Ada hal menarik yang saya temukan pada sialturrahmi kepada KH Hasan Abdullah Sahal kemarin. Pada waktu itu, bersama saya adalah seorang wali santri Gontor yang ber-ibu Australia. Puteranya tinggal di Gontor dan sekarang sudah jadi ustadz. Beliau punya tempat tinggal Australia, Singapura, dan Indonesia.
Beliau bercerita kalau ketika puteranya lulus SMU di Australia. Puteranya sudah daftar di sebuah perguruan tinggi disana, dan sudah diterima. Tapi ada jarak selama 3 bulan antara penerimaan mahasiswa baru dan hari pertama perkuliahan dimulai. Pada saat menunggu itulah kemudian sang putera berkata kalau ingin ke pesantren. Sang ibu bengong, pesantren itu apa??
Sang ibu yang tidak tahu pesantren itu bentuknya, kurikulumnya, sistem ajarnya, tata cara sekolahnya seperti apa kemudian beliau terbang ke Indonesia untuk mencari tahu. Disebuah pengajian, beliau mendengar pemaparan tentang pesantren dari seorang Ustadz dari Gontor. Disinilah perkenalan pertama sang ibu dengan dunia pesantren.
Beliau segera menuju ke Gontor dan akhirnya memutuskan segera mendaftarkan puteranya itu ke Gontor. Ustadz yang mengantar beliau bertanya :
“Ibu, kenapa ibu memilih Gontor, ibu kan belum melihat kepada pesantren lainnya?? Siapa tahu ada yang lebih bagus??”
Sang ibu menjawab :
“Di Gontor ini saya melihat para santrinya kalau diajak bicara melihat wajah yang bicara, jalanya cepat dan tegap selalu memandang ke depan, dan yang saya kagumi adalah mereka selalu berpakaian rapi…”
Ust Hasan tersenyum mendengarnya. Kemudian beliau berkata…
“Coba lihat Gontor itu, setiap jam santrinya berjalan cepat dan tegap itu alasannya sendiri-sendiri. Ada yang mau olah raga, ada yang mau latihan pramuka, ada yang mau menemui musrif (pembimbing) di kamarnya, ada yang mau kursus, dan berbagai macam alasan lain yang mereka pakai.
Tapi satu hal, kita sudah mendidik mereka untuk hidup dinamis, cepat dan tepat, sebab cepat saja kalau ndak tepat juga salah. Jadi mendidik mereka untuk hidup dinamis. Prinsip kita siapa cepat dia menang, siapa lambat dia tertinggal, siapa berhenti mati.
Maka itu ndak ada santri Gontor yang jalannya leha-leha, santai, melihat-lihat taman, melihat-lihat kolam, keliling-keliling pondok tanpa tujuan, tidak akan ditemukan di Gontor ini…”