama untuk kategori Peneliti Madya dalam Forum riset Perbankan Syariah V di Universitas Muslim Indonesia.
Agak berbeda dengan Hendri, Muhaimin Iqbal menjelaskan adanya 4 roda ekonomi Islam dalam bukunya ‘Mengembalikan Kemakmuran Islam dengan Dinar dan Dirham’.
Dalam buku tersebut Iqbal menyatakan bahwa kemakmuran sebagai tujuan operasional ekonomi Islam, hanya akan terwujud melalui 4 pilar ini.
Pertama, alat tukar yang adil berupa uang yang stabil (dinar & dirham).
Kedua, sistem pembiyaan yang bebas riba berupa kerjasama atau kontrak dagang berbentuk qirad dan syirkah.
Ketiga, pedagang yang amanah dan pasar yang terbuka (fair trade bukan free trade).
Keempat, profesionalisasi pengelolaan distribusi harta (melalui zakat, infaq, shadaqah dan wakaf).
Sektor Ril versus Riba
Dari pendapat-pendapat tersebut, dapat kita simpulkan bahwa ekonomi Islam sangat memperhatikan urusan perdagangan dan sektor ril. Aspek inilah yang kurang mendapatkan banyak perhatian dalam sistem ekonomi non-Islam.
Jika kita mau mengam bil ibrah dari ayat al-Qur’an ke 275 surat al-Baqaarah, tentu saja kita akan paham perbedaan antara ekonomi perdagangan dengan ekonomi perbankan. Kita juga dapat memahami perbedaan antara mudharabah dengan bunga.
Ekonomi yang tidak bertumpu pada poros jual-beli, dan hanya berputar pada money creation tidak akan menambah apapun selain dosa.
Harta yang diputar dengan cara riba, tidak menambah selain beban produksi yang berlebihan dan kemalasan dalam etos kerja. Sedangkan harta yang diputar melalui jual-beli dan ZISWAF (zakat, infaq, shadaqah dan wakaf) akan menyuburkan perekonomian. Hal itu disebabkan karena jual-beli dan ZISWAF itu mengalirkan harta dan menggulirkannya di antara manusia.
Demikianlah pilar-pilar ekonomi yang harus ditegakan. Ibarat roda, pilar tersebut harus berputar dalam kehidupan kita sehari-hari. Maha Benar Allah ketika berfirman: “Allah memusnahkan riba, dan menyuburkan shadaqah.” Wallahul musta’an![eramuslim]
Oleh, M. Ridho Hidayat
(Santri PPMS Ulil Albab Bogor, mahasiswa Magister Ekonomi Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor)