Sekali lagi Gontor di koemntari negatif oleh -saya yakin- orang yang sama sekali belum tahu Gontor. Videonya menyebar di wa dan facebbok, terlihat dari ungkapan dan tatapan matanya, nampak sedikit “keangkuhan” yang terbaca disana. Saya ulang sekali lagi kata orang tersebut yang kurang lebih:
“Coba lihat di Gontor, Ustadznya…santrinya pada pakai Jas dan dasi kan? Mereka malu memakai baju Rasulnya, malu memakan makanan Rasulnya..menider peradaban…”
Saya Cuma tertawa melihatnya pertama kali. Karen menurut keterangan sahabat saya, beliau ini lulusan Madinah, tentu banyak bertemu Alumni Gontor disana. Beliau bisa menilai, bagaimana berpakaiannya Alumni Gontor itu disana.
Apakah Jas dan dasi itu betul-betul membuat alumni Gontor minder peradaban? Kehilangan kepercayaan diri ntuk menyatakan dirinya umat Muhammad? Apakah Alumni Gontor itu gagap menyikapi perubahan peradaban? Ah, biar beliau sendiri yang menjawab hal ini…
Gontor, sebagaimana dulu pernah saya tulis, bukan Cuma dituduh minder peradaban, bahkan dituduh pondok kafir. Gara-garany ya sama, karena santri dan Gurunya memakai celana dan dasi yang itu dipakai oleh oleh Balanda dan itu adalah simbol kekafiran dianggapnya waktu itu. Yang kedua, alasanya adalah karena di Gontor diajarkan Bahasa Inggris, ini malah bahasanya orang kafir dan yang menyeruoai orang kafir maka dia kafir. Jadilah Gontor di “bully” di kalang pesantren waktu itu. Karena dikalangan pesantren waktu itu santri ya bersarung dan berkupiah.
Karena itulah yang dianggap budaya Islam. Kalau saja pada zaman itu sudah muncul facebook dan wa, maka saya yakin badai “bully” itu sudah mengocang Gontor beserta alumninya. Mungkin para koementator waktu itu lupa, bahwa sarung juga bukan budaya Islam tapi budaya Hindu, dan Kopiah juga budaya Turki dan kalau peci haji itu juga Bidaya china, tapi ketika memakainya mereka tentu saja tidak mau disebut Hindu, atau china, meskipun bisa saja mereka kita “sebut” begitu berdasarkan hadits nabi tadi bukan?
Baiklah, kita bicara jas dan dasi sekarang. Kenapa Gontor menggunakan jas dan dasi? Karena di Gontor berlaku “hukum dhamir” (kata hati). Dimana dhamir ini adalah hukum tertinggi di Gontor. Contohnya begini , Kyai itu boleh dan halal makan sambil angkat kaki, hukum syariah membolehkan itu, tapi apa kata orang menilai ada Kyai makan sambil angkat kaki? Santri di Gontor dilatih sejak dini, mana pakaian untuk mengajar, mana pakaian untuk olah raga, mana pakaian untuk sholat, mana pakaian bersantai, mana baju untuk tidur dan sebagainya.
Sehingga tidak akan kita temukan di Gontor, ada santri main bola dengan sarung misalnya, atau santri Sholat dengan kaos, bahkan baju santri dikeluarkan sekalipun akan terkena hukuman di Gontor ini. Pola-pola seperti ini diajarkan dari mulai para santri ini masuk Gontor. Jas dan dasi digunakan untuk acara-acara resmi, karena pada waktu itu bahkan sampai saat ini, jas dan dasi sangat sering sekali digunakan sebagai baju resmi dalam acara-acara kenegaraan.
Kalau tidak berdasi bagaimana? Ya tentu saja tidak apa-apa, karena ini hany soal baju, dan Gontor hanya mengajarkan kalau ada acara resmi maka pakailah jas dan dasi. Biar sesuai, biar pas, biar tidak salah guna.
Kalau para santri tidak diajarkan seperti itu, maka jadilah seperti yang saya temui disalah satu pesantren. Dimana dirigen (pengatur lagu) untuk paduan suara memakai baju putih becelana panjang dengan sepatu sport. Ini yang saya sebut salah alamat, salah guna.
Maka itu lihatlah bagaimana ketika Sholat Jumat di Gontor, para santri menggunakan baju koko bersarung dan berkopiah. Bahkan Imam Sholat Jumat menggunakan Jubah lengkap dengan penutup kepala khas Arab. Lihatlah ketika bermain bola, para santri menggunakan celana training dan kaos dimasukkan ke dalam celana. Lihatlah bagaimana rapinya anak-anak Gontor bahkan ketika mereka tidur dengan celana dan wajib menggunakan sabuk.
Lihatlah betapa rapinya para santri itu ketika mereka bahkan bersantai. Tahu diri, tahu menempatkan, faham lingkungan, mengerti situasi, dan tidak salah kostum. Karena dari kecil, mereks sudah dididik untuk menggunakan dhamir, menggunakan kata hati, sesuai dengan sabda Rasulullah “Sal dhamirok” (Tanyalah kepada Nuranimu)…
Maka sekali lagi, alumni Gontor sama sekali tidak gagap peradaban, tapi bisa menyesuaikan waktu dan papan. Mereka berjas dan berdasi Rapi ketika di acara resmi, merekapun bisa berubah menjadi “orang Arab” dengan jubah dan penutup kepala ala arab ketika mereka ada di Madinah seperti di sekolah Ust yang saya sebut diatas.
Mereka bisa bersarung dan berkupiah ala Indonesia ketika hadir diacara tahlilan, mereka bisa menjadi pemain bola yang ganteng dengan baju olah raga masuk dalam celana dan penampilan keren, merekapuan bisa sangat pantas memakai baju yang kotor dan agak dekil, ketika mereka jadi petugas kebersihan atau bagian diesel, dan sejenak mereka bisa berubah menjadi pemuda muslim yang cakap ketika berangkat ke Masjid dengan Baju masuk ke dalam sarung, berkupiah rapi, menyandang sajadah di pundak kanan, dan membawa kitab suci ditangnya. Semuanya sesuai, dan tidak salah kostum…
Berjalan jauh gunakan motor
Sudahlah jauh berliku pula jalannya
Kalau orang komentar tidak tahu Gontor,
Sudahlah sok tahu, malu pula ujung-ujungnya….