Perang lewat mikrofon antara Israel dan Turki semakin seru dalam beberapa hari terakhir, tepatnya setelah pengumumam persetujuan Trump beberapa hari yang lalu. Netanyahu menyebut Erdogan sebagai seorang Tiran yang kejam, dari Paris Netanyahu mengirim pesan kepada Erdogan, “ I‘m not used to receiving lectures about morality from a leader who bombs Kurdish villages in his native Turkey, who jails journalists, helps Iran go around international sanctions and who helps terrorists, including in Gaza, kill innocent people,”. Pesan itu sebenarnya adalah balasan atas ancaman presiden Erdogan sebelumnya untuk memutuskan hubungan dengan Israel dan menuduh Israel sebagai “terrorist state” dan “children killer”.
Hubungan kedua negara semakin memburuk sejak tahun 2010 ketika Presiden Erdogan meminta Israel untuk mencabut embargonya atas Gaza, dan mengirim kapal bantuan Mavi Marmara ke Gaza yang diserang oleh pasukan Israel. Semua tahu insiden itu, bahkan sampai difilmkan juga itu sama Turkey, “Kurtlar Vadisi Filistin”.
Kalau dilihat, pernyataan Natanyahu sudah diluar kode etik diplomasi, penyataan bahwa Israel tidak mau mendengar ceramah tentang moral dan akhlak dari seorang presiden yang membom rakyat Kurdi, memenjarakan para jurnalis, membantu Iran untuk lepas dari sanksi internasional dan membantu kelompk teroris, utamanya di Gaza untuk membunuh rakyat tidak berdosa!
Kalau ungkapan itu keluar dari mulut PM. Swedia atau Kanselir Swiss misalnya, itu masih bisa diterima dan wajar. Lah, ini keluar dari mulut Netanyahu, PM. Israel, penjajah yang sudah 3 kali menyernag Gaza dan membunuh lebih dari 6000 warganya, sebagian besar anak-anak dan wanita, juga menyerang Lebanon, melakukan massacre dua kali di Lebanon, dan yang paling parah negara itu berdiri di atas tanah air milik orang! GFUS, brad!
Ada lagi, politikus senior, Yair Lapid, mantan Menteri Keuangan Israel dari partai Oposisi Yesh Atid, doi ngetwitt kamarin, “Orang yang tidak mengakui telah melakukan genosida terhadap bangsa Armenia, tidak pantas berbicara tentang moral!”. Selama ini, sebagian besar negara di dunia yang bersahabat dengan Turki, termasuk Israel, Jerman dan AS berusaha untuk tidak mengungkit-ungkit masalah insiden pembunuhan terhadap ribuan rakyat Armenia sepanjang tahun 1915-1917 yang dilakukan oleh pasukan Ottoman, karena bagi Turki itu adalah garis merah yang pantang dilalui, tapi politikus Israel itu sudah melewatinya, yang berarti “perang mikrofon” tidak akan berhenti di mikrofon saja.
Awalnya, ya bisa dikatakan sekitar 8 tahun pertama Erdogan berkuasa di Turki, Turki memang dapat dikategorikan sebagai salah satu kekuatan yang berada di kubu Israel, perang Hizbullah-Israel 2006 menjadi bukti nyata. Namun, kategori tersebut mulai memudar ketika Turki meminta Israel untuk mencabut embargonya atas Gaza, dan mungkin kategori itu hilang secara mendadak beberapa hari yang lalu ketika Erdogan menentang keputusan Trump untuk memindahkan ibukota Isarel ke Qudus dan menuduh Israel sebagai negara teroris serta “mengompori” negara-negara anggota OKI untuk melakukan KTT mendadak guna menentang keputusan Trump dan Netanyahu.
Mungkin kita bisa saja berbeda pendapat dengan Sang Sultan dalam beberapa polugri-nya, utamanya dalam konflik Suriah, tapi sikapnya yang berani menentang Israel dan Trump bersama dengan pemimpin negara Muslim lainnya, termasuk Indonesia sangat harus diapresiasi dan didukung. Dimana pada saat yang sama, beberapa negara Muslim lain yang dianggap sebagai kiblat umat Islam dan dielu-elukan malah memberikan saran agar ibukota Palestina pindah ke Abudis saja! ICFBI!
Dalam kasus ini, sepertinya Iran masih terlihat tenang-tenang saja, meskipun demikian tetap saja Natanyahu menyerang Iran dengan mengatakan bahwa Iran sedang membangun pangkalan Udara, Laut dan Darat di Suriah untuk menyerang Israel! Kalau itu benar, sesuatu banget!
Sekali lagi kita tunggu reaksi nyata negara-negara OKI setelah Pertemuan Tingkat Tinggi Rabu mendatang di Istanbul. Kalau ini tidak mampu menyatukan negara Muslim, maka “seems to be no hope for unity”. Terkadang kalau dipikir serba salah, Trump itu baiknya “didoakan” atau “didoain”, karena keputusannya itu bisa menjadi musibah dan bisa juga menjadi nikmat yang butuh kesyukuran.
Tapi, ya biarlah waktu yang menjawab