Pada Juni 2020, administrasi Presiden Donald Trump mengenakan sanksi Caesar Act terhadap Suriah yang pada intinya memberikan legitimasi hukum bagi pemerintah AS untuk memberikan hukuman yang luas terhadap siapa pun yang memberikan dukungan untuk operasi militer pemerintah Suriah ataupun melakukan bisnis dengan pemerintah.
Kalau di dunia militer ada yang namanya MOAB (Mother of All Bombs), maka dalam ekonomi sanksi seperti ini adalah Mbah of all sanctions. Tidak hanya menjerat negara yang ditarget, tetapi juga mengancam seluruh mitra ekonomi negara tersebut. Meksipun pada akhirnya, yang merasakan adalah rakyat-rakyat kecil yang tidak bersalah.
Sebenarnya Suriah sudah terbiasa dengan sanksi ekonomi, bahkan ketika Suriah menolak berdamai dengan Israel pasca perang tahun 1973, dimana Mesir tandatangani perjanjian Camp David dengan Israel, Suriah sudah dikenakan sanksi ekonomi. Namun tidak seberat 2019.
Pada tanggal 23 Juni 2021, Majelis Umum PBB bertemu di markas besar PBB di New York City, di mana mayoritas perwakilan dunia yang hadir menyerukan agar Amerika Serikat mengakhiri embargo ekonominya terhadap Cuba yang sudah memasuki tahun ke 60. Pada kesempatan ini, 184 negara memberikan suara mendukung resolusi untuk mengakhiri blockade ekonomi, sementara hanya dua anggota (Amerika Serikat dan Israel) yang menolaknya, dan Tiga negara (Brasil, Kolombia, dan Ukraina) abstain dalam pemungutan suara.
Iran juga mengalami hal yang sama, Amerika Serikat telah memberlakukan larangan pembelian senjata dan embargo ekonomi yang hampir total terhadap Iran, yang mencakup sanksi terhadap perusahaan yang melakukan bisnis dengan Iran, larangan impor produk asal Iran, sanksi terhadap lembaga keuangan Iran, dan larangan penjualan pesawat kepada Iran. Bahkan pada 17 Maret 2012, semua bank Iran yang diidentifikasi sebagai lembaga yang melanggar sanksi diputus dari system SWIFT, termasuk Bank Sentral Iran.
Dengan adanya kerjasama ekonomi internasional, seperti system SWIFT dan lainnya, perang ekonomi lebih efeketif dan banyak dilakukan dengan negara-negara yang maju, daripada harus menurunkan pasukan untuk berperang untuk mengalahkan negara lain. Kalau negara seperti Afghanistan, atau negara-negara entah berantah di Afrika, memang harus dikirim pasukan untuk perang, perang ekonomi nggak ngaruh sama mereka.
Atau misalnya, seperti ketika Donald Trump mengenakan sanksi ekonomi terhadap Pimpinan Revolusi Iran, Sayyid Ali Khamenei, atau Sekjen Hizbullah, Sayyid Hasan Nasrullah, isinya pembekuan asset dan larangan memasuki AS. Ya sanksi begitu nggak ngaruh sama mereka, emang mereka punya villa di Malibu, atau resort di Florida ataupun apartemen di Manhattan?
Bahkan selama Perang Dunia II, perang ekonomi efektif dalam mencapai tujuan negara tertentu. Percy Bidwell, mengatakan dalam Foreign Affairs Magazine, “ Bahkan sebelum serangan ke Pearl Harbor, kami telah menggunakan senjata ekonomi untuk melemahkan musuh potensial kami dan untuk membantu sekutu potensial kami”.
Hari ini, para Menteri Keuangan Negara Uni Eropa berkumpul untuk membahas sanksi ekonomi terhadap Rusia, termasuk wacana untuk mengeluarkan Rusia dari system SWIFT, dan larangan impor Migas dari Rusia. Penutupan wilayah udara Eropa, AS dan sanksi terhadap sejumlah konglomerat Rusia telah berdampak pada nilai Rubel, kalau ditambah lagui sanski-sanksi lainnya, maka economic warfare yang dihadapi Rusia bukan main-main. Namun demikian, sejumlah pengamat menilai bahwa sanksi ekonomi terhadap Rusia berpotensi menjadi boomerang yang akan menimbulkan adverse effect bagi Barat sendiri.
Selama ini terjadi koordinasi yang intensif antara Rusia, China, negara-negara anggota Shanghai Pact, serta negara-negara anggota EAEU, untuk segera meninggalkan dolar dalam transaksi keuangan dan komersial.
Rusia sendiri untuk mempersiapkan sanksi tersebut, telah membuat Sistem Kartu Pembayaran Nasional, yang dikenal dengan sistem Mir. Memang belum banyak yang menggunakannya, tetapi sudah mulai ada negara-negara yang menggunakannya.
China sendiri tampaknya juga sudah meyakini akan menajdi target Barat selanjutnya, makanya memutuskan untuk tidak mengenakan sanksi terhadap Rusia, justru malah akan meningkatkan kerjasama ekonomi bilateral, khususnya di sektor energi dan teknologi. Sama-sama kita ketahui bahwa China adalah konsumen energi terbesar di dunia dan pasarnya dapat menyerap sebagian besar produksi gas dan minyak Rusia.
Beberapa negara seperti Jerman, Prancis, dan Italia, enggan mengambil tindakan terhadap penggunaan Swift oleh Rusia. Rusia adalah penyedia utama minyak dan gas ke Uni Eropa, dan menemukan pasokan alternatif tidak akan mudah, ditambah dengan harga energi yang sudah melonjak.
Alexei Kudrin, mantan Menteri keuangan Rusia, memprediksikan pemutusan hubungan dari Sistem SWIFT dapat menyusutkan ekonomi Rusia sebesar 5%. Namun tidak ada yang dapat memastikan dampaknya akan berlangsung jangka panjang atau hanya sementara. Bank Rusia mungkin mengarahkan pembayaran melalui negara-negara yang belum memberlakukan sanksi, seperti China, yang memiliki sistem pembayarannya sendiri.
Oleh sebab itu, Rusia dan China berupaya untuk melewati isolasi ekonomi tersebut bersama dan bekerja untuk menjadikan sanksi tersebut mengarah ke isolasi Amerika dan Eropa.
“Currency warfare is the most destructive form of economic warfare”, kata Harry Dexter White.
Kita tunggu saja kelanjutan perang ekonomi ini, yang pasti kita semua harus Hati-hati, Harga Semuanya Akan Naik, jadi Setop Perang!